Karyanya banyak dirujuk para penganut sufisme modern.
Sosok Jahanara (1614-1681 M) melegenda di India. Tidak hanya karena statusnya sebagai putri Kerajaan Mughal, tapi juga kiprah keilmuan dan keagamaannya sebagai sufi. Terlahir sebagai anak sulung dari Sultan Shah Jahan dan Permaisuri Mumtaz Mahal, Jahanara terlatih menangani urusan istana. Muslimah yang dikenal juga dengan nama Fatima, Jahan Ara Begum Sahib, dan Shahzadi ini pun bisa menggantikan peran ibunya yang wafat saat dia berusia 17 tahun. Sejak itu, ia bertugas mendampingi ayahandanya dalam memimpin kerajaan. Dalam hal ini, Jahanara bertanggung jawab pada segala urusan administrasi rumah tangga kerajaan. Sang ayah pun sangat memercayai berbagai masukan dari Jahanara.
Kebanggaan pada sang putri membuat Shah Jahan menganugerahkan beberapa gelar kehormatan. Di antaranya, Sahibul al-Zamani (Ratu Peradaban), Padishah Begum (Ratu Kerajaan), dan Begum Sahib (Sang Maharatu). Jahanara pun menempati istana tersendiri di luar kompleks Istana Agra.
Sang ayah juga sangat memanjakan putrinya. Saat Jahanara mengalami kecelakaan akibat kebakaran, sang ayah mengobati langsung luka di punggung putrinya. Shah Jahan juga menghadiahkan banyak perhiasan pada Jahanara agar hati sang putri bahagia.
Para sejarawan mencatat, hubungan kasih sayang ini tak hanya terjalin antara Jahanara dan ayahnya. Jahanara juga sangat menyayangi adik laki-lakinya, Dara Shikoh. Sedangkan pada saudara lainnya, Au-rangzeb, yang digambarkannya bak harimau putih, juga tak kalah welas asih. Sayangnya, kebaikan Jahanara dibalas dengan keburukan akibat haus kekuasaan.
Pada 1658 M, Aurangseb mengudeta sang ayah yang kemudian dijebloskan ke penjara hingga akhir hayatnya. Di saat-saat sulit itu, Jahanara tetap setia mendampingi ayahnya. Setelah kematian Shah Jahan, hubungan Jahanara dan Aurangzeb mulai membaik. Sang adik bahkan memberinya nama kehormatan Maha Ratu Kerajaan.
Namun dalam urusan kerajaan. Aurangzeb lebih memilih adiknya, Roshanara Begum. Sang adik yang terpaut tiga tahun dari Jahanara acap kali merasa iri pada sang kekuasaan sang kakak. Dia ingin merasakan kebahagiaan serupa ratu penguasa.
Tentu saja, Jahanara tertekan dengan manuverpolitik adik-adiknya. Meski demikian, Jahanara tidak menunjukkan perasaan ini dengan amarah. Justru dia memutuskan untuk lebih memperhatikan nasib rakyatnya. Keteguhan Jahanara untuk memfokuskan diri pada dunia sufi diuji.
Pada 1679, Aurangzeb menetapkan pembayaran pajak penuh pada penganut non-Islam. Jahanara langsung menemui Aurangzeb dan beradu argumentasi. Menurutnya, peraturan itu akan membuat pemerintahan sang adik tak didukung rakyat.
Menyingkir
Pengalaman pahit dalam lingkaran kekuasaan membuatnya mantap untuk menyingkir. Sepening-gal sang ayah, Jahanara diberi tempat tinggal di samping penjara. Di rumah tersebut Jahanara makin hanyut dalam kecintaan tak terbatas pada Sang Khalik. Dia juga mendalami bidang seni rupa serta membiayai pembangunan beberapa masjid dan taman kota-taman kota di Agra.
Tata kota Agra tak lepas dari pengaruh Jahanara. Dia merombak pusat Kota Shahjahanabad dengan menambahkan delapan bangunan. Dari delapan bangunan itu, lima di antaranya ditangani oleh arsitek perempuan. Hingga kini, bagian Kota Agra itu dikenal sebagai pusat perbelanjaan Chandni Chowk.
Jahanara juga menulis beberapa buku praktis tentang sufisme. Dia menulis juga biografi dan ajaran sang guru sufi aliran Qadiriyyah, Mulia Shah Badakhsih. Karyanya mampu mewakili pemikiran sufi abad pertengahan dan banyak dirujuk para penganut sufisme modern.
Kurva lain Jahanara adalah biografi pendiri aliran Chistiyah, Moinuddin Chishti. Biografi ini dinilai berkualitas tinggi karena bisa menggambarkan sosok sang pemimpin aliran dengan lengkap disertai tata bahasa yang indah. Tak heran, pemikiran Jahanara masih diminati penganut sufi setelah empat abad kematiannya. Jahanara pun ditahbiskan sebagai salah satu Muslimah terkemuka di ranah tasawuf.
Meski kini raganya tak lagi ada di dunia, nama Jahanara tetap terukir di hati rakyat Kota Agra. Banyak orang menziarahi makamnya di Kompleks Nizamuddin Dargah, New Delhi. Ini bukan tempat atau bangunan yang megah. Sederhana saja, namun dekat dengan pusat aktivitas masyarakat. Maka, Jahanara serasa selalu ada bersama rakyat. Ini sejalan dengan gelar indah yang diberikan Aungrazeb untuk kakak perempuannya, yaitu Sahibatuz Za-mani (Permaisuri Sepanjang Zaman).
Oleh Indah Wulandari
Republika
Selasa, 17 Januari 2012
0 komentar:
Posting Komentar