Oman Fathurahman
(Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara)
Adakah hubungan manuskrip nusantara, khususnya yang bertemakan keislaman dengan diskursus tentang nasionalisme kita pada abad ke-21 ini? Soal ini menjadi salah satu topik diskusi dalam "Gus Dur Memorial Lecture ke-3", 20 Mei lalu, di The Wahid Institute (WI) bersama sejarawan senior Taufik Abdullah dan Direktur Eksekutif WI Ahmad Suaedy.
Manuskrip adalah peninggalan tertulis masa lalu yang tidak dimiliki semua negara. Beruntung Indonesia mewarisi khazanah manuskrip yang termasuk dalam salah satu terkaya di dunia dengan ragam bahasa dan aksara lokal yang menjadi identitas etnis masyarakat pemiliknya.
Dalam hal manuskrip, seiring dengan kemajuan teknologi digital, sejumlah lembaga, universitas, dan bahkan negara, kini banyak yang menjadikan kekayaan manuskrip kunonya sebagai sarana pencitraan kredit dan identitas.
Perpustakaan Universitas Tokyo di Jepang, Harvard, Princeton, dan Michigan di Amerika, Uni Leipzig di Jerman, serta British Library di London, adalah beberapa contoh kampus atau lembaga yang mendapat keuntungan kredit dan identitas akademik berkat koleksi manuskripnya yang dirawat dengan baik serta membuka akses publik melalui perpustakaan digital online. Padahal, sebagian besar koleksi mereka justru berasal dari Timur, termasuk Indonesia.
Islam Nusantara
Kekayaan manuskrip nusantara pernah dilukiskan oleh Taufik Abdullah (2001: 14) sebagai buah dari 'kegelisahan intelektual' para cerdik cendekia masa lalu. Sebagian dari para penulisnya adalah dari kalangan ahli agama, guru sufi, kiai, dan para mubalig, selain para sastrawan tentunya, yang memiliki kepedulian menerjemahkan Islam dalam konteks dan bingkai budaya lokal.
Pun terjemah yang dimaksud di sini bukan semata alih bahasa satu teks menjadi teks baru dalam bahasa lain, melainkan lebih dari itu merupakan penerjemahan ide, gagasan, dan bahkan ideologi dari sumbernya yang dianggap 'asing' menjadi sumber yang diyakini sebagai 'milik sendiri' (lihat Chambert-Loir [peny] 2009: 11).
Karena itu, khazanah manuskrip nusantara yang kini kita miliki dan terhubungkan dengan Islam, sedemikian dinamis dan merepresentasikan beragam 'tafsiran'-dari mereka yang oleh Taufik Abdullah disebut sebagai brokers of ideas (1987: 239)-terhadap ideologi-ideologi yang lahir dari konteks pemikiran dan budaya lain, seperti Arab, Persia, dan India.
Jaringan ingatan kolektif
Kemunculan manuskrip-manuskrip nusantara sebagai identitas kultural berbagai kelompok masyarakat etnik besar nusantara telah membentuk sebuah jaringan 'ingatan kolektif' yang menghubungkan satu dengan yang lain.
Manuskrip Sabil al-muhtadin karya Arsyad al-Banjari dari Banjar, misalnya, ditulis atas 'inspirasi' dari Sirat al-mustaqimnya Nuruddin al-Raniri dari Aceh, pun sebuah manuskrip berbahasa Maranao di Filipina menyebut 'berhutang budi' pada Mir'at al-tullab karangan Abdurrauf al-Fansuri di Aceh, Serat Menak dari etnis Jawa lahir sebagai resepsi atas Hikayat Amir Hamzah dari etnis Melayu, manuskrip dalam tradisi Bugis-Makassar 'mengingat' peranan tiga ulama Minangkabau, Minangkabau ingat pada Aceh, Ternate ingat pada Makassar dan Gresik, Patani ingat pada Banjarmasin dan Palembang, Palembang ingat pada Demak, dan demikian seterusnya pola kemunculan manuskrip nusantara ini terbentuk, transetnis dan transdaerah.
Dengan demikian, khazanah manuskrip nusantara layak dilihat sebagai cermin kesatuan dalam keragaman (unity in diversity) etnis masyarakat yang sebagian besar wilayahnya kini bernama Indonesia!
Tugas berat adalah bagaimana membangkitkan rasa kepemilikan dan kebanggaan masyarakat kini terhadap manuskrip nusantara itu. Perlu ada rumusan strategi kebudayaan secara utuh yang bisa menempatkan khazanah manuskrip sebagai salah satu artefak budaya pembentuk citra dan identitas kultural yang dapat dibanggakan, mulai dari strategi pelestariannya, advokasi nilai pentingnya sebagai benda cagar budaya, hingga strategi 'pemasarannya' agar dikenal oleh khalayak luas.
Teknologi digital bisa menjadi salah satu solusi. Masyarakat dan lembaga penyimpan naskah perlu didorong untuk melakukan preservasi digital dengan mengalihmediakan koleksi manuskripnya dan mengelolanya dalam sebuah perpustakaan manuskrip digital yang dapat diakses secara online: whenever, wherever. The World Digital Library (WDL) yang dicanangkan Unesco pada 2009 dapat menjadi ukuran betapa teknologi digital akan sangat berguna bagi upaya pertukaran antarbudaya.
Jadi, di satu sisi, khalayak luas dapat melihat dan mengenal kekayaan khazanah keilmuan yang pernah dihasilkan oleh bangsa ini. Dan, di sisi lain, kita bisa sedikit mendongakkan kepala karena mampu menunjukkan harga diri sebagai bangsa berperadaban tinggi yang turut memberikan kontribusi bagi dunia kebudayaan dan keilmuan, bukan semata menjadi 'pedagang artefak' untuk kepentingan sesaat!
Toh, sebagian manuskrip kuno kita itu juga masih banyak yang mengandung local wisdom dan mungkin berguna buat kemaslahatan khalayak. Manuskrip Takbir Gempa asal abad ke-18 yang ditemukan di Aceh atau Minangkabau misalnya, mengabarkan prakiraan-prakiraan akibat terjadinya gempa di wilayah yang memang rawan bencana ini.
Saat ini, akibat sejarah masa lalu, kita sudah kehilangan sejumlah besar khazanah manuskrip yang dibawa oleh orang-orang seperti Raffless yang begitu rakusnya memboyong berpeti-peti manuskrip nusantara, kendati akhirnya terbakar dan karam di lautan.
Kita pun seolah 'tak berhak' memperoleh kredit atau kebanggaan atas ribuan manuskrip nusantara yang kini dikelola dengan sangat baik oleh lembaga-lembaga, semisal Perpustakan Universitas Leiden, sehingga mendongkrak citra lembaga itu di mata internasional. Berkat manuskrip kita!
Terlepas dari soal keuntungan masih terawatnya manuskrip-manuskrip itu karena keunggulan teknologi dan peradaban Eropa, kini mahasiswa-mahasiswa kita terpaksa harus merogoh dana besar sekadar untuk bisa membaca bahasa dan kebudayaan mereka sendiri!
Sabtu, 29 Mei 2010
0 komentar:
Posting Komentar