Menurut Ustadz Awit, sebuah negara bisa dihukumi sebagai negara Islam, apabila penduduknya mayoritas Islam, dipimpin oleh orang Islam, penduduk umat Islam tersebut diperbolehkan melaksanakan syarait Islam. maka ngeri bisa dikatakan seagai negara Islam.
Hukum Islam itu, lanjut Awit, terbagi menjadi empat bagian: Pertama hukum Allah yang berkaitan dengan individu, seperti puasa, zakat dan haji. Selama ini umat Islam Indonesia tidak dilarang untuk berpuasa, shalat, zakat, haji. Ini berarti hukum Allah sudah bisa dilaksanakan.
Kedua, hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan masalah tatatan rumah tangga, seperti nikah secara Islam, bercerai secara Islam, bagi waris juga tidak dilarang di Indonesia, bahkan pemerintah menyediakan tempatnya, yaitu Pengadilan Agama.
Ketiga, hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan masalah sosial dan kemasyarakatan. Dalam hal ini, umat Islam tidak dilarang menyekolahkan putra-putri ke sekolah Islam, bahkan mendirikan sekolah Islam pun tidak dilarang, termasuk menabung dan mendirikan bank syariah juga tidak dilarang.
Nah, yang belum dilaksanakan umat Islam dindonesia saat ini adalah hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan kekuasaan atau Daulah Islamiyah. Jadi, umat Islam Indonesia sudah 75 persen melaksanakan syariat Islam, tinggal 25 persen hukum Allah yang belum diterapkan, yakni merebut kekuasaan untuk menjadikan Indonesia sebagai Daulah Islamiyah. “Inilah PR umat Islam yang harus terus diperjuangkan. Karena itu kita harus siap merebutnya,” ujar Awit.
Ustadz Awit sangat menyayangkan, jika nasib bangsa Indonesia yang mayoritas umat Islam ini, seperti tikus yang mati di lumbung padi. Lihat saja, kekayaan alam di republic ini, habis dikeruk oleh asing. Itu akibat, kita ada Undang-undang yang mengatur untuk menghentikan hal ini. Kalau sudah ada UU yang mengaturnya, orang kafir tidak bisa seenaknya mengeruk kekayaan alam Indonesia.
Tak kalah parahnya adalah korupsi di negeri ini makin bertambah. Koruptor tidak kapok-kapoknya melakukan praktek korupsi, mengingat sanksi hukumnya lemah dan menggunakan hukum Belanda. Giliran rakyat kecil, dipenjara dengan hukuman yang seberat-beratnya. Kalau saja, sanksi hukum untuk koruptor diterapkan hukum potong tangan, pasti akan ada efek jeranya.
“FPI bahkan sudah meminta DPR untuk menerapkan hukum potong tangan bagi koruptor di Indonesia. Tapi pejabat kita menolak hukum itu. Namun demikian, FPI cukup lega dengan munculnya perda-perda syariah di berbagai daerah, sehingga orang-orang sekuler merasa tidak nyaman,” tukas Awit kecewa.
NII Gadungan
Dukungan umat Islam terhadap penerapan syariat Islam sendiri sesungguhnya cukup besar. Sejarah mencatat, pada 7 Agustus 1949, Kartosuwiryo membentuk DI/TII, dimana ketika itu sudah mendapat dukungan dari umat Islam di Indonesia, terbukti di Sulawesi ada Kahar Muzakar, di Sumatera ada Daud Beureuh. Tapi kemudian, NII Kartosuwiryo dicoreng citranya oleh intelijen yang mengatasnamakan NII. Kemudian muncullah NII gadungan, yang kerjaannya merampok, memeras, memperkosa, membunuh kiai dan membakar rumah warga. Akhirnya NII yang asli diopinikan sebagai perampok dan pengganggu masyarakat. Kartosurwiryo pun dipagar betis dan gugur.
Belakangan, diopinikan lagi oleh NII KW IX (bukan NII nya Kartosuwiryo), tapi NII buatan intelijen, yang tujuannya untuk merontokan NII Kartosuwiryo. Kenapa isu NII dikeluarkan saat ini? “Karena ormas dan aktivis Islam bersatu padu untuk menerapkan syariat Islam. Lalu dibuatlah opini yang menyesatkan, kalau bikin negara silam, maka akan diajarkan merampok dan menipu, seperti itu intelijen merusak citra NII Kartosuwiryo yang didukung oleh umat Islam.”
Yang jelas, Islam tidak pernah mengajarkan merampok, menipu, memutuskan silaturahim. Apa yang dilakukan intelijen itu adalah berupaya untuk menohok aktivis Islam agar berhenti menerapkan syariat Islam. Desastian
sumber
0 komentar:
Posting Komentar