SEORANG ibu peserta pengajian nguda rasa alias curhat. Adiknya yang bersekolah di salah satu pondok pesantren putri bercerita, ada alumni yang sudah menikah datang ke pondok diantar suaminya. Teman-teman adiknya "heboh" ingin tahu seperti apa suami alumni itu. Karena beredar isu bahwa si suami alumni punya paras di atas rata rata. Si adik mengeluh prihatin, "Bukankah kita diperintah untuk menjaga pandangan Mbak?"
Manusia memang tempatnnya salah dan lupa. Makalah ini ditulis untuk menyegarkan kembali memori kita tentang menjaga pandangan. Kita tahu bahwa menjaga pandangan adalah wacana klasik dalam materi pembinaan. Selalu melekat dalam benak para aktivis Islam. Namun sayangnya, wacana tanpa penerapan menjadi sekedar wacana.
Menjaga atau menundukkan pandangan dalam bahasa Arab disebut "ghadhul bashar" yang berarti menjaganya dan tidak melepas kendalinya hingga menjadi liar. Pandangan yang terpelihara adalah apabila seseorang memandang lawan jenis yang tidak halal baginya, ia tidak mengamat-amati keelokan parasnya, tidak berlama-lama memandang apa yang dilihatnya. Singkat kata, menahan dari apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk kita memandangnya.
Perintah menundukkan pandangan didahulukan dari menjaga kemaluan karena pandangan yang haram adalah awal dari terjadinya perbuatan zina. Imam al-Bukhary berkata, "Makna dari ayat (an-Nuur: 30¬31) adalah memandang hal yang dilarang karena hal itu merupakan pengkhianatan mata dalam memandang." (Adhwa' al-Bayan 9/190).
Hukum menundukkan pandangan adalah wajib, bagi Muslimah yang sudah baligh, baik ia berjilbab atau belum berjilbab, bercadar atau tidak bercadar, menikah atau belum menikah. Namun, sesekali masih dijumpai fenomena memprihatinkan. Akhwat berjil-bab lebar tetapi masih suka mencuri-curi pandang. Atau yang bercadar, mungkin karena merasa dirinya sudah "tertutup," justru tak menjaga pandangan. Bagi yang sudah bersuami, mungkin karena merasa "aman", pandangannya kurang dijaga.
Rasa ingin tahu memang dimiliki hak semua orang. Allah mengaruniai perasaan itu kepada seluruh makhluk-Nya agar mereka bertambah iman dan ilmu. Namun kadangkala rasa itu salah jalur.
Godaan untuk mengetahui hal yang sejatinya tak penting, padahal banyak hal penting yang belum diketahui, sering mengusik. Godaan itu jelas bisikan syaithan. Kesadaran untuk meninggalkan yang tak berguna sebagai pertanda baiknya keislaman seseorang harus sering kita bangkitkan.
Mu'ahadatullah (mengingat perjanjian dengan Allah), muroqobatullah (merasa diri diawasi Allah), muhasabah (intropeksi diri), mu'aqobah (memberi hukuman bagi kelalaian diri) dan mujahadah (bersungguh sungguh) menjadi lima langkah yang dapat kita upayakan untuk menghindarkan kita dari sia-sianya amal.
Menundukkan pandangan, menjaga mata dan hati selalu harus dibiasakan. "Kebaikan adalah kebiasaan". Siapapun dan dimanapun. Wallahu a'lam.
0 komentar:
Posting Komentar