PERTANYAAN
Sungguh agama telah mengatur segala aspek kehidupan dan menatanya dengan keimanan dan ketundukan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Perbedaan begitu banyak terjadi dalam kehidupan, termasuk kontroversi tentang haram dan tidak haramnya memandang dan berjabat tangan dengan selain mahram. Fenomena ini terus mencuat, lalu bagaimanakah sebenarnya analisis ilmiah tentang hal tersebut?
JAWABAN
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan manusia, maka tentunya Allah pun telah mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk di dalamnya bagaimana hukum yang berlaku bagi laki-laki dan wanita yang tidak semahram dalam memandang dan berjabat tangan. Olehnya kita simak uraian dalil Al-Qur`an dan Sunnah tentang masalah ini, agar hati kita tenang dan dapat mengamalkannya sesuai dengan perintah agama.
Hukum Memandang Selain Mahram
Dalil dari Al-Qur`an
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menundukkan pandangannya.’.” [ An- Nur: 31 ]
Ayat ini menunjukkan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada wanita-wanita mu’minah untuk menundukkan pandangannya dari apa yang Allah Subhanahu wa Ta’alatelah haramkan, maka jangan mereka memandang kecuali apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah halalkan baginya.
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah, “Kebanyakan para ulama menjadikan ayat ini sebagai dalil tentang haramnya wanita memandang laki-laki selain mahramnya, baik dengan syahwat maupun tanpa syahwat.” ( Tafsir Ibnu Katsir 3/345).
Berkata Imam Al-Qurthuby rahimahullah dalam menafsirkan ayat ini, “Allah Subhanahu wa Ta’ala memulai dengan perintah menundukkan pandangan sebelum perintah menjaga kemaluan, karena pandangan adalah pancaran hati. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memerintahkan wanita-wanita mu’minah untuk menundukkan pandangannya dari hal-hal yang tidak halal. Oleh karena itu, tidak halal bagi wanita-wanita mu’minah untuk memandang laki-laki selain mahramnya.” ( Tafsir Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur`an2/227).
Berkata Imam Asy-Syaukany rahimahullah, “Ayat ini menunjukkan haramnya bagi wanita memandang kepada selain mahramnya.” ( Tafsir Fathul Qadir 4/32).
Berkata Muhammad Amin Asy-Syinqithy rahimahullah, “Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa yang menjadikan mata itu berdosa karena memandang hal-hal yang dilarang, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Dia mengetahui khianatnya (pandangan) mata dan apa yang disembunyikan oleh hati.”[ Ghafir: 19 ]
Ini menunjukkan ancaman bagi yang menghianati matanya dengan memandang hal-hal yang dilarang.”
Al-Imam Al-Bukhary rahimahullah berkata, “Makna dari ayat (31 surah An-Nur) adalah memandang hal yang dilarang, karena hal itu merupakan penghianatan mata dalam memandang.” ( Adhwa` Al-Bayan 9/190).
Dalil-Dalil dari Sunnah
Pertama , dari Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوْسَ فِي الطُّرُقَاتِ قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا لَنَا بُدٌّ مِنْ مَجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيْهَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلاَّ الْمَجْلِسَ فَأَعْطُوْا الطَّرِيْقَ حَقَّهُ قَالُوْا وَمَا حَقُّهُ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلاَمِ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ
“Berhati-hatilah kalian dari duduk di jalan-jalan, mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah ada apa-apanya (bahayanya) dari majelis-majelis yang kami berbicara di dalamnya?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menjawab, ‘Apabila kalian tidak mau kecuali harus bermajelis maka berikanlah bagi jalanan haknya,’ mereka bertanya, ‘Dan apa haknya?’ Rasulullah menjawab, ‘Menundukkan pandangan, menahan diri dari mengganggu, menjawab salam dan amar ma’ruf nahi mungkar.’.”
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bary (11/11), “Dalam hadits ini terdapat petunjuk bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam melarang duduk di jalan, hal ini untuk menjaga timbulnya penyakit hati dan fitnah dari memandang laki-laki ataupun wanita selain mahramnya.”
Berkata Syamsuddin Al-‘Azhim Al-Abady sebagaimana dalam ‘Aunul Ma’bud (13/168), “Ghadhdhul bashar ‘menundukkan pandangan’ yaitu menahan pandangan dari melihat yang diharamkan.”
Kedua , dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menegaskan,
إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبَهُ مِنَ الزَّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زَنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذَنَانِ زِنَاهُمَا الْإِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang dan kaki zinanya adalah berjalan dan hati berhasrat dan berangan-angan dan hal tersebut dibenarkan oleh kemaluan atau didustakannya.”
Imam Bukhary, dalam menjelaskan hadits ini, menyatakan bahwa selain kemaluan, anggota badan lainnya dapat berzina, sebagaimana beliau sebutkan dalam sebuah bab bahwa selain kemaluan, anggota badan lainnya dapat berzina.
Al-Hafizh Ibnu Hajar telah menukil dari Ibnu Baththal bahwa beliau berkata, “Mata, mulut, dan hati dinyatakan berzina karena asal sesungguhnya dari zina kemaluan itu adalah memandang kepada hal-hal yang haram.” ( Fathul Bary 11/26).
Maka dari pernyataan ini menunjukkan bahwa hukum memandang kepada selain mahram adalah haram karena memandang adalah wasilah ‘jalan’ yang mengantar kita untuk berbuat zina kemaluan yang hal itu termasuk dosa besar.
Ketiga ,dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
يَتَحَقَّقُ رَجُلٌ مِنْ جُحْرٍ فِيْ حُجَرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَمَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ مدري يحك به رأسه فقال لو أعلم أنك تنظر لطعنت به في عينك إنما جعل الاستئذان من أجل البصر
“Seseorang dari satu celah mengamati kamar-kamar Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ada sisir yang beliau menggaruk kepalanya, maka beliau berkata, ‘Sekiranya saya tahu engkau memandang (ke kamarku) maka akan kutusukkan sisir ini ke matamu. Sesungguhnya diberlakukannya meminta izin itu karena alasan pandangan.’.” (diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim)
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya meminta izin disebabkan oleh hal memandang, dan adapun larangan memandang ke dalam rumah orang tanpa memberitahu pemiliknya karena dikhawatirkan ia akan melihat hal-hal yang haram.” ( Fathul Bary 11/221).
Keempat ,dari Jarir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu,
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِيْ أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِيْ
“Saya bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tentang memandang secara tiba-tiba, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam memberi perintah kepadaku, ‘Palingkanlah pandanganmu.’.” (diriwayatkan oleh Muslim).
Syaikh Salim Al-Hilaly hafizhahullah berkata, “Hadits ini menjelaskan bahwa tidak ada dosa pandangan kepada selain mahram secara tiba-tiba (tidak disengaja), akan tetapi wajib untuk memalingkan pandangan berikutnya, karena hal itu sudah merupakan dosa.” ( Bahjatun Nazhirin 3/146).
Imam An-Nawawy mengatakan, “Pandangan kepada selain mahram secara tiba-tiba tanpa maksud tertentu, pada pandangan pertama, maka tak ada dosa. Adapun selain itu, bila ia meneruskan pandangannya, maka hal itu sudah terhitung sebagai dosa.” ( Syarh Shahih Muslim 4/197).
Pendapat Para Ulama
Dari uraian dalil Al-Qur`an dan Sunnah di atas, menunjukkan bahwa hukum memandang kepada selain mahram adalah haram. Tidak terjadi khilaf di antara para ulama akan hal itu.
Al-Imam An-Nawawy telah menukil kesepakatan para ulama tentang haramnya memandang kepada selain mahram dengan syahwat. ( Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawy 6/262).
Adapun khusus wanita bila memandang dengan tanpa syahwat maka terjadi perselisihan pendapat, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir -nya, “Kebanyakan para ulama menyatakan haram bagi wanita memandang selain mahramnya, baik dengan syahwat maupun tanpa syahwat, dan sebagian lagi dari mereka menyatakan bahwa haram wanita memandang dengan syahwat, adapun tanpa syahwat maka hal itu boleh.” ( Tafsir Ibnu Katsir 3/354).
Adapun dalil pendapat Jumhur ulama yang menyatakan haram memandang secara mutlak adalah:
Pertama , Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
“Katakanlah kepada wanita yang beriman agar hendaknya mereka menundukkan pandangannya”. [ An- Nur: 31 ]
Ibnu Katsir menafsirkan bahwa ayat ini merupakan dalil akan haramnya wanita memandang kepada selain mahram. ( Tafsir Ibnu Katsir 3/345).
Berkata Muhammad Ibnu Yusuf Al-Andalusy dalam Tafsir -nya ( Tafsirul Bahrul Muhit6/411), dan Imam Asy-Syaukany ( Fathul Qadir 4/32), “Bahwa surah An-Nur ayat 31 ini sebagai taukid ‘penguat’ ayat sebelumnya, yaitu An-Nur ayat 30, bahwa hukum laki-laki memandang kepada selain mahram adalah haram secara mutlak, maka begitupun hukum wanita memandang kepada selain mahram adalah haram secara mutlak pula.”
Kedua , hadits Ummu Salamah,
كُنْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدَهُ مَيْمُوْنَةُ فَأَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍ وَذَلِكَ بَعْدَ أَنْ أُمِرْنَا بِالْحِجَابِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ احْتَجِبَا مِنْهُ فَقُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ أَلَيْسَ أَعْمَى لاَ يُبْصِرُنَا وَلاَ يَعْرِفُنَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ أَفَعُمْيَاوَانِ أَنْتُمَا أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ
“Saya pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan Maimunah ada di sisinya, maka datanglah Ibnu Ummi Maktum, dan pada saat itu kami telah diperintah untuk berhijab, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata, ‘Berhijablah kalian darinya!’ Maka kami mengatakan, ‘Bukankah Ibnu Ummi Maktum buta, tidak melihat dan tidak mengenal kami?’ Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata, ‘Apakah kalian berdua buta? Bukankah kalian berdua dapat melihatnya?’.”
Diriwayatkan olehAbu Daud no. 4112, At-Tirmidzy no. 2778, An-Nasa`i dalam Al-Kubrano. 9241, Ahmad 6/296, Abu Ya’la dalam Musnad -nya no. 6922, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 5575-5576, Al-Baihaqy 7/91, Ath-Thabarany 23/no. 678, Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqat 8/175,178, Al-Khatib Al-Baghdady dalam Tarikh -nya 3/17-18, 8/338, dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 19/155.
Tetapi ada kelemahan di dalam hadits ini, yaitu seorang rawi yang bernama Nabhan maula Ummu Salamah. Ia adalah seorang rawi yang majhul. Karena itu, hadits ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 1806.
Imam An-Nawawy berkata, “ Ada dua pendapat dalam masalah hukum wanita memandang tanpa dengan syahwat, dan yang rajih dalam masalah ini adalah haram, berdasarkan dalil surah An-Nur ayat 31. dan dalil yang paling kuat dalam masalah ini adalah hadits Ummi Salamah dan beliau(?) berkata bahwa haditsnya hasan.”
(Lihat Syarh Muslim oleh An-Nawawy 6/262)
Adapun dalil yang digunakan oleh orang-orang yang membolehkan wanita memandang kepada selain mahram tanpa syahwat adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْمُ عَلَى بَابِ حُجْرَتِيْ وَالْحَبَشَةُ يَلْعَبُوْنَ بِحِرَابِهِمْ فِيْ مَسْجِدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَسْتُرُنِيْ بِرِدَائِهِ لِكَيْ أَنْظُرُ إِلَى لَعْبِهِمْ
“Saya melihat Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam di pintu kamarku, sedang orang-orang Habasyah bermain di dalam masjid Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. (Beliau pun) menghijabiku dengan rida`-nya supaya saya dapat melihat permainan mereka.” (diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim)
Akan tetapi, tidak ada pendalilan (alasan) bagi mereka, dalam hadits ini, untuk membolehkan memandang kepada laki-laki yang bukan mahram tanpa syahwat. Penjelasan hal tersebut sebagai berikut.
Berkata Imam An-Nawawy ( Syarh Muslim 6/262), “Adapun hadits yang menceritakan tentang ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha melihat orang-orang Habasyah bermain di dalam masjid memiliki beberapa kemungkinan, antara lain saat itu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhabelum mencapai masa baligh.”
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar ( Al-Fath 2/445), “Dalam hadits ‘Aisyah tersebut, kemungkinan saat itu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha hanya bermaksud melihat permainan mereka, bukan wajah dan badan mereka, dan bila ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sampai melihat mereka maka hal itu terjadi secara tiba-tiba, dan tentunya ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha akan memalingkan pandangannya setelah itu.”
Kemungkinan lainnya, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha melihat orang-orang Habasyah bermain di dalam masjid dari jarak jauh, karena dalam hadits itu diceritakan bahwa ‘Aisyah berada dalam kamarnya, sedangkan orang-orang Habasyah bermain di dalam masjid. Wallahu a’lam.
Beberapa Syubhat dan Bantahannya
  • Tentang boleh atau tidaknya jika hal yang dipandang itu di dalam televisi, majalah atau koran.
Maka dijawab bahwa tidak ada perbedaan melihat di televisi, majalah dan lain-lain, karena ayat dan hadits-hadits yang kita sebutkan sebelumnya secara umum memerintahkan untuk menundukkan pandangan ( Lajnah Fatawa oleh Syaikh Ibnu Bazz).
  • Pandangan pertama adalah rahmat.
Hal ini tidak betul, sebab dalam hadits Jarir yang telah lalu diceritakan, ketika Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ditanya tentang memandang secara tiba-tiba (tidak disengaja) yang terjadi pada awal kali memandang, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam memerintahkan untuk memalingkan pandangan itu. Maka tentunya memandang dengan sengaja adalah dosa walaupun terjadi pada awal kali memandang.
  • Melihat ciptaan Allah adalah ibadah.
Ibnu Taimiyah berkata, “Siapa yang berkata bahwa melihat kepada ciptaan Allah adalah ibadah, termasuk melihat kepada yang haram (yang bukan mahramnya), ini berarti dia telah menyatakan bahwa perbuatan keji itu adalah ibadah. Ini adalah perkataan kufur dan murtad, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.’ Mengapa kamu mengada-adakan perkataan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” [ Al-A’raf: 28 ]
Catatan
Tidak bolehnya melihat kepada perempuan yang bukan mahram ini berlaku umum, kecuali kalau seseorang ingin meminang maka boleh ia melihat kepada pinangannya dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh syariat, sebatas keperluan sebagaimana yang dijelaskan dalam dalil-dalil yang sangat banyak. Wallahu a’lam.
Hukum Berjabat Tangan dengan Selain Mahram
Adapun hukum berjabat tangan dengan selain mahram adalah haram, dalilnya sangat jelas, antara lain:
Pertama , dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menegaskan,
إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبَهُ مِنَ الزَّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زَنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذَنَانِ زِنَاهُمَا الْإِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, dan kaki zinanya adalah berjalan, dan hati berhasrat dan berangan-angan, dan hal tersebut dibenarkan oleh kemaluan atau didustakan.”
Imam An-Nawawy, dalam Syarh Muslim (16/316), menjelaskan, “Hadits ini menerangkan bahwa haramnya memegang dan menyentuh selain mahram karena hal itu adalah pengantar untuk melakukan zina kemaluan.”
Kedua , Hadits Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu,
لَأَنْ يُطْعَنُ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ
“Andaikata kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (diriwayatkan oleh Ar-Ruyany dalam Musnad -nya no. 1282, Ath-Thabrany 20/no. 486-487, dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman no. 4544. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihahno. 226)
Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram adalah dosa besar ( Nashihati Lin Nisa` hal. 123).
Berkata Asy-Syinqithy ( Adhwa` Al-Bayan 6/603), “Tidak ada keraguan, bahwa fitnah yang ditimbulkan akibat menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram lebih besar dan lebih kuat dibanding fitnah memandang.”
Berkata Abu ‘Abbas Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali Al-Makky Al-Haitamy ( Az-Zawajir 2/4), “Dalam hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh dan berjabat tangan dengan selain mahram adalah termasuk dosa besar.”
Ketiga ,hadits Amimah bintu Raqiqah radhiyallahu ‘anha, sesungguhnya Nabishallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
إِنِّيْ لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ
“Sesungguhnya aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita.” (diriwayatkan oleh Malik no. 1775, Ahmad 6/357, Ishaq Ibnu Rahaway dalam Musnad -nya 4/90, ‘Abdurrazzaq no. 9826, Ath-Thayalisy no. 1621, Ibnu Majah no. 2874, An-Nasa`i 7/149, Ad-Daraquthny 4/146-147, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4553, Al-Baihaqy 8/148, Ath-Thabary dalam Tafsir -nya 28/79, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al-Ahad Wal Matsan y no. 3340-3341, Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqat 8/5-6, Ath-Thabarany 24/no. 470,472,473, dan Al-Khallal dalam As-Sunnah no. 45. Dihasankan oleh Al-Hafizh dalamFathul Bary 12/204 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihah no. 529 dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shahihain )
Hadits ini mempunyai syahid dari hadits Asma` binti Yazid yang diriwayatkan oleh Ahmad 6/454,479, Ishaq Ibnu Rahawaih 4/182-183, Ath-Thabarany 24/no. 417,456,459, dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 12/244. Dalam sanadnya ada rawi yang bernama Syahr bin Hausyab, dan ia lemah dari sisi hafalannya, namun bagus dipakai sebagai pendukung)
Berkata Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 12/243, “Dalam perkataan beliau, ‘Aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita,’ ada dalil tentang tidak bolehnya seorang lelaki bersentuhan dengan perempuan yang tidak halal baginya (bukan mahramnya-pent.) dan menyentuh tangannya dan berjabat tangan dengannya.”
Keempat , hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Bukhary-Muslim, beliau berkata,
وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ قَطٌّ فِي الْمُبَايَعَةِ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلاَمِ
“Demi Allah, tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah menyentuh tangan wanita dalam berbai’at. Beliau hanya membai’at mereka dengan ucapan .
Berkata Imam An-Nawawy ( Syarh Muslim 13/16), “Dalam hadits ini menjelaskan bahwa bai’at wanita (dilakukan) dengan ucapan, bukan dengan menyentuh tangan.”
Berkata Ibnu Katsir ( Tafsir Ibnu Katsir 4/60), “Hadits ini sebagai dalil bahwa bai’at wanita (dilakukan) dengan ucapan tanpa dengan menyentuh tangan.”
Jadi, bai’at terhadap wanita dilakukan dengan ucapan, tidak dengan menyentuh tangan. Adapun asal dalam berbai’at adalah dengan cara menyentuh tangan, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam membai’at para shahabatnya dengan cara menyentuh tangannya. Hal ini menunjukkan haramnya menyentuh/berjabat tangan kepada selain mahram dalam berbai’at, apalagi, bila hal itu dilakukan bukan dengan alasan bai’at, tentu dosanya lebih besar lagi.
Beberapa Syubhat dan Bantahannya
Syubhat pertama , boleh menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram dengan dalil 2 hadits dari Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha,
فَمَدَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ مِنْ خَارِجِ الْبَيْتِ وَمَدَدْنَا أَيْدِيَنَا مِنْ دَاخِلِ الْبَيْتِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ اشْهَدْ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam memanjangkan tangannya dari luar rumah, dan kami pun memanjangkan tangan kami dari dalam rumah, kemudian beliau berkata, ‘Ya Allah, saksikanlah.’.”
Beliau juga berkata dalam riwayat Bukhary,
بَايَعْنَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَرَأَ عَلَيْنَا أَنْ لاَ يُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئًا وَنَهَانَا عَنْ النِّيَاحَةِ فَقَبَضَتْ امْرَأَةٌ يَدَهَا…
“Kami berbai’at kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, maka beliau membacakan kepada kami ayat [Janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu pun] dan melarang kami dari meraung (sewaktu kematian), maka wanita (itu pun) memegang tangannya ….”
Bantahan
Hadits pertama, menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar, diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Bazzar, Ath-Thabary, dan Ibnu Mardaway dari jalan Isma’il bin ‘Abdirrahman, dan Isma’il bin ‘Abdirrahman, menurut Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihah 2/65, laisa bimasyhur ‘tidak terkenal’, maka beliau menghukumi haditsnya sebagai hadits laisa bil qawy ‘tidak kuat’.
Berkata pula Al-Hafizh Ibnu Hajar bahwa mereka memanjangkan tangan dari belakang hijab sebagai isyarat bahwa baiat telah terjadi walaupun tidak berjabat tangan.
Kemudian, dalam hadits pertama ini, tidak ada kepastian bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyentuh/berjabat tangan dengan wanita, bahkan yang dipahami dalam hadits itu adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallamhanya memanjangkan tangannya.
Lalu, pada hadits kedua, tangan yang dimaksud pada kalimat “yang memegang tangannya” adalah tangan wanita itu sendiri, bukan tangan Rasulullah.
Kemudian, kedua hadits ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Albanyrahimahullah, bukan pernyataan yang sharih ‘tegas,jelas’ bahwa para wanita ini berjabat tangan dengan beliau, maka tidak boleh hadits yang seperti ini menggugurkan kandungan dari hadits Amimah bintu Raqiqah dan hadits ‘Aisyah yang menyatakan dengan jelas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam sama sekali tidak pernah berjabat dan menyentuh tangan wanita, baik dalam bai’at maupun di luar bai’at.
Syubhat kedua , boleh menyentuh/berjabat tangan bila dilapisi dengan kain atau semacamnya,dengan dalil hadits Sya’by radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَايَعَ النِّسَاءَ أُتِيَ بِثَوْبٍ قَطْرٍ فَوَضَعَهَا عَلَى يَدِهِ وَقَالَ أَنِّيْ لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, ketika membai’at para wanita, diberi kain sutera, kemudian meletakkan kain tersebut di atas tangannya dan berkata, ‘Saya tidak berjabat tangan dengan wanita.’.”
Bantahan
Hadits ini mursal (dha’if). Dikeluarkan dari ‘Abdurrazzaq dari jalan An-Nakha’i denganmursal. Lalu dari Ibnu Manshur, dari jalan Qais Abi Hazm, dengan jalan mursal. Karena hadits ini lemah, maka dikembalikan kepada hadits yang secara umum menyatakan haramnya menyentuh dan berjabat tangan dengan selain mahram, baik dengan memakai pelapis/pembatas maupun tidak. (Lihat Al-Fatawa Wa Ar-Rasa`il Lin-Nisa`hal. 10 karya Syaikh ‘Utsaimin dan Nashihati Lin-Nisa` hal. 14 oleh Ummu ‘Abdillah binti Muqbil bin Hady Al-Wadi’iy).
Syubhat ketiga , boleh menyentuh/berjabat tangan dengan orang yang sudah tua.
Bantahan
Hal ini telah ditanyakan kepada Syaikh bin Baz dan Syaikh ‘Utsaimin rahimahumallah, dan beliau menjawab bahwa tidak ada perbedaan dalam hal ini, baik orang yang dijabattangani sudah tua maupun belum, karena hadits-hadits, yang menyebutkan bahaya dan fitnah yang ditimbulkan, tidak membedakan keduanya. Kemudian, menurut Syaikh, batasan antara orang tua dan muda berbeda-beda menurut penilaian setiap orang. (Lihat Fatwa Syeikh bin Baz dan Syaikh ‘Utsaimin ).
Wallahu a’lam bishshawab .
Syubhat keempat , boleh berjabat tangan kepada selain mahram jika niatnya baik.
Bantahan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Demi masa, sesungguhnya manusia itu pasti berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan shalih.” [ Al-Ashr: 1-3 ]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallambersabda,
إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk-bentuk dan harta-harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati-hati dan amalan-amalan kalian.” (diriwayatkan oleh Muslim)
Berkata Al-Imam Al-Ajurry dalam Asy-Syari’ah hal. 128, “Amalan yang dilakukan oleh anggota tubuh adalah sebagai pembenaran iman yang ada dalam hati, maka barangsiapa yang tidak beramal, tidak dikatakan sebagai orang yang beriman, bahkan meninggalkan amalan adalah pendustaan terhadap keimanannya kepada AllahSubhanahu wa Ta’ala.”
Wallahu A’lam bishshawab .
Kesimpulan
Dari uraian dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah di atas, maka telah jelas bagi kita tentang larangan memandang dan berjabat tangan kepada selain mahram. Bahwa hukum memandang dan berjabat tangan kepada selain mahram adalah haram.
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin .
Oleh Shobaruddin bin Muhammad Arif
http://an-nashihah.com

0 komentar:

Agenda Harian

Semoga kita senantiasa terpacu untuk mengukir prestasi amal yang akan memperberat timbangan kebaikan di yaumil akhir, berikut rangkaian yang bisa dilakukan

1. Agenda pada sepertiga malam akhir

a. Menunaikan shalat tahajjud dengan memanjangkan waktu pada saat ruku’ dan sujud di dalamnya,

b. Menunaikan shalat witir

c. Duduk untuk berdoa dan memohon ampun kepada Allah hingga azan subuh

Rasulullah saw bersabda:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

“Sesungguhnya Allah SWT selalu turun pada setiap malam menuju langit dunia saat 1/3 malam terakhir, dan Dia berkata: “Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku maka akan Aku kabulkan, dan barangsiapa yang meminta kepada-Ku maka akan Aku berikan, dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku maka akan Aku ampuni”. (HR. Bukhari Muslim)


2. Agenda Setelah Terbit Fajar

a. Menjawab seruan azan untuk shalat subuh

” الَّلهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِي وَعَدْتَهُ “

“Ya Allah, Tuhan pemilik seruan yang sempurna ini, shalat yang telah dikumandangkan, berikanlah kepada Nabi Muhammad wasilah dan karunia, dan bangkitkanlah dia pada tempat yang terpuji seperti yang telah Engkau janjikan. (Ditashih oleh Al-Albani)

b. Menunaikan shalat sunnah fajar di rumah dua rakaat

Rasulullah saw bersabda:

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا

“Dua rakaat sunnah fajar lebih baik dari dunia dan segala isinya”. (Muslim)

وَ قَدْ قَرَأَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِي رَكْعَتَي الْفَجْرِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدَ

“Nabi saw pada dua rakaat sunnah fajar membaca surat “Qul ya ayyuhal kafirun” dan “Qul huwallahu ahad”.

c. Menunaikan shalat subuh berjamaah di masjid –khususnya- bagi laki-laki.

Rasulullah saw bersabda:

وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الْعَتْمَةِ وَالصُّبْحِ لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

“Sekiranya manusia tahu apa yang ada dalam kegelapan dan subuh maka mereka akan mendatanginya walau dalam keadaan tergopoh-gopoh” (Muttafaqun alaih)

بَشِّرِ الْمَشَّائِيْنَ فِي الظّلَمِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِالنُّوْرِ التَّامِّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Berikanlah kabar gembira kepada para pejalan di kegelapan menuju masjid dengan cahaya yang sempurna pada hari kiamat”. (Tirmidzi dan ibnu Majah)

d. Menyibukkan diri dengan doa, dzikir atau tilawah Al-Quran hingga waktu iqamat shalat

Rasulullah saw bersabda:

الدُّعَاءُ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ

“Doa antara adzan dan iqamat tidak akan ditolak” (Ahmad dan Tirmidzi dan Abu Daud)

e. Duduk di masjid bagi laki-laki /mushalla bagi wanita untuk berdzikir dan membaca dzikir waktu pagi

Dalam hadits nabi disebutkan:

كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إَذَا صَلَّى الْفَجْرَ تَرَبَّعَ فِي مَجْلِسِهِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ الْحَسَنَاءُ

” Nabi saw jika selesai shalat fajar duduk di tempat duduknya hingga terbit matahari yang ke kuning-kuningan”. (Muslim)

Agenda prioritas

Membaca Al-Quran.

Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya waktu fajar itu disaksikan (malaikat). (Al-Isra : 78) Dan memiliki komitmen sesuai kemampuannya untuk selalu:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah lebih banyak dari itu semua, maka akan menuai kebaikan berlimpah insya Allah.

3. Menunaikan shalat Dhuha walau hanya dua rakaat

Rasulullah saw bersabda:

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى

“Setiap ruas tulang tubuh manusia wajib dikeluarkan sedekahnya, setiap hari ketika matahari terbit. Mendamaikan antara dua orang yang berselisih adalah sedekah, menolong orang dengan membantunya menaiki kendaraan atau mengangkat kan barang ke atas kendaraannya adalah sedekah, kata-kata yang baik adalah sedekah, tiap-tiap langkahmu untuk mengerjakan shalat adalah sedekah, dan membersihkan rintangan dari jalan adalah sedekah”. (Bukhari dan Muslim)

4. Berangkat kerja atau belajar dengan berharap karena Allah

Rasulullah saw bersabda:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمِلِ يَدِهِ، وَكَانَ دَاوُدُ لا يَأْكُلُ إِلا مِنْ عَمِلِ يَدِهِ

“Tidaklah seseorang memakan makanan, lebih baik dari yang didapat oleh tangannya sendiri, dan bahwa nabi Daud makan dari hasil tangannya sendiri”. (Bukhari)

Dalam hadits lainnya nabi juga bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang berjalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga”. (Muslim)

d. Menyibukkan diri dengan dzikir sepanjang hari

Allah berfirman :

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ketahuilah dengan berdzikir kepada Allah maka hati akan menjadi tenang” (Ra’ad : 28)

Rasulullah saw bersabda:

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهَ أَنْ تَمُوْتَ ولسانُك رَطْبٌ من ذِكْرِ الله

“Sebaik-baik perbuatan kepada Allah adalah saat engkau mati sementara lidahmu basah dari berdzikir kepada Allah” (Thabrani dan Ibnu Hibban) .

5. Agenda saat shalat Zhuhur

a. Menjawab azan untuk shalat Zhuhur, lalu menunaikan shalat Zhuhur berjamaah di Masjid khususnya bagi laki-laki

b. Menunaikan sunnah rawatib sebelum Zhuhur 4 rakaat dan 2 rakaat setelah Zhuhur

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang shalat 12 rakaat pada siang dan malam hari maka Allah akan membangunkan baginya dengannya rumah di surga”. (Muslim).

6. Agenda saat dan setelah shalat Ashar

a. Menjawab azan untuk shalat Ashar, kemudian dilanjutkan dengan menunaikan shalat Ashar secara berjamaah di masjid

b. Mendengarkan nasihat di masjid (jika ada)

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ لا يُرِيدُ إِلا أَنْ يَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ يَعْلَمَهُ، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ حَاجٍّ تَامًّا حِجَّتُهُ

“Barangsiapa yang pergi ke masjid tidak menginginkan yang lain kecuali belajar kebaikan atau mengajarkannya, maka baginya ganjaran haji secara sempurna”. (Thabrani – hasan shahih)

c. Istirahat sejenak dengan niat yang karena Allah

Rasulullah saw bersabda:

وَإِنَّ لِبَدَنِكَ عَلَيْكَ حَقٌّ

“Sesungguhnya bagi setiap tubuh atasmu ada haknya”.

Agenda prioritas:

Membaca Al-Quran dan berkomitmen semampunya untuk:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan, maka akan menuai kebaikan yang berlimpah insya Allah.

7. Agenda sebelum Maghrib

a. Memperhatikan urusan rumah tangga – melakukan mudzakarah – Menghafal Al-Quran

b. Mendengarkan ceramah, nasihat, khutbah, untaian hikmah atau dakwah melalui media

c. Menyibukkan diri dengan doa

Rasulullah saw bersabda:

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

“Doa adalah ibadah”

8. Agenda setelah terbenam matahari

a. Menjawab azan untuk shalat Maghrib

b. Menunaikan shalat Maghrib secara berjamaah di masjid (khususnya bagi laki-laki)

c. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Maghrib – 2 rakaat

d. Membaca dzikir sore

e. Mempersiapkan diri untuk shalat Isya lalu melangkahkan kaki menuju masjid

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً

“Barangsiapa yang bersuci/berwudhu kemudian berjalan menuju salah satu dari rumah-rumah Allah untuk menunaikan salah satu kewajiban dari kewajiban Allah, maka langkah-langkahnya akan menggugurkan kesalahan dan yang lainnya mengangkat derajatnya”. (Muslim)

9. Agenda pada waktu shalat Isya

a. Menjawab azan untuk shalat Isya kemudian menunaikan shalat Isya secara jamaah di masjid

b. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Isya – 2 rakaat

c. Duduk bersama keluarga/melakukan silaturahim

d. Mendengarkan ceramah, nasihat dan untaian hikmah di Masjid

e. Dakwah melalui media atau lainnya

f. Melakukan mudzakarah

g. Menghafal Al-Quran

Agenda prioritas

Membaca Al-Quran dengan berkomitmen sesuai dengan kemampuannya untuk:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan bacaan maka telah menuai kebaikan berlimpah insya Allah.


Apa yang kita jelaskan di sini merupakan contoh, sehingga tidak harus sama persis dengan yang kami sampaikan, kondisional tergantung masing-masing individu. Semoga ikhtiar ini bisa memandu kita untuk optimalisasi ibadah insya Allah. Allahu a’lam

Jazaakillah

Sedikit revisi dari : http://www.al-ikhwan.net/agenda-harian-ramadhan-menuju-bahagia-di-bulan-ramadhan-2989/

Isi Blog

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.