RESEP HIDUP BAHAGIA
Pendahuluan Segala puji bagi Allah yang hanya milik-Nya pujian-pujian seluruhnya. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan Yang Haq untuk disembah kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adlah hamba dan rasul-Nya. Semoga Allah senantiasa melimpahkan shalawat dan salam-Nya kepada beliau, keluarga dan para shahabat beliau.
Oleh Syeikh ‘Abdurrahman ibnu Nashir as-Sa’di
Ketenteraman dan kesenangan hati serta hilangnya keresahan dan kesedihannya adalah tujuan setiap manusia. Dengan itu kehidupan bahagia menjadi realita dan kesenangan serta kegembiraan yang sebenarnya pun terwujud.
Hal ini tergapai lantaran tiga sarana:
- Sarana melalui pembenahan kehidupan religi,
- Sarana yang bersifat alami, dan
- Sarana praktis yang dijalani dengan kesungguhan.
Ketiga sarana ini hanyalah mungkin dimiliki para mukmin. Sedangkan selain mereka, kalaupun tergapai oleh mereka satu sisi kebahagian dan karena suatu sarana yang diupayakan keras oleh orang-orang bijak di kalangan mereka, tidaklah dapat tergapai oleh mereka sisi-sisi lain yang lebih tinggi manfaatnya, lebih mantap dan lebih bagus nilainya, baik yang dirasakan secara langsung di dunia ataupun kelak di Hari Kemudian.
Melalui buku kecil ini penulis akan memaparkan, sebatas ingatan penulis, beberapa sarana untuk menggayuh tujuan luhur ini, yang setiap orang berupaya untuk meraihnya.
Sebagian manusia ada yang beruntung meraih banyak dari sarana-sarana itu. Dengan itu, ia hidup dan menjalani kehidupan dengan bahagia. Sebagian yang lain gagal meraih apapun. Karenanya, ia hidup dan menjalani kehidupan dengan sengsara. Sedang sebagian yang lain tidak begini dan tidak begitu. Mereka hanya meraih sebatas yang dapat mereka raih.
Hanya Allah semata Pemberi Taufiq. Kepada-Nya kita memohon pertolongan dalam meraih segala kebagian dan menangkis semua keburukan.
RESEP HIDUP BAHAGIA
- Beriman dan Beramal Shaleh dengan Sebenarnya
Sarana yang paling agung yang merupakan sarana pokok dan dasar bagi tergapainya hidup bahagia ialan beriman dan beramal shaleh. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Barangsiapa melakukan amal shalihi, baik lelaki maupun perempuan, sedangkan ia beriman, maka sesungguhnyaakan Kami karuniakan kepadanyakehidupan yang baik dan sesunguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dengan apa yang telah mereka lakukan.” (QS. An-Nahl: 97)
Kepada orang yang memadukan antara iman dan amal shalih, Allah Ta’ala memberitahukan dan menjanjikan kehidupan yang baik di dunia dan pahala yang baik di dunia maupun di akhirat.
Sebabnya jelas. Karena, orang-orang yang beriman kepada Allah dengan iman yang benar lagi membuahkan amal shalih yang mampu memperbaiki hati, akhlaq, urusan duniawi dan ukhrawi, mereka memiliki prinsip-prinsip mendasar dalam menyambut datangnya kesenangan dan kegembiraan, ataupun datangnya keguncangan, kegundahan, dan kesedihan.
Mereka menyambut segala hal yang menyenangkan dan menggemberikan dengan menerima, mensyukuri dan menggunakannya untuk sesuatu yang bermanfaat. Jika mereka menggunakannya demikian, niscaya hal itu akan melahirkan nilai-nilai agung di balik kegembiraan karenanya, pendambaan kelanggengan dan keberkahannya, dan keberharapan pahala seperti pahala yang diperoleh para hamba yang bersyukur. Nilai-nilai itu, dengan setumpuk buah dan keberkahaannya, justru mengungguli wujud kegembiraan-kegembiraan itu, yang itu pun bagian dari buahnya.
Mereka hadapi cobaan, mara bahaya, kegundahan dan kesedihan dengan melawan apa yang mungkin dilawannya, menepis sedikit apa yang mungkin ditepis, dan bersabar terhadap apa yang harus terjadi tidak boleh tidak. Dengan demikian, di balik cobaan-cobaan itu lahirlah nilai-nilai agung berupa sikap melawan yang penuh arti, pengalaman dan kekuatan, serta kesabaran dan ketulusan untuk hanya berharap pahala Ilahi. Dengan melekatnya nilai-nilai agung itu di hati, kecillah di mata mereka aneka cobaan berat. Sedang yang bersemayam di hati justeru kesenangan, cita-cita mulia dan dambaan untuk menggapai karunia dan pahala dari Allah.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menggambarkan ini dalam hadits shahih, beliau bersabda:
عجبا لأمر المؤمن. إن أمره كله خير. و إن أصا بته سرء شكر فكان خبراله. و إن أصا بته ضراء صبر فكان خبراله. وليس ذلك لأحد إلا للمؤمن.
“Sungguh mengagumkan perihal mukmin. Semua hal yang dialaminya adalah baik. Jika ia mendapatkan hal yang menyenagkan, ia bersyukur. Maka hal itu menjadi suatu kebaikan baginya. Jika ia tertimpa hal yang menyakitkan, ia bersabar. Maka hal itu menjadi suatu kebaikan baginya. Sifat itu tidak dimiliki siapapun kecuali oleh seorang mukmin.” ii
Baginda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menerangkan bahwasanya keberuntungan, nilai kebaikan dan buah perilaku mukmin berlipat ganda pada saat mengalami kesenangan ataupun cobaan. Oleh sebab itu, bisa jadi Anda jumpai dua orang yang sama-sama mengalami ujian berupa keberuntungan dan bencana. Namun, antara satu dan yang lain berbeda jauh dalam menghadapi ujian itu, sesuai dengan kadar iman dan amal shalih yang ada pada diri masing-masing.
Orang yang beriman dan melakukan amal shalih menghadapi keberuntungan dengan rasa syukur dan sikap perilaku yang membuktikan kesungguhan syukur itu, dan menghadapi bencana dengan bersabar dan sikap perilaku yang membuktikan kesungguhan kesabaran itu. Dengan demikian, hal itu dapat membuahkan di hatinya kesenangan, kegembiraan dan hilangnya kegundahan, kesedihan, kegelisahan, kesempitan dada dan kesengsaraan hidup. Selanjutnya, kehidupan bahagia akan benar-benar menjadi realita baginya di dunia ini.
Sedangkan yang lain menghadapi kesenangan hidup dengan kecongkakan, kesombongan dan sikap melampaui batas. Lalu, melencenglah moralnya. Ia menyambut kesenangan hidup seperti halnya binatang yang menyambut kesenangan dengan serakah dan rakus. Seiring itu, hatinya tidak tenteram. Bahkan, hatinya tercerai-berai oleh berbagai hal. Hatinya tercerai-berai oleh kekhawatirannya terhadap sirnanya segala kesenangannya dan banyaknya benturan-benturan yang pada umumnya, muncul sebagai dampaknya. Hatinya tercerai-berai tidak menentu, karena memang hasrat jiwa tidak mau berhenti pada suatu batas. Bahkan, terus gandrung kepada keinginan-keinginan lain yang kadangkala dapat terwujud dan kadangkala tidak dapat terwujud. Andaikan – dibayangkan – dapat terwujud, ia pun tetap gelisah oleh karena hal-hal tadi. Ia pun menyambut cobaan yang sulit dengan rasa gelisah, keluh kesah, khawatir dan gusar. Tidak usah Anda bertanya tentang dampak buruk dari itu semua, yang berupa kesengsaraan hidup, teridapnya penyakit jiwa maupun saraf dan rasa kekhawatiran bercampur ketakutan yang bisa jadi, pada gilirannya akan menyeretnya ke kondisi yang paling buruk dan malapetaka yang paling mengerikan. Karena, ia tidak mempunyai harapan pada pahala Ilahi dan tidak memiliki kesabaran yang mampu melipur hatinya dan meringankan beban yang dirasakannya. Semuanya ini dapat dilihat melaui pengalaman.
Satu gambaran: Jika Anda mengamati dan menilai keadaan orang pada umumnya dengan barometer iman dan amal, maka Anda akan melihat perbedaan jauh antara orang mukmin yang berbuat sesuai tuntunan imannya dan yang tidak demikian. Hal itu karena Islam sangat menganjurkan qana’ah (menerima dengan penuh kerelaan) terhadap rezeki dari Allah terhadap ragam karunia dan kemurahan-Nya yang diberikan-Nya kepada para hamba-Nya.
Orang mukmin, jika diuji dengan datangnya penyakit atau kefakiran atau semacamnya – yang setiap orang bisa menjadi sasaran cobaan itu – , maka dengan iman dan jiwa qana’ah serta ridha terhadap apa yang diberikan Allah kepadanya, Anda dapati ia berhati sejuk dan bermata ceria, tidak menuntut sesuatu yang tidak ditakdirkan untuknya. Di segi materi, ia memandang kepada yang lebih rendah, tidak memandang kepada yang lebih atas. Bisa jadi, kegembiraan, kesenangan dan ketenteraman batinnya melebihi orang yang meraih semua keinginan duniawinya, jika orang itu tidak dikaruniai jiwa qana’ah.
Kemudian, Anda dapati orang yang tidak berbuat sesuai dengan tuntutan iman, jika ia diuji dengan sedikit kefakiran saja, atau tidak diperolehnya keinginan-keinginan duniawinya, maka Anda dapati ia sangat hancur dan sengsara.
Gambaran lain: Jika terjadi pada seseorang hal-hal yang menakutkan dan ia tertimpa malapetaka atau bencana, maka orang yang benar imannya akan Anda dapati ia berhati teguh, berjiwa tenteram lagi tegar menangani dan menyetir sesuatu yang menimpanya dengan pikiran, ucapan, dan tindakan yang dimampuinya. Ia kukuhkan jiwanya untuk menghadapi bencana yang menimpanya itu. Sikap semacam ini adalah sikap yang menenteramkan dan mengukuhkan hati seseorang.
Sebaliknya, orang yang tidak memiliki iman, jika terjadi peristiwa-peristiwa yang menakutkan, Anda dapati ia guncang hatinya dalam menghadapinya, saraf-sarafnya tegang, dan pikirannya tercerai-berai. Rasa kekhawatiran dan ketakutan merasuk di jiwanya. Rasa ketakutan dari ancaman luar dan seribu gejolak di dalam telah tertumpuk menyatu dalam dirinya, yang tidak mungkin digambarkan. Manusia semacam ini, jika tidak memiliki beberapa sarana terapi alami yang hal itu membutuhkan latihan banyak, maka ketahanan dirinya akan luluh dan saraf-sarafnya pun akan tegang. Itu semua karena ia tidak memiliki iman yang dapat membawanya untuk bersabar, terutama dalam situasi sulit dan kondisi yang menyedihkan lagi mengguncangkan.
Orang baik dan orang jahat, orang mukmin dan orang kafir adalah sama di sisi keberanian yang diperoleh melalui upaya atau latihan dan di sisi naluri (instinct) yang berfungsi melipur dan menurunkan volume rasa takut. Akan tetapi, orang mukmin, dengan kekuatan imannya, kesabaranya, kepasrahan dan kebersandarannya kepada Allah serta keberharapannya pada pahala-Nya, ia unggul dengan memiliki nilai-nilai lebih yang meningkatkan keberaniannya, meringankan tekanan rasa takutnya dan membantu memandang kecil segala kesulitan yang dihapinya. Allah berfirman:
“Jika kamu menderita kesakitan, sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan (pula) sebagaimana apa yang kamu derita. Sedangkan kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan.iii (QS. An-Nisa’: 104)
Para mukminin dianugerahi ma’unah (pertolongan), ma’iyyah (rasa kebersamaan) dan madad(bantuan) Allah yang khusus, yang dapat menyirnakan segala ketakutan.
Allah berfirman:
* * *
[ Disadur dari buku Resep Hidup Bahagia, Judul Asli: الوسائل المفيدة للحياة السعيدة Penulis: Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Penerjemah: Rahmat al-Arifin Muhammad bin Ma’ruf, Penerbit: Direktorat Bidang Penerbitan dan Riset Ilmiah Departemen Agama, Wakaf, Dakwah dan Bimbingan Islam, Saudi Arabia, 1425 H ]
Catatan Kaki:
i Ibnu Katsir, dalam Tafsirul-Qur’anil-‘Azhim, berkata: man ‘amila shalihan, wa huma al-‘amalul-mutabi’ li Kitabillah Ta’ala wa Sunnati Nabbiyihi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maksudnya yaitu amal (perbuatan) yang mengikuti Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya. (Penerj.)
ii Imam Ahmad, al-Fathur-Rabbani li tartibi Musnad al-Imam Ahmad ibnu Hanbal as-Syaibani, Kitab al-Qadar. Muslim, Shahih Muslim, Kitab az-Zuhud wa ar-Raqa’iq (Penerj.)
iii Penulis, dalam kitab Tafsirnya Taisirul Mannan, menjelaskan, yaitu keberuntungan dengan memperoleh pahala-Nya dan keselamatan dari siksa-Nya. (Penerj.)
iv Di dalam Taisirul Mannan, Penulis menjelaskan, yakni, Allah bersama orang-orang yang sabar dengan mengaruniakan pertolongan, kemenangan dan dukungan-Nya (Penerj.)
0 komentar:
Posting Komentar