~Iseng-iseng mbuka bundel majalah yang kupunya, dapat cerita bagus berikut ini. Semoga bermanfaat.~
Entah kenapa, sore ini aku ingin sekali membuka dan membacanya lagi. Kertas berlumuran darah, kenangan dari orang yang mulia dan selalu kusayangi bahkan sampai saat ini. Huruf demi huruf kueja beriring hati menyimak, terangkai kembali kalimat yang maknanya telah membumi dalam hatiku bersama semua kenangan yang telah lalu. Tak terasa, air mataku mengalir kembali, saat hati tersentuh haru. Bermula sejak dua tahun lalu.
Seperti biasa, sepulang kuliah kuucap salam dan menjabat tangan kedua orang tuaku. Tapi, sore itu, ada yang lain dengan tatapan mereka. “Ayah ingin bicara denganmu.” Tak biasanya ayah menyapa dengan pembicaraan seserius itu, “Fathimah, ayah telah pikirkan dengan matang bahwa kamu sudah saatnya berumah tangga. Pekan kemarin teman ayah dan putranya datang hendak melamarmu. Tapi ayah belum bisa putuskan sebelum mendapat persetujuanmu.”
Bagai disambar petir telingaku mendengarkannya. Cita-citaku menjadi sarjana kedokteran sudah diambang pintu, apa yang harus kulakukan demi tawaran ayahku. Pikiranku melayang dalam kebingungan. “Mengenai agamanya, kamu tak perlu ragu. Ayah rasa dia bisa membimbingmu. Kamu punya waktu satu pekan untuk mempertimbangkan hal ini. Jika nanti dia datang, kamu boleh memperhatikan tingkah lakunya.” Lanjut ayah mencoba meyakinkanku. Aku sendiri belum bisa menanggapi apapun selain tertegun. Dengan langkah berat kuayunkan kaki menuju kamarku.
Sepekan berlalu dengan cepat kulewati dalam kebimbangan. Pagi itu, tamu yang ayah maksud datang. Ayah menyuruhku untuk bersiap-siap. Ditemani ibu, diam-diam dari celah gordyn jendela, kuperhatikan seseorang yang dimaksud ayahku sebagai pelamarku. Penglihatan singkat itu pun menyelipkan kekaguman dalam hatiku padanya. Sosoknya begitu meyakinkan. Wibawanya memancarkan keteduhan.
“Bagaimana ?” ucap ibu seolah menggoda dan mendesakku. “Tapi bagaimana dengan kuliahku ?” jawabku. “Ah mudah, itu bisa diatur.” Ibu meyakinkan disertai senyum seolah mengetahui kecenderungan hatiku.
Tak lama kemudian ayah memanggil kami keluar menemui di ruang tamu. Mereka mengutarakan maksud kedatangannya, menindaklanjuti lamaran yang pernah mereka sampaikan sepekan sebelumnya. Aku sendiri tak mampu berkata apa-apa, hanya gemuruh dalam hatiku. Tak lama kemudian ayahku berkata menyimpulkan, “Cukup bagi kita sabda Rasululloh Shallallahu alaihi wa Sallam, bahwa izinnya seorang gadis adalah diamnya. Artinya, dengan bismillah pernikahan mereka bisa segera kita persiapkan.”Cesss….., ! entah dari mana datangnya, terasa sejuk dalam hatiku, meskipun belum reda gemuruh yang menjadikan demam seluruh tubuhku.
Sebulan kemudian, akad dan walimahan dilaksanakan. Setelah maghrib, semua telah selesai. Ba’da Isya’, ibu mengantarkanku ke kamarnya. Kami pun bertemu untuk kedua kalinya. Setelah menunaikan apa yang disunahkan Rasululloh atas suami istri, suamiku pun berkata, “Istriku, tadinya kita berdua adalah orang asing tapi Allah telah menyatukan kita dengan pernikahan ini. Aku berharap ini adalah jalan kita mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Aku mencintaimu, tapi kecintaanku padamu tak bisa menghalangi cintaku pada jihad fi sabilillah. Maaf, kemarin aku belum bisa memberitahumu. Sepekan yang lalu, aku menerima panggilan dan besok aku harus berangkat. Kuharap engkau merelakanku, bahkan jika Allah menghendaki aku syahid di jalan-Nya.” Ucapnya lirih namun penuh keyakinan.
Mendadak perih kurasakan dalam hatiku mendengar tutur lembutnya itu. Rasa sayang pada suami yang baru kumiliki, menjadikanku hampir tak mungkin mengabulkan permintaannya. Harapan bisa selalu bersama dan berteduh dalam perhatiannya, bermanja dalam kasih sayangnya, dan semua gambaran keindahan yang bersemi sejak hari ia melamarku, seolah tak mungkin harus buyar malam itu juga. Malam pertama, saat lazimnya dua insan yang baru saja berjodoh dalam pernikahan menyongsong barakah, bersama mencurahkan kehendak dan melukiskan harapan masa depan; anak-anak yang manis, kesetiaan dan kebersamaan, suka-duka, dan berbagai romantisme rumah tangga, tapi kami di malam itu juga harus terbang menembus batas kehendak, melampui keinginan sesaat tentang itu semua. Di sana ada yang lebih baik, bahkan dunia seisinya. Namun…., seolah kekuatan imanku belum kuasa berkata, “YA” Bagaimanapun aku sangat menyayanginya dan kemanusiaanku tak menghendaki berpisah, apalagi untuk selamanya. Tangisan dan air mataku pun tak bisa lagi kutahan.
“Suamiku, kalau Allah menghendaki itu semua, aku sebagai hamba-Nya tak bisa berbuat apa-apa. Cukuplah apa yang Allah janjikan pada kita kelak di akherat.” Sambil terus kuhapuskan keraguan yang merasuki hatiku, “Alhamdulillah, jazakillah atas pengertianmu. Malam ini aku bersyukur sekali, Allah telah memberikanku istri sebagai pendamping yang sepertimu…” Perasaanku yang bercampur antara sedih, kehilangan, namun sekaligus bangga terus larut bersama malam yang terus berjalan.
Matahari pagi menampakkan sinarnya, cerah menerobos dedaunan dan menyapu rerumputan. Setelah shalat dhuha, suamiku pun berpamitan untuk tugas mulia itu, berjihad fi sabilillah. Sambil berkata, “Sayang, ikhlaskan semua karena Allah Ta’ala.” Sepertinya ia menangkap apa yang sedang bergejolak dengan perasaanku. Kujawab salamnya sambil tersedu. Akhirnya ia berlalu teriring doa dalam hati dan derai air mataku. Kutatap orang yang kusayangi itu semakin jauh sampai akhirnya lenyap dari pandangan mataku yang masih terus berkaca-kaca. Waktu terus berjalan, hari-hari awal kami berpisah terus menyisakan kegelisahan dirundung rindu. Bayangan sosok itu telah begitu lekat dan bersenyawa dalam ingatanku.
Waktu terus berlalu. Kutatapi hari dengan kesibukan meraih cita yang masih ada. Hampir setahun telah berjalan sejak kepergiannya. Biasanya selalu ada kabar, setidaknya setiap bulan. Namun dua bulan terakhir ini tiada kabar beritanya. Hatiku bertanya-tanya, apakah ia telah mendapatkan apa yang didambakannya ? Tiadakah saatnya lagi, agar bisa kuungkapkan kerinduanku bila ia menemuiku lagi. Tak pernah lupa kupanjatkan doa semoga Allah selalu melindunginya.
Siang itu, baru saja kutunaikan shalat Zhuhur. Ibu mengatakan bahwa ada tamu yang ingin menemuiku. Kutemui mereka yang ternyata adalah teman-teman suamiku. “Ukhti, sabar dan ikhlaslah dengan ketentuan Allah. Akhi Raihan telah mendahului kita dengan pahala syahidnya.” Kata salah satu dari mereka. Duka menyambar kesadaranku; kesedihanku menguasai bersama air mata. Lidahku mendadak kelu dan tenggorokanku pun kering. Hampir saja keteguhanku luruh bersama seluruh kekuatan jasadku.
“Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, beliau titip surat ini agar disampaikan pada ukhti.” Lanjutnya sambil menyerahkan amplop putih yang berlumuran darah yang telah kering. Dengan tangan bergetar dan basah air mata, perlahan kucoba membuka amplop itu,
“Tuk Istriku tercinta,
Fathimah binti Abdul Lathif
“Semoga Allah menyatukan kita di Jannah-Nya.”
Salam kasih dari suamimu,
0 komentar:
Posting Komentar