Meski Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak bisa membuktikan dakwaan primer, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir tetap saja dinyatakan bersalah. Amir Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) ini divonis 15 tahun penjara, hukuman yang tidak ringan.
Apa yang dituduhkan Jaksa dan Hakim, sesungguhnya adalah menghukumi pendapat Ustadz Abu soal ‘Idad yang disyariatkan oleh Islam. Kini umat Islam tengah menanti pengadilan banding, dan bebasnya Ustadz Abu.
Masih segar dalam ingatan, ketika delapan tahun yang lalu, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pernah membebaskan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, demikian pula pada tingkat banding, maupun tingkat kasasi, Mahkamah Agung. Bahkan pada tanggal 3 Maret 2004, Ustadz Abu dibebaskan dari dakwaan yang sama.
Bermodalkan pengakuan Umar Faruq, Ustadz Abu “diseret” ke meja hijau dengan dakwaan rekayasa: telah melakukan makar terhadap NKRI. Bahkan, namanya selalu dikait-kaitkan setiap kali terjadi peledakkan bom di berbagai tempat, mulai dari bom Bali, bom gereja saat malam Natal, serta tuduhan merencanakan pembunuhan terhadap Presiden Megawati kala itu.
Meski tidak terbukti terlibat, Ustadz Abu tetap saja dianggap bersalah. Ia didakwa dengan pasal pelanggaran imigrasi. Mahkamah Agung sebagai lembaga pengadilan tertinggi pernah menyatakan, bahwa Ustadz Abu secara hukum tidak terlibat dalam segala aktivitas terorisme di Indonesia.
Bak sinetron kejar tayang, Ustadz Abu kembali dijadikan “bintang” yang punya nilai jual tinggi untuk ditampilkan pada episode berikutnya. Lagi-lagi, Ustadz Abu diseret-seret dengan tuduhan serupa, tapi tak sama. Kali ini ia dituduh terlibat dalam pelatihan militer di Pegunungan Jalin Jantho, Aceh Besar pada Februari 2010.
Di persidangan, Ustadz Abu dituntut Jaksa dengan menggunakan tujuh pasal berlapis (primair, subsidair, lebih subsidair, lebih subsidair lagi, lebih-lebih subsidair, lebih-lebih subsidair lagi, lebih-lebih-lebih subsidair). Pada hari Kamis, 16 Juni 2011,Majelis Hakim PN Jakarta Selatan kemudian memvonis Ustadz Abu Bakar Ba'asyir selama 15 tahun penjara. Vonis hakim itu jauh lebih rendah dibanding tuntutan jaksa, penjara seumur hidup. Hakim menilai Amir Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) ini terbukti menggerakkan pengumpulan dana kegiatan pelatihan terorisme di Aceh.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Abu Bakar Ba'asyir terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dalam dakwaan subsider, dan menjatuhkan pidana selama lima belas tahun penjara," ujar Ketua Majelis Hakim Herri Swantoro dalam amar putusan yang dia bacakan.
Hal yang memberatkan vonis adalah perbuatan terdakwa tidak mendukung upaya pemerintah dalam pemberantasan terorisme, dan sudah pernah dihukum sebelumnya, tapi mengulanginya lagi. Sedangkan hal yang meringankan, terdakwa sudah berusia lanjut dan bersikap sopan selama di persidangan.
Menurut hakim, Ba'asyir terbukti melakukan dakwaan subsider, dan melanggar Pasal 14 jo Pasal 7 Undang-Undang No.15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme karena terbukti menimbulkan suasana teror melalui pelatihan militer di Pegunungan Jantho, Aceh Besar. Sedangkan, dalam dakwaan primer itu, hakim menyatakan tidak terbukti.
“Tidak terbukti sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan. Membebaskan Abu Bakar Baasyir dari dakwaan primer tersebut,” ujar Herry Swantoro, Ketua Majelis Hakim dalam sidang pembacaan vonis di PN Jaksel.
Dalam pertimbangannya, majelis menyatakan Ba'asyir terbukti meminta dana kepada sejumlah orang untuk membantu program jihad. Dana yang dikumpulkan Ba'asyir berjumlah Rp 350 juta, yang didapat dari Haryadi Usman (Rp 150 juta) dan Syarif Usman (Rp 200 juta). Duit itu kemudian digunakan Lutfi Haidaroh alias Ubaid untuk membiayai pelatihan militer di Pegunungan Jantho, Aceh Besar.
Hal itu dibantah Ustadz Ba'asyir. Uang yang disumbangkan Syarif dan Haryadi, oleh Ba'asyir dialokasikan untuk LSM Medical Emergency Rescue Committee (Mer-C). Uang itu kemudian digunakan Mer-C untuk aksi sosial di Palestina.
Meski demikian, Hakim tidak melihat Ba'asyir memasok senjata beserta amunisinya ke kamp pelatihan militer di Janto, Nangroe Aceh Darusalam. Menurut hakim, senjata beserta amunisi dalam pelatihan militer di Aceh, antara lain dipasok oleh Abdullah Sunata dan Abu Tholut.
Putusan hakim itu langsung ditolak Ustadz Ba'asyir. "Saya dengan izin Allah menolak, karena keputusan ini zalim dan mengabaikan Syari’at Islam, dasarnya UU toghut, hanya didasarkan pada Undang-undang. Haram hukumnya saya menerima," tegas Ustadz.
Pihak pengacara pun langsung mengajukan banding. Achmad Michdan, selaku pengacara Ba'asyir, mengajukan protes. Menurutnya, ada seorang saksi yang dapat meringankan kliennya, namun tidak dihadirkan dalam persidangan. Saksi itu adalah Chairul Ghazali.
"Saksi Chairul Ghazali adalah saksi di dalam BAP, dia menyatakan ada proses penyiksaan terhadap tersangka dan saksi. Mestinya majelis menghadirkan saksi itu. Selain itu, jaksa tidak menyatakan, terbukti sebagai subsider tapi hakim justru berpendapat ini subsider. Ini kontradiktif," kata Michdan.
Kendati Jaksa meminta agar majelis hakim menjatuhkan hukuman kepada Ba'asyir seumur hidup, Hakim tetap menjatuhkan vonis 15 tahun. Tentu saja, vonis itu bukan hukum yang ringan. Dalam persidangan, Hakim memutuskan pasal subsider dalam vonis Ba'asyir. Sementara jaksa sebelumnya menuntut pasal lebih subsider yakni Pasal 14 jo Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme.
Direktur Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) Media Center, Sonhadi, mengatakan vonis 15 tahun yang diputuskan oleh majelis hakim terhadap terdakwa kasus terorisme Abu Bakar Ba'asyir adalah keputusan yang lucu dan menggelikan. "Sejak awal, persidangan ini tak lebih dagelan. Bukankah pelatihan militer itu tidak ada dalam pasal hukum teroris," kata Sonhadi.
Menghakimi Pendapat Ustadz Ba’asyir
Menurut salah satu Kuasa Hukum Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, Lutfie Hakim SH, apa yang dituduhkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan adalah seperti menghukum pendapat seorang Ustadz Abu Bakar Ba’asyir soal kegiatan pelatihan militer di Aceh. Tentu saja, jika pelatihan itu dimaksudkan dalam rangka mempersiapkan diri, maka hal itu sesungguhnya telah disyariatkan oleh Islam.
Kendati demikian, Ustadz Abu bukanlah seorang yang mensponsori atau pun mendanai pelatihan tersebut, apalagi melakukan tindakan kekerasan. “Ini pendapat, atau pernyataan yang sifatnya post vaktum, yakni statemen setelah adanya fakta. Karena itu, jangan kemudian pendapat diadili seolah-olah menjadi pelaku. Lagi pula semua itu bukan rencana Ustadz Abu Bakar Ba’asyir”, kata Luthfie membela.
Ketika ditanya, kenapa harus melakuka pelatihan militer, ketika negara ini dalam kondisi aman? Dijelaskan Lutfie Hakim, setelah berdiskusi dengan Ustadz Abu, bahwa pelatihan itu tidak selalu menunggu situasi genting. Karenanya, bila sekedar melatih dan menyiapkan diri secara militer, bukan melakukan kekerasan atau terorisme, dalam hukum Islam memang diperbolehkan. Persiapan itulah yang namanya ‘idad. Lain halnya, jika dihukum dengan masalah senjata.
“Persoalannya, Ustadz Abu dihukum dengan dikenai pasal terorisme. Itu yang membuat beliau keberatan. Pihak yang menyalahkan pelatihan atau mempersiapkan diri secara militer, seperti dikatakan Ustadz Abu, jelas tidak menghargai syariat Islam. Adapun pelatihan militer tersebut, tidak bertujuan untuk mengacaukan negara, karena hal itu bertentangan dengan Islam. Dalam konteks ini, Ustadz Abu bukanlah seseorang yang merencanakan,” kata Lutfie.
Mengenai video pelatihan militer di Aceh yang ditonton oleh Ustadz Ba’asyir adalah video yang telah ditonton oleh banyak orang, bahkan tersebar di You Tube. Tapi, ketika Ustadz Abu menonton video pelatihan militer di Aceh yang ia yakini sebagai ‘idad, tiba-tiba dijadikan sebuah laporan. Jelas itu tidak fair.
Menurut Luthfie Hakim, vonis Hakim yang menjatuhkan vonis 15 tahun penjara betul-betul sebuah vonis yang keliru. “Kita harus melihat dari unsur deliknya. Kalau dikaitkan dengan penggalangan dana, itu berarti pasal 11, tapi itu tidak terbukti. Ustadz Abu telah keliru dihukum. Kalau dihukum atas dasar penggalangan dana, jangan dipakai pasal 7, atau dakwaan subsidair, tapi dakwaan lebih subsidair. Vonis 15 tahun penjara, tidak lebih bagus, tapi lebih kacau dari tuntutan JPU.”
Kini, kita akan menanti episode berikutnya, pengadilan banding yang diajukan oleh Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Jika keadilan betul-betul ditegakkan, bisa dipastikan, tidak ada pengadilan rekayasan dan vonis yang didasari oleh tekanan AS dan sekutunya. Sebentar lagi, bukan tidak mungkin, Ustadz Abu akan dibebaskan dari tuntutan di tingkat banding nanti. Insya Allah. Desastian
sumber
Apa yang dituduhkan Jaksa dan Hakim, sesungguhnya adalah menghukumi pendapat Ustadz Abu soal ‘Idad yang disyariatkan oleh Islam. Kini umat Islam tengah menanti pengadilan banding, dan bebasnya Ustadz Abu.
Masih segar dalam ingatan, ketika delapan tahun yang lalu, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pernah membebaskan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, demikian pula pada tingkat banding, maupun tingkat kasasi, Mahkamah Agung. Bahkan pada tanggal 3 Maret 2004, Ustadz Abu dibebaskan dari dakwaan yang sama.
Bermodalkan pengakuan Umar Faruq, Ustadz Abu “diseret” ke meja hijau dengan dakwaan rekayasa: telah melakukan makar terhadap NKRI. Bahkan, namanya selalu dikait-kaitkan setiap kali terjadi peledakkan bom di berbagai tempat, mulai dari bom Bali, bom gereja saat malam Natal, serta tuduhan merencanakan pembunuhan terhadap Presiden Megawati kala itu.
Meski tidak terbukti terlibat, Ustadz Abu tetap saja dianggap bersalah. Ia didakwa dengan pasal pelanggaran imigrasi. Mahkamah Agung sebagai lembaga pengadilan tertinggi pernah menyatakan, bahwa Ustadz Abu secara hukum tidak terlibat dalam segala aktivitas terorisme di Indonesia.
Bak sinetron kejar tayang, Ustadz Abu kembali dijadikan “bintang” yang punya nilai jual tinggi untuk ditampilkan pada episode berikutnya. Lagi-lagi, Ustadz Abu diseret-seret dengan tuduhan serupa, tapi tak sama. Kali ini ia dituduh terlibat dalam pelatihan militer di Pegunungan Jalin Jantho, Aceh Besar pada Februari 2010.
Di persidangan, Ustadz Abu dituntut Jaksa dengan menggunakan tujuh pasal berlapis (primair, subsidair, lebih subsidair, lebih subsidair lagi, lebih-lebih subsidair, lebih-lebih subsidair lagi, lebih-lebih-lebih subsidair). Pada hari Kamis, 16 Juni 2011,Majelis Hakim PN Jakarta Selatan kemudian memvonis Ustadz Abu Bakar Ba'asyir selama 15 tahun penjara. Vonis hakim itu jauh lebih rendah dibanding tuntutan jaksa, penjara seumur hidup. Hakim menilai Amir Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) ini terbukti menggerakkan pengumpulan dana kegiatan pelatihan terorisme di Aceh.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Abu Bakar Ba'asyir terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dalam dakwaan subsider, dan menjatuhkan pidana selama lima belas tahun penjara," ujar Ketua Majelis Hakim Herri Swantoro dalam amar putusan yang dia bacakan.
Hal yang memberatkan vonis adalah perbuatan terdakwa tidak mendukung upaya pemerintah dalam pemberantasan terorisme, dan sudah pernah dihukum sebelumnya, tapi mengulanginya lagi. Sedangkan hal yang meringankan, terdakwa sudah berusia lanjut dan bersikap sopan selama di persidangan.
Menurut hakim, Ba'asyir terbukti melakukan dakwaan subsider, dan melanggar Pasal 14 jo Pasal 7 Undang-Undang No.15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme karena terbukti menimbulkan suasana teror melalui pelatihan militer di Pegunungan Jantho, Aceh Besar. Sedangkan, dalam dakwaan primer itu, hakim menyatakan tidak terbukti.
“Tidak terbukti sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan. Membebaskan Abu Bakar Baasyir dari dakwaan primer tersebut,” ujar Herry Swantoro, Ketua Majelis Hakim dalam sidang pembacaan vonis di PN Jaksel.
Dalam pertimbangannya, majelis menyatakan Ba'asyir terbukti meminta dana kepada sejumlah orang untuk membantu program jihad. Dana yang dikumpulkan Ba'asyir berjumlah Rp 350 juta, yang didapat dari Haryadi Usman (Rp 150 juta) dan Syarif Usman (Rp 200 juta). Duit itu kemudian digunakan Lutfi Haidaroh alias Ubaid untuk membiayai pelatihan militer di Pegunungan Jantho, Aceh Besar.
Hal itu dibantah Ustadz Ba'asyir. Uang yang disumbangkan Syarif dan Haryadi, oleh Ba'asyir dialokasikan untuk LSM Medical Emergency Rescue Committee (Mer-C). Uang itu kemudian digunakan Mer-C untuk aksi sosial di Palestina.
Meski demikian, Hakim tidak melihat Ba'asyir memasok senjata beserta amunisinya ke kamp pelatihan militer di Janto, Nangroe Aceh Darusalam. Menurut hakim, senjata beserta amunisi dalam pelatihan militer di Aceh, antara lain dipasok oleh Abdullah Sunata dan Abu Tholut.
Putusan hakim itu langsung ditolak Ustadz Ba'asyir. "Saya dengan izin Allah menolak, karena keputusan ini zalim dan mengabaikan Syari’at Islam, dasarnya UU toghut, hanya didasarkan pada Undang-undang. Haram hukumnya saya menerima," tegas Ustadz.
Pihak pengacara pun langsung mengajukan banding. Achmad Michdan, selaku pengacara Ba'asyir, mengajukan protes. Menurutnya, ada seorang saksi yang dapat meringankan kliennya, namun tidak dihadirkan dalam persidangan. Saksi itu adalah Chairul Ghazali.
"Saksi Chairul Ghazali adalah saksi di dalam BAP, dia menyatakan ada proses penyiksaan terhadap tersangka dan saksi. Mestinya majelis menghadirkan saksi itu. Selain itu, jaksa tidak menyatakan, terbukti sebagai subsider tapi hakim justru berpendapat ini subsider. Ini kontradiktif," kata Michdan.
Kendati Jaksa meminta agar majelis hakim menjatuhkan hukuman kepada Ba'asyir seumur hidup, Hakim tetap menjatuhkan vonis 15 tahun. Tentu saja, vonis itu bukan hukum yang ringan. Dalam persidangan, Hakim memutuskan pasal subsider dalam vonis Ba'asyir. Sementara jaksa sebelumnya menuntut pasal lebih subsider yakni Pasal 14 jo Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme.
Direktur Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) Media Center, Sonhadi, mengatakan vonis 15 tahun yang diputuskan oleh majelis hakim terhadap terdakwa kasus terorisme Abu Bakar Ba'asyir adalah keputusan yang lucu dan menggelikan. "Sejak awal, persidangan ini tak lebih dagelan. Bukankah pelatihan militer itu tidak ada dalam pasal hukum teroris," kata Sonhadi.
Menghakimi Pendapat Ustadz Ba’asyir
Menurut salah satu Kuasa Hukum Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, Lutfie Hakim SH, apa yang dituduhkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan adalah seperti menghukum pendapat seorang Ustadz Abu Bakar Ba’asyir soal kegiatan pelatihan militer di Aceh. Tentu saja, jika pelatihan itu dimaksudkan dalam rangka mempersiapkan diri, maka hal itu sesungguhnya telah disyariatkan oleh Islam.
Kendati demikian, Ustadz Abu bukanlah seorang yang mensponsori atau pun mendanai pelatihan tersebut, apalagi melakukan tindakan kekerasan. “Ini pendapat, atau pernyataan yang sifatnya post vaktum, yakni statemen setelah adanya fakta. Karena itu, jangan kemudian pendapat diadili seolah-olah menjadi pelaku. Lagi pula semua itu bukan rencana Ustadz Abu Bakar Ba’asyir”, kata Luthfie membela.
Ketika ditanya, kenapa harus melakuka pelatihan militer, ketika negara ini dalam kondisi aman? Dijelaskan Lutfie Hakim, setelah berdiskusi dengan Ustadz Abu, bahwa pelatihan itu tidak selalu menunggu situasi genting. Karenanya, bila sekedar melatih dan menyiapkan diri secara militer, bukan melakukan kekerasan atau terorisme, dalam hukum Islam memang diperbolehkan. Persiapan itulah yang namanya ‘idad. Lain halnya, jika dihukum dengan masalah senjata.
“Persoalannya, Ustadz Abu dihukum dengan dikenai pasal terorisme. Itu yang membuat beliau keberatan. Pihak yang menyalahkan pelatihan atau mempersiapkan diri secara militer, seperti dikatakan Ustadz Abu, jelas tidak menghargai syariat Islam. Adapun pelatihan militer tersebut, tidak bertujuan untuk mengacaukan negara, karena hal itu bertentangan dengan Islam. Dalam konteks ini, Ustadz Abu bukanlah seseorang yang merencanakan,” kata Lutfie.
Mengenai video pelatihan militer di Aceh yang ditonton oleh Ustadz Ba’asyir adalah video yang telah ditonton oleh banyak orang, bahkan tersebar di You Tube. Tapi, ketika Ustadz Abu menonton video pelatihan militer di Aceh yang ia yakini sebagai ‘idad, tiba-tiba dijadikan sebuah laporan. Jelas itu tidak fair.
Menurut Luthfie Hakim, vonis Hakim yang menjatuhkan vonis 15 tahun penjara betul-betul sebuah vonis yang keliru. “Kita harus melihat dari unsur deliknya. Kalau dikaitkan dengan penggalangan dana, itu berarti pasal 11, tapi itu tidak terbukti. Ustadz Abu telah keliru dihukum. Kalau dihukum atas dasar penggalangan dana, jangan dipakai pasal 7, atau dakwaan subsidair, tapi dakwaan lebih subsidair. Vonis 15 tahun penjara, tidak lebih bagus, tapi lebih kacau dari tuntutan JPU.”
Kini, kita akan menanti episode berikutnya, pengadilan banding yang diajukan oleh Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Jika keadilan betul-betul ditegakkan, bisa dipastikan, tidak ada pengadilan rekayasan dan vonis yang didasari oleh tekanan AS dan sekutunya. Sebentar lagi, bukan tidak mungkin, Ustadz Abu akan dibebaskan dari tuntutan di tingkat banding nanti. Insya Allah. Desastian
sumber
0 komentar:
Posting Komentar