Katakanlah kita ini polisi, sedang duduk dalam mobil
patroli kita sambil minum kopi. Tiba-tiba radio kita
berbunyi, mengatakan ada dua kasus yang diminta kita
menangani salah satu darinya. Dua kasus orang
tertangkap mencuri.
Kasus pertama di kampung selatan, seorang lelaki
ditangkap mencuri uang seribu rupiah.
Kasus kedua di kampung utara, seorang warga
asing tertangkap mencuri uang 2 juta rupiah.
Kasus mana yang kita urusi dulu?
Agaknya tentu kita segera mengejar ke kampung
utara, ya nggak? Maksud saya, apalah arti uang seribu
rupiah, begitu saja merepotkan polisi? Tapi bagaimana
kalau setelah itu kita tahu hakikatnya begini:
Dalam kasus pertama, uang itu kepunyaan seorang
anak yatim piatu peminta sedekah, dan duit itu sajalah
yang ada padanya untuk digunakan membeli makan
setelah beberapa hari tak makan.
Sedangkan dalam kasus kedua, uang itu kepunyaan
orang kaya bakhil yang seumur hidupnya tak pernah
keluar zakat.
Tiba-tiba, baru kita sadar perbedaannya, antara
lahiriah dan batiniyah.
Kalau mengikuti prinsip, tentulah kasus pertama
lebih berat, walaupun hanya melibatkan uang seribu
rupiah. Tapi sebab kita hidup ini sudah biasa
menghukumi orang serta peristiwa dari lahirnya, maka
selalu pikiran kita tertipu.
Seseorang pernah menceritakan sebuah kisah:
Kita sedang duduk di sebuah bangku dalam
taman. Sedang kita enak menikmati sandwich dan
Coke kita di tengah taman dengan udara bertiup
lembut itu, tiba-tiba datang seorang lelaki bersama 2
orang anak kecilnya duduk di sebelah kita.
Lelaki itu hanya termenung panjang melihat ke
padang luas dan berdiam diri sementara anak-anaknya
berlarian sambil menjerit-jerit sekuat kuatnya.
Orang yang lalu lalang semuanya melihat dengan
kening berkerut-kerut melihat tingkah polah anak
yang tak tahu hormat pada orang lain itu.
Kita pun lama-lama semakin bingung. Setan
sungguh anak ini! Mengapa bapaknya ini diam saja,
tak mau menegur anak-anaknya?
Setelah tak tahan betul, kita tegur lelaki itu.
Bisakah tuan suruh anak-anak itu diam, saya baru mau
makan sandwic ini! Lelaki itu melihat kita seketika
dengan tersenyum sedikit.
“Maafkan saya,” kata lelaki itu. “Dan maafkan
anak-anak saya itu. Sebenarnya, isteri saya - ibu
mereka - baru meninggal dunia sebab kanker di rumah
sakit, dan saya tak tahu bagaimana cara menerangkan
pada mereka hal ini.”
Kemudian dia sambung lagi: “Biarlah saya bawa
mereka ke tempat lain supaya tak menganggu anda
makan.”
Bagaimana perasaan kita saat itu?
***
Sebagaimana terjadi di sekitar kita. Bila ada tokoh
atau orang kaya yang sekali dua
kali memberi kita bantuan uang,
dikabarkan sakit, belum juga
sampai ke rumah sakit kita lebih
dulu datang, kabarnya hendak
menjenguk.
Sedangkan bila miskin -
walaupun tetangga dekat -
sering menolong kita dengan
tenaga dan pikiran tanpa
pamrih, sakit hingga pingsan,
sampai tersadar kembalipun
kitanya tak cepat peduli.
Sebab itulah bila teringat
ayat Qur’an mengatakan, beda
antara manusia itu hanyalah
iman dan taqwa, saya sering
merasa menyesal. Sebab saya
selalu menghukum orang
melihat keadaan luarnya.
Bagaimana dengan anda?
Wallahualam.
0 komentar:
Posting Komentar