"Ada manfaat yang Muslim awam bisa harapkan dari mempelajari hadits sendiri... tetapi tanpa tangan yang membimbing, pembaca yang tidak terlatih akan salah dalam memahami banyak hadits," Nuh Ha Mim Keller memperingatkan.
Setiap Muslim bisa mendapatkan keuntungan dari membaca hadits al-Bukhari dan Muslim, baik sendiri atau dengan orang lain. Sedangkan untuk mempelajari hadis, Sheikh Shuayb al-Arnaut, dengan siapa istri saya dan saya membaca Tadrib al-Rawi (Pelatihan narator hadits)-nya Imam al-Suyuti, menekankan bahwa ilmu yang berkaitan dengan hadits sangat kompleks dan membutuhkan penguasaan literatur yang luas, lautan besar informasi yang memerlukan nahkoda untuk membantu menavigasi, tanpa satupun yang terdampar di batu karang. Dalam konteks ini, Syekh Shuayb pernah mengatakan kepada kami, "Barangsiapa tidak memiliki seorang syekh, Iblis adalah syekh-nya, dalam setiap disiplin ilmu Islam." Dengan kata lain, ada manfaat yang Muslim awam dapat harapkan dari membaca hadits secara pribadi, dan keuntungan yang dia tidak bisa dapatkan, kecuali ia dilatih secara baik dan menggunakan alat sastra lainnya, terutama menyangkut komentar-komentar klasik yang menjelaskan makna hadits dan hubungannya dengan Islam secara keseluruhan.
Manfaat yang bisa didapatkan dari membaca al-Bukhari dan Muslim banyak: pengetahuan umum fundamental seperti iman kepada Allah, kenabian Muhammad SAW, Hari Akhir dan seterusnya; serta aturan moral umum Islam untuk berbuat baik, menghindari kejahatan, melakukan shalat, puasa Ramadhan, dan sebagainya. Koleksi hadits lain juga mengandung banyak poin yang menarik, seperti pahala besar untuk tindakan ibadah seperti shalat pagi (Dhuha), berjaga shalat malam (Tahajjud), puasa pada hari Senin dan Kamis, memberikan amal jariyah, dan seterusnya. Siapapun yang membaca ini dan mengamalkannya dalam hidupnya memiliki keuntungan besar dari membaca hadits, bahkan lebih baik lagi jika ia bertujuan untuk menyempurnakan diri dalam mencapai karakter mulia Nabi SAW. Disebutkan dalam hadis "Barangsiapa yang mempelajari dan mengikuti contoh nabi, ia telah beruntung di dunia dan akhirat".
Apa yang tidak diharapkan dalam membaca hadis (tanpa instruksi pribadi dari seorang syekh untuk beberapa waktu) ada dua hal: untuk menjadi alim atau ulama Islam, dan menyimpulkan fiqh (hukum Islam) dari hadis-hadis tentang praktik syariah khusus.
Tanpa tangan yang membimbing, pembaca yang tidak terlatih akan salah memahami banyak hadits yang ia baca, dan kesalahan-kesalahan ini, jika terakumulasi dan tidak dikoreksi, bisa menumpuk sampai dia tidak pernah dapat menemukan jalan keluar, apalagi menjadi seorang ulama hadis. Orang tersebut sangat mudah menjadi mangsa bagi gerakan sektarian modern dari zaman kita yang muncul dalam kedok neo-ortodoks, yang dipublikasikan dan dibiayai secara baik, mengutip Quran dan hadis-hadis kepada orang-orang awam untuk membuat anggapan dasar dari semua aliran yang menyimpang sejak awal Islam, yaitu, bahwa hanya mereka lah Muslim sejati. Gerakan tersebut dapat mengemukakan hadis otentik (hadis hasan) yang dibawa oleh Aisyah (Allah berkenan dengan dia) oleh al-Hakim al-Tirmidzi bahwa Nabi SAW mengatakan, "syirik (politeisme) lebih tersembunyi di Umatku daripada semut yang merayap di sebuah batu halus yang besar pada malam yang gelap gulita. . . (Nawadir al-usul fi marifa Ahadis al-Rasul. Istanbul 1294/1877. Reprint. Beirut: Dar Sadir, n.d., 399).
Hadis ini telah digunakan sejak awal gerakan sekte Wahabi sampai sekte gerakan saat ini untuk meyakinkan masyarakat umum bahwa mayoritas Muslim bukanlah Muslim sesungguhnya, melainkan musyrikin, dan mereka yang tidak sepaham dengan pandangan syekh mereka berada di luar Islam yang benar.
Sebagai jawaban, para ulama tradisional menunjukkan bahwa kata fii ummati, "di dalam umatku" dalam hadits jelas menunjukkan bahwa apa yang dimaksudkan di sini adalah syirik kecil, dosa tertentu yang meskipun serius, tidak menjadikannya kafir (keluar dari Islam). Kata syirik memiliki dua makna. Yang pertama adalah syirik besar, yaitu menyembah selain Allah, dimana Allah berfirman dalam surat an-Nisa, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, tetapi mengampuni dosa selain dari itu kepada siapa yang Dia kehendaki" (Quran 4:48), dan ini adalah syirik kafir. Yang kedua adalah syirik yang lebih rendah akibat dosa-dosa yang menyangkut kekurangan tauhid seseorang, tetapi tidak sampai menyebabkannya keluar dari Islam. Contohnya termasuk menyukai seseorang yang berbuat salah (disebut syirik karena seseorang berharap untuk mendapatkan keuntungan dari apa yang Allah telah menetapkan tidak ada manfaat di dalamnya), atau membenci seseorang karena sesuatu yang benar (disebut syirik karena seseorang menjauhi dari apa yang Allah telah menetapkan manfaat di dalamnya), atau dosa memamerkan (riya) dalam ibadah, sebagaimana disebutkan dalam hadis otentik (sahih) bahwa Nabi SAW mengatakan, "Sedikit pun pamer dalam amal-amal baik adalah syirik" (al-Mustadrak ala al-Sahihayn. 4 vols. Hyderabad, 1334/1916. Reprint (with index vol. 5). Beirut: Dar al-Marifa, n.d.,1.4). Dosa-dosa seperti itu tidak menempatkan seseorang di luar Islam, meskipun mereka merupakan ketidaktaatan dan menunjukkan kurangnya keyakinan (iman).
Ulama mengatakan bahwa dosa seperti yang dimaksud dengan hadits di awal adalah syirik kecil, karena jika yang dimaksudkan adalah syirik besar atau kafir, Nabi SAW tidak akan menyebut individu sebagai "di dalam umatku", karena kekufuran adalah terpisah dan berbeda dari Islam, dan tentu di luar itu. Ini juga dikuatkan oleh versi lain dari hadits terkait dari Abu Bakar (Nawadir al-ushul, 397), di mana kata fikum atau "pada kalian" menggantikan kata "di dalam umatku", merujuk langsung ke para sahabat nabi, yang tidak ada satupun dari mereka yang merupakan seorang musyrik atau penyembah berhala, sesuai konsensus bulat (ijma) dari seluruh ulama Muslim. Adapun dosa syirik kecil itu tidak bisa hilang pada seseorang, itulah mengapa dalam hadits ketersembunyian mereka dibandingkan dengan ketidaknampakan merayapnya semut di atas sebuah batu halus yang besar pada malam yang gelap gulita, yaitu karena kehalusan motif manusia, dan kemudahan di mana manusia bisa menipu diri mereka sendiri.
Demikian pula, al-Bukhari menceritakan bahwa Nabi SAW berkata: "Sesungguhnya, kamu akan mengikuti cara orang-orang yang sebelum kamu, jarak demi jarak, dan hasta demi hasta, sampai-sampai jika mereka masuk ke sarang biawak, kamu akan mengikuti mereka." Kami berkata, "Wahai Rasulullah, (apakah mereka) orang Yahudi dan Kristen?" Dan beliau berkata, "Siapa lagi?" (Sahih al-Bukhari. 9 vols. Cairo 1313/1895. Reprint (9 vols. in 3). Beirut: Dar al-Jil, n.d., 9.126: 7320).
Hadits ini juga digunakan oleh gerakan-gerakan modern yang mengaku kembali ke Quran dan sunnah, mengatakan bahwa mayoritas Muslim Sunni umum yang mengikuti aqidah (prinsip-prinsip iman) atau fiqh mainstream imam Sunni ortodoks (yang karya klasiknya jarang yang sesuai dengan pandangan mereka) adalah yang dimaksudkan oleh hadits ini, sementara ada banyak bukti bahwa mayoritas umat ortodoks dilindungi dari kesalahan oleh Allah, seperti hadis sahih yang terkait oleh al-Hakim bahwa "tangan Allah di atas jamaah, dan siapa pun menyimpang dari mereka menyimpang ke neraka" (al-Mustadrak, 1,116). Hadis-hadis tersebut menunjukkan bahwa ayat-ayat Alquran seperti "Jikalau kamu menuruti kebanyakan dari mereka di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah" (Quran, 6:116) tidak merujuk kepada mereka yang mengikuti ulama Islam tradisional (yang di antara mereka belum pernah menjadi mayoritas di bumi), melainkan mayoritas umat manusia non-muslim.
Hadis yang disebutkan sebelumnya mengenai mengikuti orang Yahudi dan Kristen, di masa kita merujuk kepada Muslim yang meng-copy Barat dalam semua aspek kehidupan mereka, rasional dan tidak rasional, bahkan sampai mendirikan bank di kota Muslim dan tempat-tempat suci yang belum pernah dinodai oleh usury (riba) secara institusional sejak masa pra-Islam. Atau mereka yang mempromosikan ideologi sektarian memecah-belah dengan kedok gerakan reformasi di kalangan umat Islam, seperti orang Yahudi dan Kristen telah lakukan dalam agama mereka masing-masing.
Ulama tradisional dilindungi dari kesesatan tersebut oleh pengetahuan asli yang telah dilestarikan, dari guru hidup ke guru hidup lainnya, dalam suksesi tak terputus kembali sampai ke Nabi SAW. Kembali ke pertanyaan kita, tanpa suatu proses kontrol kualitas, pembaca hadis tanpa pemandu tidak bisa berharap untuk menjadi semacam ulama buatan sendiri ("ulama homemade"), memberikan fatwa berdasarkan apa yang dia temukan dalam al-Bukhari atau Muslim saja, karena hadis sahih terkait untuk pertanyaan hukum Islam tidak hanya ditemukan dalam dua karya tersebut, tetapi dalam banyak karya besar lain, di mana mereka yang membuat penilaian pada pertanyaan-pertanyaan ini pasti tahu. Aku telah menyebutkan di tempat lain beberapa ilmu-ilmu yang dibutuhkan oleh ulama untuk menggabungkan semua hadits, dan kondisi masing-masing hadis atau kondisi hadis atau ayat Alquran yang lebih spesifik atau lebih umum yang dikenakan pada pertanyaan. Tanpa pengetahuan ini, dan syekh tradisional yang membimbing, seseorang pasti tersandung, sesuatu yang aku ketahui karena aku secara pribadi telah mengalaminya.
Ketika aku pertama kali datang ke Yordania pada tahun 1980, ada yang membuat terkesan dalam benak-ku bahwa seorang Muslim tidak memerlukan apa-apa selain Quran dan hadis sahih. Setelah membaca Quran bahasa Arab yang diterjemahkan oleh AJ Arberry dan mencatat apa yang aku pahami, aku duduk mempelajari Sahih al-Bukhari terjemahan Muhammad Muhsin Khan dan menelusuri semua hadist, jilid demi jilid, menuliskan segala sesuatu yang tampaknya mengatakan apa yang harus dilakukan oleh seorang Muslim. Ini merupakan upaya untuk 'potong jalan' melewati pembaharuan-pembaharuan dalam hukum Islam selama berabad-abad seperti yang orientalis telah ajarkan kepada-ku tentang hal tersebut di Universitas Chicago, upaya untuk menggapai Islam murni dari sumber aslinya sendiri. Salafisme-ku dan orientalisme-ku berkumpul di titik ini.
Akhirnya, aku menghasilkan naskah hadis terpilih al-Bukhari, semacam buku petunjuk syariah "do-it-yourself". Aku masih menggunakannya sebagai indeks untuk hadis-hadis dari al-Bukhari, meskipun kesimpulan fiqh dari ijtihad-ijtihad amatirku terasa memalukan bila dilihat saat ini. Ketika hadis yang disebutkan tampaknya bertentangan satu sama lain, aku hanya akan memilih mana yang aku inginkan, atau mana yang lebih dekat dengan kebiasaan Barat -ku. Setelahnya, aku berkata, bahwa Nabi SAW tidak pernah diberi pilihan antara dua hal kecuali bahwa ia memilih yang lebih mudah dari keduanya (Sahih al-Bukhari, 4,230: 3560). Sebagai contoh, aku telah diberitahu bahwa bukanlah sunnah untuk buang air kecil sambil berdiri, dan telah mendengar hadits dari Aisyah bahwa siapa pun yang mengatakan bahwa Nabi SAW telah buang air kecil sambil berdiri, maka ia tidak beriman kepadanya (Musnad al-Imam Ahmad. 6 vols. Cairo 1313/1895. Reprint. Beirut: Dar Sadir, n.d., 6.136). Tetapi kemudian aku membaca dalam hadis al-Bukhari bahwa Nabi SAW pernah sekali buang air kecil sambil berdiri (Sahih al-Bukhari, 1.66: 224), dan memutuskan bahwa apa yang pertama kali diberitahukan kepadaku adalah sebuah kesalahan, atau bahwa mungkin itu tidak terlalu penting. Hanya kemudian, ketika aku mulai menerjemahkan dari bahasa Arab manual fiqh Syafi'i "Reliance of The Traveller", aku menemukan bagaimana para ulama syariah telah menggabungkan implikasi dari hadist ini, bahwa berdirinya Nabi SAW untuk buang air kecil adalah untuk mengajarkan umat bahwa itu tidak melanggar hukum (haram), melainkan hanya ofensif (makruh) - meskipun dalam kaitannya dengan Nabi tindakan seperti itu tidak menyimpang, melainkan wajib untuk dilakukan setidaknya satu kali untuk mengajarkan umat bahwa mereka tidak melanggar hukum - atau menurut ulama lain, untuk menunjukkan hal itu diperbolehkan dalam situasi di mana untuk mencegah air kencing memercik ke pakaian.
Dalam retrospeksi, awal kesalahan petualanganku di hadits memungkinkan aku untuk menghargai cara fiqh dihasilkan. Aku kemudian belajar untuk menggabungkan di antara semua hadits, sesuatu yang secara pribadi tidak dapat aku lakukan sebelumnya. Dan aku mengerti mengapa, dari Imam hadits terkemuka, Imam al-Bukhari mengambil yurisprudensi-nya Syafi'i dari muridnya Imam Syafi'i, Abdullah ibn al-Zubayr al-Humaydi (al-Subki, Tabaqat al-Shafi'iyya al-kubra. 10 vols. Cairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1383/1964, 2.214), dan mengapa Imam Muslim, al-Tirmidzi, Abu Dawud, dan al-Nasai juga mengikuti sekolah Syafi'i (Mansur Ali Nasif, al-Taj al-jami li al-usul fi ahadith al-Rasul. 5 vols. Cairo 1382/1962. Reprint. Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, n.d., 1.16), seperti yang dilakukan juga oleh al-Baihaqi, al-Hakim, Abu Nuaym, Ibnu Hibban, al-Daraqutni, al-Baghawi, Ibnu Khuzayma, al-Suyuti, al-Dhahabi, Ibn Kathir, Nur al-Din al-Haythami, al-Mundhiri, al-Nawawi, Ibnu Hajar al-Asqalani, Taqi al-Din al-Subki dan lain-lain, mengapa pula imam seperti al-Rahman bin Abd al-Jawzi mengikuti mazhab Ahmad bin Hanbal, dan mengapa Abu Jafar al-Tahawi, Ali al-Qari, Jamal al-Din al-Zaylai (Syekh Afrika Ibnu Hajar Al-Asqalani, dianggap oleh beberapa ulama lebih berpengetahuan dari dia), dan Badr al-Din al-Ayni mengikuti sekolah Hanafi.
Fakta-fakta ini berbicara dengan fasih tentang peran hadis dalam syariah di mata para Imam ini, dibandingkan dengan mereka yang menganggap bahwa tidak penting berlatih baik dalam fiqh atau hadits, seperti yang disarankan oleh beberapa Muslim hari ini. Tetapi lebih tepatnya, fiqh dari hadis diwujudkan dalam mazhab tradisional yang mereka ikuti. Ada ruang bagi kita untuk memperoleh manfaat banyak dari contoh mereka.
Setiap Muslim bisa mendapatkan keuntungan dari membaca hadits al-Bukhari dan Muslim, baik sendiri atau dengan orang lain. Sedangkan untuk mempelajari hadis, Sheikh Shuayb al-Arnaut, dengan siapa istri saya dan saya membaca Tadrib al-Rawi (Pelatihan narator hadits)-nya Imam al-Suyuti, menekankan bahwa ilmu yang berkaitan dengan hadits sangat kompleks dan membutuhkan penguasaan literatur yang luas, lautan besar informasi yang memerlukan nahkoda untuk membantu menavigasi, tanpa satupun yang terdampar di batu karang. Dalam konteks ini, Syekh Shuayb pernah mengatakan kepada kami, "Barangsiapa tidak memiliki seorang syekh, Iblis adalah syekh-nya, dalam setiap disiplin ilmu Islam." Dengan kata lain, ada manfaat yang Muslim awam dapat harapkan dari membaca hadits secara pribadi, dan keuntungan yang dia tidak bisa dapatkan, kecuali ia dilatih secara baik dan menggunakan alat sastra lainnya, terutama menyangkut komentar-komentar klasik yang menjelaskan makna hadits dan hubungannya dengan Islam secara keseluruhan.
Manfaat yang bisa didapatkan dari membaca al-Bukhari dan Muslim banyak: pengetahuan umum fundamental seperti iman kepada Allah, kenabian Muhammad SAW, Hari Akhir dan seterusnya; serta aturan moral umum Islam untuk berbuat baik, menghindari kejahatan, melakukan shalat, puasa Ramadhan, dan sebagainya. Koleksi hadits lain juga mengandung banyak poin yang menarik, seperti pahala besar untuk tindakan ibadah seperti shalat pagi (Dhuha), berjaga shalat malam (Tahajjud), puasa pada hari Senin dan Kamis, memberikan amal jariyah, dan seterusnya. Siapapun yang membaca ini dan mengamalkannya dalam hidupnya memiliki keuntungan besar dari membaca hadits, bahkan lebih baik lagi jika ia bertujuan untuk menyempurnakan diri dalam mencapai karakter mulia Nabi SAW. Disebutkan dalam hadis "Barangsiapa yang mempelajari dan mengikuti contoh nabi, ia telah beruntung di dunia dan akhirat".
Apa yang tidak diharapkan dalam membaca hadis (tanpa instruksi pribadi dari seorang syekh untuk beberapa waktu) ada dua hal: untuk menjadi alim atau ulama Islam, dan menyimpulkan fiqh (hukum Islam) dari hadis-hadis tentang praktik syariah khusus.
Tanpa tangan yang membimbing, pembaca yang tidak terlatih akan salah memahami banyak hadits yang ia baca, dan kesalahan-kesalahan ini, jika terakumulasi dan tidak dikoreksi, bisa menumpuk sampai dia tidak pernah dapat menemukan jalan keluar, apalagi menjadi seorang ulama hadis. Orang tersebut sangat mudah menjadi mangsa bagi gerakan sektarian modern dari zaman kita yang muncul dalam kedok neo-ortodoks, yang dipublikasikan dan dibiayai secara baik, mengutip Quran dan hadis-hadis kepada orang-orang awam untuk membuat anggapan dasar dari semua aliran yang menyimpang sejak awal Islam, yaitu, bahwa hanya mereka lah Muslim sejati. Gerakan tersebut dapat mengemukakan hadis otentik (hadis hasan) yang dibawa oleh Aisyah (Allah berkenan dengan dia) oleh al-Hakim al-Tirmidzi bahwa Nabi SAW mengatakan, "syirik (politeisme) lebih tersembunyi di Umatku daripada semut yang merayap di sebuah batu halus yang besar pada malam yang gelap gulita. . . (Nawadir al-usul fi marifa Ahadis al-Rasul. Istanbul 1294/1877. Reprint. Beirut: Dar Sadir, n.d., 399).
Hadis ini telah digunakan sejak awal gerakan sekte Wahabi sampai sekte gerakan saat ini untuk meyakinkan masyarakat umum bahwa mayoritas Muslim bukanlah Muslim sesungguhnya, melainkan musyrikin, dan mereka yang tidak sepaham dengan pandangan syekh mereka berada di luar Islam yang benar.
Sebagai jawaban, para ulama tradisional menunjukkan bahwa kata fii ummati, "di dalam umatku" dalam hadits jelas menunjukkan bahwa apa yang dimaksudkan di sini adalah syirik kecil, dosa tertentu yang meskipun serius, tidak menjadikannya kafir (keluar dari Islam). Kata syirik memiliki dua makna. Yang pertama adalah syirik besar, yaitu menyembah selain Allah, dimana Allah berfirman dalam surat an-Nisa, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, tetapi mengampuni dosa selain dari itu kepada siapa yang Dia kehendaki" (Quran 4:48), dan ini adalah syirik kafir. Yang kedua adalah syirik yang lebih rendah akibat dosa-dosa yang menyangkut kekurangan tauhid seseorang, tetapi tidak sampai menyebabkannya keluar dari Islam. Contohnya termasuk menyukai seseorang yang berbuat salah (disebut syirik karena seseorang berharap untuk mendapatkan keuntungan dari apa yang Allah telah menetapkan tidak ada manfaat di dalamnya), atau membenci seseorang karena sesuatu yang benar (disebut syirik karena seseorang menjauhi dari apa yang Allah telah menetapkan manfaat di dalamnya), atau dosa memamerkan (riya) dalam ibadah, sebagaimana disebutkan dalam hadis otentik (sahih) bahwa Nabi SAW mengatakan, "Sedikit pun pamer dalam amal-amal baik adalah syirik" (al-Mustadrak ala al-Sahihayn. 4 vols. Hyderabad, 1334/1916. Reprint (with index vol. 5). Beirut: Dar al-Marifa, n.d.,1.4). Dosa-dosa seperti itu tidak menempatkan seseorang di luar Islam, meskipun mereka merupakan ketidaktaatan dan menunjukkan kurangnya keyakinan (iman).
Ulama mengatakan bahwa dosa seperti yang dimaksud dengan hadits di awal adalah syirik kecil, karena jika yang dimaksudkan adalah syirik besar atau kafir, Nabi SAW tidak akan menyebut individu sebagai "di dalam umatku", karena kekufuran adalah terpisah dan berbeda dari Islam, dan tentu di luar itu. Ini juga dikuatkan oleh versi lain dari hadits terkait dari Abu Bakar (Nawadir al-ushul, 397), di mana kata fikum atau "pada kalian" menggantikan kata "di dalam umatku", merujuk langsung ke para sahabat nabi, yang tidak ada satupun dari mereka yang merupakan seorang musyrik atau penyembah berhala, sesuai konsensus bulat (ijma) dari seluruh ulama Muslim. Adapun dosa syirik kecil itu tidak bisa hilang pada seseorang, itulah mengapa dalam hadits ketersembunyian mereka dibandingkan dengan ketidaknampakan merayapnya semut di atas sebuah batu halus yang besar pada malam yang gelap gulita, yaitu karena kehalusan motif manusia, dan kemudahan di mana manusia bisa menipu diri mereka sendiri.
Demikian pula, al-Bukhari menceritakan bahwa Nabi SAW berkata: "Sesungguhnya, kamu akan mengikuti cara orang-orang yang sebelum kamu, jarak demi jarak, dan hasta demi hasta, sampai-sampai jika mereka masuk ke sarang biawak, kamu akan mengikuti mereka." Kami berkata, "Wahai Rasulullah, (apakah mereka) orang Yahudi dan Kristen?" Dan beliau berkata, "Siapa lagi?" (Sahih al-Bukhari. 9 vols. Cairo 1313/1895. Reprint (9 vols. in 3). Beirut: Dar al-Jil, n.d., 9.126: 7320).
Hadits ini juga digunakan oleh gerakan-gerakan modern yang mengaku kembali ke Quran dan sunnah, mengatakan bahwa mayoritas Muslim Sunni umum yang mengikuti aqidah (prinsip-prinsip iman) atau fiqh mainstream imam Sunni ortodoks (yang karya klasiknya jarang yang sesuai dengan pandangan mereka) adalah yang dimaksudkan oleh hadits ini, sementara ada banyak bukti bahwa mayoritas umat ortodoks dilindungi dari kesalahan oleh Allah, seperti hadis sahih yang terkait oleh al-Hakim bahwa "tangan Allah di atas jamaah, dan siapa pun menyimpang dari mereka menyimpang ke neraka" (al-Mustadrak, 1,116). Hadis-hadis tersebut menunjukkan bahwa ayat-ayat Alquran seperti "Jikalau kamu menuruti kebanyakan dari mereka di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah" (Quran, 6:116) tidak merujuk kepada mereka yang mengikuti ulama Islam tradisional (yang di antara mereka belum pernah menjadi mayoritas di bumi), melainkan mayoritas umat manusia non-muslim.
Hadis yang disebutkan sebelumnya mengenai mengikuti orang Yahudi dan Kristen, di masa kita merujuk kepada Muslim yang meng-copy Barat dalam semua aspek kehidupan mereka, rasional dan tidak rasional, bahkan sampai mendirikan bank di kota Muslim dan tempat-tempat suci yang belum pernah dinodai oleh usury (riba) secara institusional sejak masa pra-Islam. Atau mereka yang mempromosikan ideologi sektarian memecah-belah dengan kedok gerakan reformasi di kalangan umat Islam, seperti orang Yahudi dan Kristen telah lakukan dalam agama mereka masing-masing.
Ulama tradisional dilindungi dari kesesatan tersebut oleh pengetahuan asli yang telah dilestarikan, dari guru hidup ke guru hidup lainnya, dalam suksesi tak terputus kembali sampai ke Nabi SAW. Kembali ke pertanyaan kita, tanpa suatu proses kontrol kualitas, pembaca hadis tanpa pemandu tidak bisa berharap untuk menjadi semacam ulama buatan sendiri ("ulama homemade"), memberikan fatwa berdasarkan apa yang dia temukan dalam al-Bukhari atau Muslim saja, karena hadis sahih terkait untuk pertanyaan hukum Islam tidak hanya ditemukan dalam dua karya tersebut, tetapi dalam banyak karya besar lain, di mana mereka yang membuat penilaian pada pertanyaan-pertanyaan ini pasti tahu. Aku telah menyebutkan di tempat lain beberapa ilmu-ilmu yang dibutuhkan oleh ulama untuk menggabungkan semua hadits, dan kondisi masing-masing hadis atau kondisi hadis atau ayat Alquran yang lebih spesifik atau lebih umum yang dikenakan pada pertanyaan. Tanpa pengetahuan ini, dan syekh tradisional yang membimbing, seseorang pasti tersandung, sesuatu yang aku ketahui karena aku secara pribadi telah mengalaminya.
Ketika aku pertama kali datang ke Yordania pada tahun 1980, ada yang membuat terkesan dalam benak-ku bahwa seorang Muslim tidak memerlukan apa-apa selain Quran dan hadis sahih. Setelah membaca Quran bahasa Arab yang diterjemahkan oleh AJ Arberry dan mencatat apa yang aku pahami, aku duduk mempelajari Sahih al-Bukhari terjemahan Muhammad Muhsin Khan dan menelusuri semua hadist, jilid demi jilid, menuliskan segala sesuatu yang tampaknya mengatakan apa yang harus dilakukan oleh seorang Muslim. Ini merupakan upaya untuk 'potong jalan' melewati pembaharuan-pembaharuan dalam hukum Islam selama berabad-abad seperti yang orientalis telah ajarkan kepada-ku tentang hal tersebut di Universitas Chicago, upaya untuk menggapai Islam murni dari sumber aslinya sendiri. Salafisme-ku dan orientalisme-ku berkumpul di titik ini.
Akhirnya, aku menghasilkan naskah hadis terpilih al-Bukhari, semacam buku petunjuk syariah "do-it-yourself". Aku masih menggunakannya sebagai indeks untuk hadis-hadis dari al-Bukhari, meskipun kesimpulan fiqh dari ijtihad-ijtihad amatirku terasa memalukan bila dilihat saat ini. Ketika hadis yang disebutkan tampaknya bertentangan satu sama lain, aku hanya akan memilih mana yang aku inginkan, atau mana yang lebih dekat dengan kebiasaan Barat -ku. Setelahnya, aku berkata, bahwa Nabi SAW tidak pernah diberi pilihan antara dua hal kecuali bahwa ia memilih yang lebih mudah dari keduanya (Sahih al-Bukhari, 4,230: 3560). Sebagai contoh, aku telah diberitahu bahwa bukanlah sunnah untuk buang air kecil sambil berdiri, dan telah mendengar hadits dari Aisyah bahwa siapa pun yang mengatakan bahwa Nabi SAW telah buang air kecil sambil berdiri, maka ia tidak beriman kepadanya (Musnad al-Imam Ahmad. 6 vols. Cairo 1313/1895. Reprint. Beirut: Dar Sadir, n.d., 6.136). Tetapi kemudian aku membaca dalam hadis al-Bukhari bahwa Nabi SAW pernah sekali buang air kecil sambil berdiri (Sahih al-Bukhari, 1.66: 224), dan memutuskan bahwa apa yang pertama kali diberitahukan kepadaku adalah sebuah kesalahan, atau bahwa mungkin itu tidak terlalu penting. Hanya kemudian, ketika aku mulai menerjemahkan dari bahasa Arab manual fiqh Syafi'i "Reliance of The Traveller", aku menemukan bagaimana para ulama syariah telah menggabungkan implikasi dari hadist ini, bahwa berdirinya Nabi SAW untuk buang air kecil adalah untuk mengajarkan umat bahwa itu tidak melanggar hukum (haram), melainkan hanya ofensif (makruh) - meskipun dalam kaitannya dengan Nabi tindakan seperti itu tidak menyimpang, melainkan wajib untuk dilakukan setidaknya satu kali untuk mengajarkan umat bahwa mereka tidak melanggar hukum - atau menurut ulama lain, untuk menunjukkan hal itu diperbolehkan dalam situasi di mana untuk mencegah air kencing memercik ke pakaian.
Dalam retrospeksi, awal kesalahan petualanganku di hadits memungkinkan aku untuk menghargai cara fiqh dihasilkan. Aku kemudian belajar untuk menggabungkan di antara semua hadits, sesuatu yang secara pribadi tidak dapat aku lakukan sebelumnya. Dan aku mengerti mengapa, dari Imam hadits terkemuka, Imam al-Bukhari mengambil yurisprudensi-nya Syafi'i dari muridnya Imam Syafi'i, Abdullah ibn al-Zubayr al-Humaydi (al-Subki, Tabaqat al-Shafi'iyya al-kubra. 10 vols. Cairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1383/1964, 2.214), dan mengapa Imam Muslim, al-Tirmidzi, Abu Dawud, dan al-Nasai juga mengikuti sekolah Syafi'i (Mansur Ali Nasif, al-Taj al-jami li al-usul fi ahadith al-Rasul. 5 vols. Cairo 1382/1962. Reprint. Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, n.d., 1.16), seperti yang dilakukan juga oleh al-Baihaqi, al-Hakim, Abu Nuaym, Ibnu Hibban, al-Daraqutni, al-Baghawi, Ibnu Khuzayma, al-Suyuti, al-Dhahabi, Ibn Kathir, Nur al-Din al-Haythami, al-Mundhiri, al-Nawawi, Ibnu Hajar al-Asqalani, Taqi al-Din al-Subki dan lain-lain, mengapa pula imam seperti al-Rahman bin Abd al-Jawzi mengikuti mazhab Ahmad bin Hanbal, dan mengapa Abu Jafar al-Tahawi, Ali al-Qari, Jamal al-Din al-Zaylai (Syekh Afrika Ibnu Hajar Al-Asqalani, dianggap oleh beberapa ulama lebih berpengetahuan dari dia), dan Badr al-Din al-Ayni mengikuti sekolah Hanafi.
Fakta-fakta ini berbicara dengan fasih tentang peran hadis dalam syariah di mata para Imam ini, dibandingkan dengan mereka yang menganggap bahwa tidak penting berlatih baik dalam fiqh atau hadits, seperti yang disarankan oleh beberapa Muslim hari ini. Tetapi lebih tepatnya, fiqh dari hadis diwujudkan dalam mazhab tradisional yang mereka ikuti. Ada ruang bagi kita untuk memperoleh manfaat banyak dari contoh mereka.
© Nuh Ha Mim Keller 1995
From "Would you advise individuals to study hadith from al-Bukhari and Muslim on their own?"
Nuh Ha Mim Keller adalah penerjemah Muslim Amerika dan spesialis hukum Islam. Lahir pada tahun 1954 di barat-laut America Serikat, mengikuti pendidikan filosofi dan bahasa Arab di University of Chicago and UCLA. Ia masuk Islam pada tahun 1977 di al -Azhar, Cairo, dan kemudian mempelajari Sains Hadis Islam Tradisional, yurisprudensi Syafi 'i dan Hanafi , metodologi hukum (usul al-fiqh), dan `aqidah di Syria dan Jordan, di mana ia tinggal sejak tahun 1980. Terjemahan bahasa Inggris dari `Umdat al- Salik' [The Reliance of the Traveller] (1250 pp., Sunna Books, 1991) adalah karya hukum Islam pertama dalam bahasa Eropa yang menerima sertifikasi dari Al Azhar, institusi pendidikan tinggi Muslim tertua di dunia. Ia juga menerima ijasah atau "sertifikat otorisasi" dalam yurisprudensi Islam dari para syeikh di Syria dan Jordan.
0 komentar:
Posting Komentar