Pengantar Ilmu
Nama Ilmu
Ilmu Mushthalah Hadis, Ushul Hadis, atau Kaidah-kaidah Hadis.
Definisi Ilmu
Kaidah-kaidah yang dengannya dapat diketahui kondisi-kondisi para perawi (sanad) dan riwayat (matn); dari sisi diterima atau ditolaknya.
Objek pembahasan
Sanad dan Matn; dari sisi diterima dan ditolaknya.
Faidah mempelajarinya
Kemampuan membedakan hadis yang shahih (hujjah) dari yang dhaif (bukan hujjah).
Keutamaan mempelajarinya
Imam Nawawi berkata, “Ilmu hadis adalah diantara ilmu yang paling utama, yang mendekatkan kepada Rabb semesta alam. Bagaimana tidak, ia adalah penjelasan atas jalan sebaik-baik makhluk, yang dahulu dan yang terakhir.”[1]
Identitas Nadzm
Nama nadzm
Al-Madzumah al-Baiquniyyah al-Dimasyqy.[2]
Pengarang
Umar bin Ahmad bin Fatuh Al-Baiquny
Syarh-syarh
- Al-Tuhfah al-Zainiyyah Ala Al-Mandzumah al-Baiquniyyah, Zain bin Ahmad al-Marshafy
- Hawasyi al-Baiquniyyah, Muhammad bin Abdurrahman al-Ahdal.
- Al-Taqrirat As-Saniyyah, Hasan al-Masyath.
- Syarh Az-Zurqani ma’a Hasyiah Athiyyah al-Ujhury.
- Syarh Muhammad bin Sha’dan al-Hajiry
- Syarh al-Hamawy
- Syarh Ibnu al-Mit ad-Dimyathy.[3]
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم
أَبْدَأُ بِالحَمْدِ مُصَلِّيًا عَلَى مُحَمَّدٍ خَيْرِ نَبِيٍّ أُرْسِلاَ
Aku Memulai dengan al-hamd (pujian kepada Allah), seraya bershalawat atas
Muhammmad, sebaik-baik nabi yang diutus
Kemudian bershalawat kepada Muhammad. Shalat atau shalawat secara bahasa adalah doa. Adapun sholawat Allah atas Rasul, maknanya adalah, sebagaimana yang dikatakan oleh Abul ‘Aliyah, bahwa shalawat Allah kepada Nabi-Nya adalah pujian Allah kepadanya dihadapan penduduk langit.[4] Shalawat hamba kepada Nabi berarti doa (permohonan) agar Allah memujinya di hadapan penduduk langit.
Muhammad adalah nama Nabi dan Rasul terakhir. Al-Baiquni mensifatinya dengan sebaik-baik nabi yang diutus. Hal ini sesuai sabda Rasulullah, “Aku adalah tuan (sayyid) seluruh manusia pada hari kiamat.”[5]
وَذِيْ مِنَ اقْسَامِ الحَدِيْثِ عِدَّةْ وَكُلُّ وَاحِدٍ أَتَى وَحَدَّهْ
Dan inilah diantara beberapa dari macam-macam hadis
Setiap macamnya akan datang (dalam nadzm ini) beserta definisinya
Hadis adalah setiap yang disandarkan kepada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan, sifat penciptaannya (yang berhubungan dengan jasad) atau akhlaknya.
Selain istilah hadis ada istilah khabar dan atsar. Khabar lebih umum dari hadis; karena ia mencakup yang disandarkan kepada Nabi atau yang lainnya dari kalangan para sahabat, tabi’in atau yang setelahnya. Sementara atsar hanya untuk yang disandarkan kepada selain Nabi.
أَوَّلُهَا الصَّحِيْحُ وَهْوَ مَا اتَّصَلْ إِسْنَادُهُ وَلَمْ يُشَذَّ أَوْ يُعَلْ
Yang pertama dari macam-macam itu adalah istilah shahih; ia adalah yang bersambung
Sanadnya dan tidak syadz, serta tidak ada illah
Sanad secara bahasa adalah sandaran. Dalam istilah ilmu hadis, ia adalah hal-ihwal yang berhubungan dengan jalan/jalur periwayatan hingga sampai ke matn.[7]
Hadis shahih juga (2) bukan hadis yang syadz; yaitu hadis yang riwayatnya menyelesihi yang lebih kuat darinya, baik dari sisi jumlah atau ketsiqahan para perowinya. Ia juga (3) bukan hadis yang terdapat padanya illah; yaitu sebab yang tersembunyi yang mencacati kesahihan hadis tersebut.
يَرْوِيْهِ عَدْلٌ ضَابِطٌ عَنْ مِثْلـِهِ مُعْتَمَدٌ فِي ضَبْطِهِ وَنَقْلِهِ
Yang meriwayatkannya (hadis shahih) seorang yang adil dan dhabith, dari orang yang sepertinya
Dapat diandalkan dalam hal dhabt (hapalan)nya dan naql (kitab)nya
Perawi hadis shahih juga harus memiliki sifat dhabt (5); yaitu kemampuan menyampaikan hadis kepada murid-muridnya sebagaimana yang ia terima dari gurunya, baik dari hapalan atau dari catatannya. Dari sini dhabt dibagi dua:
- Dhabt Shadr: yaitu kemampuan menghapal dengan baik riwayat yang dia dengar dari gurunya hingga ia mampu menghadirkannya kapan saja ia kehendaki.
- Dhabt Kitab: yaitu kehati-hatiaannya dalam menjaga dan merevisi catatan riwayat-riwayatnya hingga tidak terjadi sesuatu yang dapat merubahnya dari sejak ia meneriwa riwayat itu hingga menyampaikannya.
- Sanadnya bersambung
- Para perawinya adil
- Para perawinya dhabith
- Tidak Syadz
- Tidak terdapat illah.
Definisi hadis shahih yang disebutkan penulis diatas adalah untuk shahih lidzatihi. Adapun definisi hadis shahih lighairihi adalah hadis hasan lidzatihi yang datang dengan dua jalur periwayatan atau lebih hingga saling menguatkan antara satu dan yang lainnya.
وَالْحَسَنُ الْمَعْرُوْفُ طُرْقًا وَغَدَتْ رِجَالُهُ لا كَالصَّحِيْحِ اشْتَهَرَتْ
Dan hasan adalah yang terkenal jalur-jalurnya dan kodisi
Para rilaj (perawi)nya terkenal namun tidak seperti hadis shahih
Selain sifat-sifat diatas, hadis hasan juga tentu saja disyaratkan tidak syadz dan tidak terdapat padanya illah sebagaimana syarat yang terdapat pada hadis shahih.
وَكُلُّ مَا عَنْ رُتْبَةِ الْحُسْنِ قَصُرْ فَهْوَ الضَّعِيْفُ وَهْوَ أَقْسَامًا كَثُرْ
Dan setiap hadis yang derajatnya lebih rendah dari hadis hasan
Maka ia adalah dha’if, dan ia memiliki macam-macam yang banyak
Kedhaifan suatu hadis kembali kepada dua sebab utama[8]:
- Keterjatuhan dalam sanad. Hadis dhaif yang disebabkan hal ini adalah: mursal, munqathi, mu’dhal dan mu’allaq, serta mudallas dan mursal khafi.
- Kecacatan dalam perawi. Hadis dhaif yang disebabkan hal ini diantaranya adalah: mu’allal, mudhtharib, munkar, syadz, mudraj, maqlub, matruk, dll.
[1] Tadrib Ar-Rawi, hal. 26
[2] Muqaddimah Muhaqqiq, Syarh Az-Zurqany ma’a Hasyiyah al-Ujhury, hal. 5
[3] Idem.
[4] Shahih Bukhari
[5] HR Bukhari (3340), Muslim (327)
[6] Al-Taqrirat al-Saniyyah, Syarh al-Mandzumah al-Baiquniyyah, Hasan al-Masyath.
[7] Sebagian orang mendefenisikan sanad dengan, “Silsilah para perowi yang menyampaikan kepada matn”. Definisi ini kurang tepat dari sisi penggunaan kata “silsilah” yang menunjukkan ketersambungan (ittishal), karena sesungguhnya sanad mencakup yang bersambung atau tidak.
[8] Lihat Nukhbah al-Fikar dengan Syarhnya Nuzhatu An-Nadhzar, Al-Hafidz Ibnu Hajar, hal. 97
Sumber: http://sabilulilmi.wordpress.com/2010/12/08/syarh-ringkas-al-mandzumah-al-baiquniyyah/
Sumber: http://sabilulilmi.wordpress.com/2010/12/08/syarh-ringkas-al-mandzumah-al-baiquniyyah/
0 komentar:
Posting Komentar