Ikhlas akar katanya adalah kholaso-yakhlusu-khuluson. Artinya murni dari segala kotoran. Perbuatan yang diperuntukkan sepenuhnya untuk Allah dan bersih dari tujuan-tujuan selainnya disebut amal yang ikhlas. Masalah ini sangat sensitif bagi manusia. Perasaan tidak ikhlas atau riya’ dengan mudah dapat menyelinap dalam suatu amal dengan sangat halus, sehalus rambatan semut di atas kulit. Oleh karenanya evaluasi amal mutlak harus dilakukan setiap saat. Agar apabila terdapat penyimpangan motivasi amal dapat segera terdeteksi.
Al Imam Al Ghozali mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga keikhlasan amal dalam tiga tahapan; saat akan beramal, ketika amal dilaksanakan dan saat selesai beramal. Rasulullah SAW selalu berdo’a setiap pagi dan petang, agar terjaga keikhlasan hatinya,
“Ya Allah, kami berlindung kepadaMu dari perbuatan syirik kepadaMu (beramal tidak ihklas) sekecil apapun yang kami ketahui, dan kami meminta ampunanMu dari yang tidak kami ketahui.”
Ali bin Abi Thalib menjelaskan tentang indikasi orang yang riya’:
1.Malas berbuat apabila sendirian,
2.Bersemangat apabila bersama orang, dan
3.Menambah amalnya jika dipuji.
Akhil karim…
Apa yang sedang kita lakukan sekarang, yakni melakukan berbagai macam kegiatan dakwah untuk menuju ishlahul umat, sungguh sangat besar bobotnya di sisi Allah SWT. Ia merupakan kegiatan yang mudah dan indah apabila terus dilandasi ikhlas karena Allah SWT, apapun rintangan dan tantangan yang menghadang perjalanannya. Sebaliknya, kegiatan da’wah ini tidak mungkin dapat ditanggung berat bebannya, akan sulit ditempuh kerumitan perjalannanya, ketika amal-amal itu tidak dilandasi keikhlasan.
Sebuah ungkapan hikmah menyatakan,
Maa Kaana lillaahi yabqoo… Wa maa kaana lighoirihii yafnaa…
Perbuatan yang ikhlas karena Allah akan kekal, dan yang selainnya akan sirna…
Sayangilah diri kita di akhirat nanti dengan menjaga keikhlasan kita. Jangan sampai rasa lelah, lapar, haus bahkan sakit karena beratnya beban kerja dakwah ini menjadi sia-sia karena ketidak ikhlasan amal kita. Sayangilah diri kita, jangan sampai kerja dakwah ini malah menjerumuskan kita ke neraka, hanya karena tidak ikhlas. Karena hakikat ketidak ihklashan adalah syirik kepada Allah SWT, sementara syirik dapat menghapus amal kebaikan. Na’udzu billah.
Ikhlash adalah gambaran akidah yang benar, yang berarti sikap tajarrud seseorang dari semua motivasi selain Allah SWT, dan itulah yang paling dinilai oleh Allah SWT. Niat seorang mukmin lebih baik dari pada amalnya. Sesungguhnya perbuatan itu tergantung dari niatnya. Sehingga motivasi amal akan lebih menentukan bobot sebuah amal dibanding amal itu sendiri. Bahkan amal jihad, mengajarkan Al Qur’an dan berinfaq, yang merupakan amal yang sangat besar nilainya di sisi Allah SWT, tidak ada artinya di sisi Allah ketika keikhlasan tidak ikut menyertainya, bahkan menyebabkan pelakunya masuk neraka. Diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Rasulullah menjelaskan dampak tidak ikhlas dalam bermal,
“Sesungguhnya orang yang pertama diadili pada hari kiamat adalah seseorang yang mati syahid. Dia didatangkan ke pengadilan, kemudian diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmatnya. Maka diapun mengakuinya. Allah SWT bertanya, “Apa yang engkau perbuat dengan nikmat-nikmat itu?” Dia menjawab, ” Aku berperang karena Engkau hingga aku mati syahid.” Allah SWT berfirman, “Engkau bohong! Engkau berperang hanya supaya dikatakan,’Dia adalah orang yang gagah berani’. Dan memang begitulah yang dikatakan tentang dirimu.” Kemudian diperintahkan agar dia diseret dengan muka telungkup lalu dilemparkan ke dalam neraka.
Berikutnya adalah seseorang yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al Qur’an. Dia didatangkan ke pengadilan, lalu diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmatnya. Maka diapun mengakuinya. Allah swt bertanya.”Apa yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?”. Dia menjawab,”Aku mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al Qur’an karenaMu.” Allah SWT berfirman, “Engkau dusta. Engkau mempelajari ilmu agar dikatakan, ‘Dia adalah orang yang alim’, dan engkau membaca Al Qur’an agar dikatakan, ‘Dia adalah Qori’. Dan gelar itu sudah diberikan kepadamu.” Kemudian diperintahkan agar orang tersebut diseret dengan muka terungkup hingga dilemparkan ke dalam neraka.
Berikutnya adalah orang diberi kelapangan oleh Allah SWT dan juga diberi harta yang banyak. Lalu didatangkan ke pengadilan dan diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmatnya. Maka diapun mengakuinya. Allah SWT bertanya, “Apa yang engkau perbuat dengan nikmat-nikmat itu?” Dia menjawab, “Aku tidak meninggalkan satu jalanpun yang Engkau sukai agar dinafkahkan harta, melainkan aku menafkahkannya karenaMu”. Allah SWT berfirman, “Engkau dusta! Engkau melakukan hal itu agar dikatakan, ‘Dia seorang dermawan’. Dan gelar itu sudah diberikan kepadamu”. Kemudian dia diperintahkan agar diseret dengan wajah telungkup hingga dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim, An Nasa’i, At Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
Sejarah mencatat bahwa tatkala Mu’awiyah mendengar hadits ini, maka diapun menangis tersedu-sedu hingga pingsan. Setelah siuman dia berkata, “Maha Benar Allah SWT dan RasulNya”
Akhil Karim…
Hadits di atas menyadarkan kita bahwa setiap bentuk kebajikan yang kita lakukan adalah hidayah dan nikmat dari Allah SWT. Ia berikan nikmatNya kepada orang yang dikehendakiNya. Ada orang yang pernah bertemu langsung dengan Rasulullah dan berinteraksi dengannya namun hidupnya tidak pernah diisi oleh kebajikan walau hanya sekali sujud saja, karena hidayah Allah tidak turun kepadanya. Namun kita yang justru jauh dari masa kehidupan Rasulullah, bersemangat melaksanakan sholat, jihad, dakwah dan lain sebagaianya. Bukankah ini merupakan kenikmatan yang sangat besar dari Allah SWT? Jagalah nikmat ini dengan menjaga keihlasan amal-amal kita.
Akhil Karim…
Semakin besar jangkauan pekerjaan manusia, semakin besar pula kebutuhannya terhadap keikhlasan, karena tanpa keikhlasan maka amal akan hancur dan hilang barokahnya. Imam Asy Syafi’I, yang keluasan ilmunya menjangkau umat manusia dari dahulu sampai sekarang, terkenal sebagai orang yang besar perhatiannya dalam menjaga keikhlasan beramal. Beliau pernah berkata,
“Andai saja tidak seorangpun murid yang pernah belajar dariku yang mengatakan bahwa aku mempelajari ilmu ini dari Syafi’i”.
Kerja dakwah yang kita lakukan saat ini—Alhamdulillah—telah menjangkau kehidupan masyarakat yang cukup luas. Ini merupakan bentuk kemenangan dakwah yang disebut sebagai Ta’yiidul Mu’minin. Sisi baik fase ini akan membuka berbagai macam peluang kehidupan keduniaan, seperti peluang mendapatkan jabatan, kekayaan dan sebagainya. Kerja dakwahpun akan semakin mudah karena didukung oleh fasilitas-fasilitas tersebut. Namun, di sisi lain, jika pada awalnya amal dakwah tidak didasari oleh keikhlasan, ia justru akan berubah menjadi sumber fitnah, bahkan menyebabkan perpecahan dan permusuhan—na’udzu billah— di antara para kader dakwah.
Maka ucapkanlah ucapan yang sama dengan yang diucapkan oleh Imam Syafi’I ini,
“Andaikan saja semua kontribusiku dalam gerakan dakwah ini, tidak seorangpun yang tahu, bahwa ia bersumber dariku”
Insya Allah kerja dakwah ini tidak akan dapat dikotori oleh saling jegal untuk meraih posisi tertentu. Tidak pula saling menjatuhkan untuk meraih peluang-peluang kekayaan, yang mengakibatkan gerakan dakwah dijadikan ajang untuk merebut dunia yang hina dina. Karena sesungguhnya gerakan dakwah adalah tempat manusia berlomba-lomba meraih pahala dan rahmat Allah, kalau dasar ikhlas selalu dijaga dan dipertahankan…
Oleh: Ust. Abdul Aziz Abdur Rouf, Lc
Senin, 28 Maret 2011
Label:Renungan
0 komentar:
Posting Komentar