Pada kenyataannya setiap budaya dan zaman memiliki tuntutan yang berbeda-beda, yang umumnya diterapkan dan ditekankan kepada laki-laki atau perempuan sejak kecil. Dari situlah antara lain istilah gender lahir menjadi wacana yang sangat luas, yaitu suatu ungkapan yang tidak semata menunjukkan jenis kelamin, namun lebih pada sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya.
Dalam kaitan sebuah lembaga alamiah manusia, yakni keluarga, laki-laki pada dasarnya diciptakan sebagai pemimpin dalam kehidupan pasangannya dan perempuan sebagai pendamping dan penyelaras. Oleh sebab itu seorang laki-laki cenderung sangat membutuhkan suatu penghormatan terkait dengan peran kepemimpinannya sementara perempuan membutuhkan kepastian perlindungan dan penyejahteraan.
Sejalan dengan itu maka tuntutan pemenuhan kebutuhan finansial lebih dibebankan pada laki-laki, sementara perempuan lebih dituntut berperan dalam menyediakan rasa aman secara emosional bagi pasangannya. Jika kedua tuntutan itu saling dipahami dan ditunaikan secara ikhlas, tentu akan melahirkan kenyamanan dalam kehidupan pasangan.
Selain itu dalam hal mendefinisikan diri juga cenderung terjadi perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki cenderung menetapkan berdasarkan kesuksesan kerja dan pencapaian-pencapaian yang telah diraih sedangkan perempuan cenderung mendefinisikan dirinya berdasarkan penilaian orang-orang di sekitar yang mereka pedulikan.
Adanya perbedaan-perbedaan dalam kehidupan pasangan pada dasarnya merupakan sumber kekuatan sepanjang dapat dipadukan secara tepat hingga melahirkan harmonisasi yang menakjubkan. Tentu saja hal itu bukan soal mudah, sebab menyatukan perbedaan watak atau kecenderungan-kecenderungan yang telah berakar dalam struktur kepribadian masing-masing akan memerlukan waktu.
Atas kenyataan itu, setiap orang, baik laki-laki atau pun perempuan, perlu memahami perbedaan-perbedaan ini dan menyadari perannya masing-masing. Dengan pemahaman dan kesadaran itu diharapkan tercipta hubungan yang nyaman, intim, penuh kemesraan dalam pasangan.
Bahkan perbedaan-perbedaan itu dapat membuat suatu hubungan menjadi lebih indah, menggairahkan, lebih hidup, dinamis, dan sempurna, sepanjang setiap pasangan dapat belajar mengelola dan memanfaatkan perbedaan itu dengan baik berdasarkan satu skenario dalam satu naskah. Setiap pasangan dengan tulus dan serius menjadi performa dari sebuah lakon derama kehidupan yang bernama keluarga dalam satu naskah skenario.
Dengan cara seperti itu pada akhirnya, semua yang terlibat sebagai pemain akan mematangkan cinta dan komitmennya dalam kehidupan berpasangan. Akan tetapi, cinta dan komitmen akan menguap jika diasapi oleh perbedaan aqidah. Aqidah adalah sumber mendasar dari semua persepsi dan perilaku individu.
Ketidaksamaan aqidah dengan sendirinya akan semakin memperparah perbedaan-perbedaan yang telah ada di antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan aqidah sangat berpotensi melahirkan konflik yang lebih dalam yang dapat mengancam keberlangsungan keselarasan di antara pasangan, karena aqidah melibatkan kebutuhan individu paling asasi, yaitu kebutuhan spiritual.
Walaupun pada masa kini, sebagian orang, sejalan dengan menguatnya budaya materialistic-individualistik-hedonistik, secara sadar berusaha mengabaikan atau menyingkirkan masalah aqidh dari kehidupan mereka, namun jiwa dan nurani serta kefitrahan manusia tidak dapat dibohongi dan dikamuflase oleh sejumlah ideologi yang bertentangan dengan fitrahnya. Spiritualitas manusia selalu menuntut untuk dipenuhi kebutuhannya.
Dalam konteks kehidupan berpasangan, tak terpenuhinya kebutuhan spiritual dapat berimbas pada kualitas interaksi intra dan interpersonal. Hal itu dapat wujud dalam bentuk kegelisahan yang terkadang memilukan hingga membuat keresahan dan kebimbangan. Selain itu kegelisahan juga dapat menyesakkan rongga dada. Jika kegelisahan yang merasuki jiwa masing-masing pasangan menjadi berlarut-larut bukan mustahil menyebabkan jiwa menjadi rentan dan rapuh hingga terus menciptakan serpihan kegelisahan,
Lebih parah kegelisahan dapat memicu keterasingan (alienasi) jiwa, ketidakcocokan, ketidakbetahan, dan meledak menjadi pertengkaran yang berujung pada perpisahan dan perceraian. Perceraian adalah jalan yang menyakitkan untuk mengakhiri hubungan sebuah pasangan yang telah diikat oleh janji dan komitmen suci. (Insya Allah masih ada sambungannya)
Selasa, 14 Desember 2010
Label:Renungan
0 komentar:
Posting Komentar