Untuk diketahui, menurut badan kesehatan dunia, kalau tidak ada langkah penanggulangan yang lebih konkret, tahun depan diperkirakan 6 juta orang mati disebabkan rokok. Artinya bagi mereka telah kecanduan rokok telah memilih cara kematiannya dengan senang hati dan mengeluarkan biaya dengan boros pula.
Bayangkan, di Indonesia saja konon setiap tahunnya sekitar 154.723 triliun rupiah dihabiskan untuk memilih cara kematian yang sangat digemari ini. Hitung-hitungannya 365 hari x Rp 6.000,00 /bungkus x 70,650 juta orang. Walaupun tentu saja tidak semua perokok sukses meraih kematiannya dengan sebab rokok, namun gejala itu tetap menghantui orang-orang yang masih memandang penting kesehatan bagi kehidupan manusia. Konon, hitungan tersebut tidak jauh berbeda dengan produksi rokok 230 miliar batang per tahun. Padahal Allah berfirman, “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS, al-Baqarah [2]: 195). Ayat ini jelas mengandung larangan penjerumusan ke dalam kebinasaan oleh dirinya sendiri.
Dengan mengacu pada kenyataan tersebut di atas, merokok jelas sudah memiliki unsur menjatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan seperti dilarang dalama ayat tersebut. Apatah lagi dalam proses penjatuhan diri dalam kerusakan yang dilakukannya disertai dengan keborosan. Akibatnya ada dua kesalahan besar bagi perokok. Pertama, memenuhi unsur penjerumusan diri ke dalam kebinasaan. Kedua, melakukan keborosan yang juga sama dilarang dan dibenci oleh Allah Swt. “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah menghambur-hamburkan (hartamu) dengan boros sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudaranya setan. Dan setan itu sangat inkar kepada Rabbnya.” (Al-Isra’ : 26-27). “Allah membenci untukmu perbuatan menyia-nyiakan harta.” (HR, Bukhari dan Muslim).
Ternyata, Indonesia adalah surga bagi orang yang memilih kematiannya dengan cara boros melalui pengisapan rokok. Lebih dari 400.000 rakyat Indonesia setiap tahun mati sia-sia meregang nyawa akibat merokok. Sekarang ini posisi Indonesia menjadi bangsa perokok terbesar kelima di dunia setelah Rusia. Hasil survei tentang Kesehatan Rumah Tangga dari Departemen Kesehatan 2003 menyatakan bahwa terdapat 31,4 % dari jumlah penduduk Indonesia yang merokok. Kalau penduduk Indonesia pada saat ini berjumlah 225 juta saja, artinya terdapat 70,650 juta orang yang merokok.
Atas dasar itu logis kalau fatwa ulama internasional terhadap rokok cenderung seragam mengharamkannya. Hal itu pula yang menjadi salah satu sandaran fatwa Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) nomor: 18/mf-dd/iv/1427/2006 yang menetapkan bahwa merokok hukumnya haram.
Akan tetapi, dasar sudah kecanduan, para pemburu kematian dengan cara boros ini melakukan penolakan terhadap fatwa rokok ini dengan alasan dampak ekonomis. Padahal keuntungan industri rokok yang jumlahnya sangat besar hanya dinikmati segelintir orang, yaitu pemilik perusahaan. Sedangkan buruh rokok tetap hidup dalam lingkaran kemiskinan. Terhadap alasan ini, KH. Ali Mustafa Yaqub menganalogikannya dengan judi, miras, dan prostitusi yang sama melibatkan banyak pekerja. Apakah alasan terlibatnya banyak orang dalam bisnis-bisnis seperti itu bisa dibenarkan, ketika jelas-jelas madlaratnya sudah di depan mata?
Demikian pula, alasan dampak sosial dan ekonomi seperti pengangguran yang dikhawatirkan timbul sebagai akibat dari pengaturan rokok, sebenarnya tidak juga kuat. Sebab ada dampak sosial dan ekonomi jangka menengah dan panjang yang jauh lebih besar ketimbang pengangguran yang menimpa beberapa buruh atau orang-orang yang terlibat langsung dalam industri rokok.
Misalnya, dampaknya terhadap kesehatan yang ditimbulkan serta membengkaknya biaya pengobatan terhadap penyakit yang diakibatkan rokok jauh melebihi keuntungan yang didapatkan dari rokok itu sendiri. Demikian pula, angka usia harapan hidup turun mengakibatkan produktivitas masyarakat menurun yang berimplikasi pada penurunan tingkat ekonomi nasional.
Fachmi Idris dari IDI menyarankan agar segera diciptakan ‘manajemen transisi’ yang didukung seluruh lapisan masyarakat untuk mengonversi industri rokok menuju industri lain. Di sektor hulu, untuk petani tembakau, contohnya, perlu upaya diversifikasi tanaman tembakau ke tanaman lainnya, misalnya tanaman jarak untuk peningkatan produksi alternatif, seperti bioetanol, yang lebih menguntungkan. Di sektor hilir, untuk warung-warung rokok, diupayakan dibina lebih lanjut oleh retail-retail modern sehingga dapat menjual consumer good lainnya, seperti rokok. Wallahu A’lam.
Sabtu, 18 Desember 2010
Label:Renungan
0 komentar:
Posting Komentar