Pada kenyataannya, manusia selalu dihadapkan, menurut Muhammad Quthub, pada jaringan-jaringan yang saling berlawanan yang melekat di dalam dirinya. Misalnya dalam hal keinginan yang ada pada setiap manusia. Dalam satu sisi keinginan manusia itu tidak terbtas di sisi lain kenyataan bahwa kemampuan dirinya untuk merealisasikan keinginannya yang tidak terbatas itu serba terbatas.
Akibat adanya dikotomi di dalam diri setiap manusia tersebut banyak sekali keinginan-keinginan yang tidak dapat direalisasikan yang melahirkan kekecewaan dan kesedihan. Pada umumnya kekecewaan dan kesedihan disebabkan oleh ketidakmampuannya dalam merealisasikan keinginan. Atau dikarenakan sesuatu yang diinginkan tak hadir sedangkan yang hadir justru yang tidak diinginkannya.
Ketika keinginan-keinginannya itu dibiarkan dalam ketakterbatasannya dan kemudian menimbuni jagat dirinya hingga menggunung, peluang untuk terealisasi semua keinginannya semakin sedikit. Secara Sunnatullah, jika peluang terealisasi keinginannya semakin sedikit maka peluang kegagalannya akan semakin banyak. Sejalan dengan itu peluang untuk dilanda kesedihan, kekecewaam, dan bahkan penderitaan juga semakin besar.
Meski demikian, banyak orang yang justru memperluas dan menganekaragamkan keinginan sampai ke tingkat tidak realistis sehingga menyulitkaan dirinya. Sesungguhnya keinginan yang tak terbatas itu dapat dibatasi dengan keterbataasan dirinya. Di sinilah pentingnya kesadaran akan eksistensi dirinya yang serba terbatas dengan kelemahan eksistensial. Allah Swt telah mengingatkan, “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS, al-Nisa [4]: 28)
Seseorang yang mampu membatasi keinginannya dengan keterbatasan dirinya, ia akan selalu realistis dalam mencanangkan keinginannya dan tidak membiakkan keinginan di luar kemampuan merealisasikannya. Orang seperti itu akan lebih jarang mengalami kesedihan, kekecewaan, dan kesengsaraan yang disebabkan oleh ketidaktercapaian keinginannya.
Di bagian lain, ketika seseorang terus memperluas keinginannya dan membiarkannya tanpa batas, kemungkinan intervensi syaitan masuk untuk menggoda sangat terbuka. “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. al-Hajj [22]: 52).
Jika syaitan telah berhasil mengintervensi keinginan seseorang, maka keinginannya selain akan meluas tanpa batas tetapi juga akan berubah menjadi anga-angan. ”Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka meubahnya". Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. Syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, Padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.” (QS, al-Nisa [4]: 119-120). Sedangkan angan-angan akan lebih tidak terbatas lagi. Di sinilah pentingnya proporsionalitas dalam mencanangkan keinginan dengan mengukur kemampuan merealisasikannya agar tidak terkepung oleh angan-angan. Dengan cara itu keinginan dapat dibatasi secara positif.
Dalam sebuah hadits dijelaskan cara menghindari agar keinginan tidak semakin meluasnya tanpa batas dan agar syaitan tidak mudah mengintervensi dan menggodanya. Yaitu dengan cara mengosongkan pikiran dari kesangsian dunia dan tidak menjadikannya sebagai orientasi hidupnya. “Berusahalah sekuat tenaga mengosongkan pikiran dari kesangsian dunia. Siapa saja yang menjadikan urusan dunia sebagai tujuan utamanya, niscaya Allah Swt makin memperbanyak keperluan hidupnya yang menyebabkan ia lupa urusan akhiratnya dan niscaya Dia menjadikan kemiskinannya berada di hadapannya. Siapa saja yang menjadikan urusan akhirat merupakan tujuan utamanya niscaya Allah Swt menghimpunkan semua urusannya dan niscaya Dia menjadikan kalbunya merasa cukup terhadap apa yang telah diperolehnya. Tiada sekali-kali seorang hamba menghadap dengan sepenuh hatinya kepada Allah kecuali Dia menjadikan hati orang-orang mu`min cenderung untuk mencintai dan mengasihinya. Allah adalah yang paling cepat memberikan semua kebaikan kepadanya.” (HR, Thabrani). Wallau A’alm.
Kamis, 23 Desember 2010
Label:Renungan
0 komentar:
Posting Komentar