Islam sangat menganjurkan umatnya untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, memperbanyak amalan sholeh dan menahan diri dari perbuatan dosa. Seseorang tentu akan senang ketika mendapati dirinya banyak beramal kebaikan. Namun, satu hal yang pasti hendaklah menghindarkan dirinya dari rasa ujub (bangga diri) dan tertipu oleh banyaknya amal sholeh yang dikerjakan, yang pada akhirnya membuatnya tertipu, dan terlalu berharap kepada jaminan Allah, merasa memiliki hak lebih atas amal kebajikan yang dilakukannya. "Dan janganlah kamu memberi dengan maksud mendapat balasan yang lebih banyak." (Al Muddatstsir: 6)
Penyakit hati yang paling ditakutkan adalah penyakit ujub. Menyangka bahwa dosa kecil yang dilakukan tidaklah sebanding dengan amal kebajikannya yang berlimpah, sehingga membuat manusia tertipu. Dirinya menyangka bahwa dosa tersebut akan hanyut tak berbekas, tenggelam dalam lautan amal kebaikannya. Dia menyagka bahwa dosa kecil tersebut tidak berpengaruh dihadapan Allah. Seakan-akan ia melihat catatan amal kebaikan dibeberkan dihadapannya, lalu timbul ujub dalam hati dan mengira dirinya berhak masuk surga.
Abu Hurairah radhiallahu'anhu meriwayatkan sabda Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam: "Amal kebaikan seseorang tak akan memasukkannya ke dalam surga." Para sahabat bertanya,"Tidak juga Anda wahai Rasulullah?" Beliau menjawab,"Tidak pula diriku. Hanya saja, Allah selalu menaungiku dengan karunia rahmat-Nya." (Bukhori, Muslim)
Karena itu banyak ulama salaf yang telah memperingatkan bahaya dan konsekuensi bangga diri dalam beramal. Abdullah bin Mas'ud berpesan,"Keselamatan amal anda ada pada ketakwaan dan niat. Sedangkan kebinasaan amal anda ada pada putus asa dan ujub." Mithraf bin Abdullah berkata,"Sungguh saya lebih menyukai tidur di malam hari (tidak sholat malam) dan kemudian menyesal dari pada shalat di malam hari dan kemudian ujub di pagi harinya."
Salah satu penyebab munculnya ujub adalah karena merasa telah banyak melakukan amal shalih yang membuat ia melupakan atau menganggap kecil dosa-dosanya, sehingga dia merasa mendapat hak lebih di hadapan Allah atas apa yang telah ia lakukan.
Rasulullah memperingatkan manusia dari bahaya bangga diri, "Kalaulah bukan karena dosa, niscaya manusia akan binasa karena ujub." Sebuah penjelasan yang bagus oleh Salamah bin Dinar,"Seorang hamba melakukan satu amal kebaikan hingga membuatnya senang ketika mengerjakannya tanpa ia sadari bahwa tidak ada dosa yang diciptakan Allah lebih berbahaya daripada hal itu. Sedangkan hamba lainnya, suka melakukan dosa hingga mencelakakannya ketika dia melakukannya. Namun Allah tidak menciptakan kebaikan yang lebih bermanfaat untuknya daripada itu. (Hal ini bisa terjadi-red) Karena, hamba yang melakukan amal kebaikan menjadi lupa daratan, sombong dan beranggapan bahwa ia memiliki kelebihan dari orang lain. Bisa jadi, Allah subhanahu wa ta'ala menghapus kebaikannya dan menghapus amal-amalnya karena sikap tersebut. Sedangkan hamba yang ketika melakukan dosa ia merasa buruk ketika melakukannya. Dengan demikian, bisa jadi Allah menanamkan rasa takut dalam hatinya saat bertemu Allah. Dan rasa takut itu terus ada dalam hatinya."
Seorang muslim tentu merasa sangat rugi jika amal kebaikannya tidak bisa menolongnya dan justru berbalik menyengsarakannya dikarenakan sikap ujub dan sombong atas apa yang telah dilakukannya. Perlu kiat-kiat khusus mengatasi perasaan bangga diri, diantaranya:
a. Menyadari bahwa amal shalih yang dikerjakan terjadi semata-mata atas bimbingan Allah dan karunia-Nya. Allah berfirman, "Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah datangnya." (An Nahl:53)
b. Bersikap rendah hati dan menyadari bahwa banyak hamba Allah yang mendapat ganjaran yang jauh lebih banyak dari dirinya walaupun secara kasat mata mereka lebih sedikit amal kebajikannya. Hal ini bisa saja terjadi, misalkan seseorang yang tertimpa musibah kemudian bersabar atas apa yang telah menimpa dirinya tersebut. Maka dia akan mendapat pahala yang tidak disangka-sangkanya. Allah berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang sabar akan dibalas dengan ganjaran yang tidak disangka-sangka." (Az Zumar: 10)
c. Mengingat-ingat dahsyatnya peristiwa pada hari kiamat. Di saat ini seseorang akan mencemooh dirinya sendiri dan merasa sangat rendah karena pada hari pembalasan ini akan terungkap rahasia betapa dirinya belum beribadah kepada Allah sebagaimana mestinya. 'Utbah bin Abd meriwayatkan, Rasulullah bersabda, "Seandainya saja seseorang ditarik dengan wajah tertelungkup sejak hari ia dilahirkan hingga hari ia meninggal ketika usia senja dalam keadaan mencari ridha Allah, niscaya ia akan menganggap ringan dan remeh pada Hari Kiamat." (Ahmad, Ath Thabrani)
Seorang sahabat bernama Muhammad bin Abi Umairah berkata,"Seandainya seorang hamba ditarik dengan wajah tertelungkup ketika ia dilahirkan hingga menemui ajal ketika umur senja dalam keadaan beribadah kepada Allah niscaya pada hari tersebut dianggapnya ringan. Ia berharap seandainya ia bisa kembali ke dunia agar bisa menambah pahala dan ganjaran."
d. Tidak merasa cepat puas dan percaya terhadap banyaknya amal kebajikan yang dilakukan, karena tidak adanya jaminan bahwa amal itu diterima. Dan tidak merasa tenang terhadap dosa-dosa yang telah dilakukannya sekecil apapun, karena tidak adanya jaminan bahwa dosa itu telah terampuni.
Sikap selalu takut dan khawatir bahwa amal kebaikannya tidak diterima sangat membantu seseorang agar terbebas dari sikap ujub atas apa yang telah dilakukannya. 'Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah tentang tafsir ayat, yang artinya:
"Dan orang-orang yang memberikan apa yang mereka berikan, dengan hati yang takut karena mereka tahu bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka." (Al Mukminun:60)
Beliau bertanya, "Apakah mereka orang-orang yang meminum khamar dan pencuri?" Nabi menjawab, "Tidak, wahai 'Aisyah. Bahkan mereka adalah orang-orang yang berpuasa, shalat, dan bersedekah namun mereka takut amal kebaikannya tidak diterima. Mereka itu termasuk orang-orang yang bersegera melakukan kebaikan."
Para ulama berpendapat bahwa yang beliau maksud adalah orang yang beramal shalih dan sangat khawatir amalnya tidak diterima, karena takut tidak sempurna dalam mengerjakannya.
Berlomba memperbanyak amal sholeh, ikhlash, mengikuti sunnah Rasulullah dan selalu waspada dari ketertipuan dalam beramal adalah cita-cita seorang mukmin sebagai bekal menuju kehidupan setelah kematian. Sesuatu yang sama sekali tidak diinginkan jika pada Hari Perhitungan amal seseorang datang menghadap kepada Allah dengan membawa catatan amal yang tampak baik lalu dicampakkan begitu saja kemukanya, tak berguna sedikitpun karena tidak memenuhi persyaratan padahal ia mengira akan selamat.
Disadur dari Manajemen Umur, Resep Sunnah Menambah Pahala dan Usia, Muhammad bin Ibrahim An Nu'aim.
Selasa, 23 November 2010
Label:Renungan
0 komentar:
Posting Komentar