Makna doa yang diajarkan Rasulullah Saw, "Allahumma inni a’udzubika min al-hammi wa al-hazani" (“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari segala kecemasan dan kesedihan”), sesungguhnya sangat antisipatif. Substansi permohonannya sangat cocok buat kondisi kehidupan manusia yang sedang dikepung berbagai hal yang mencemaskan dirinya seperti sekarang ini. Sedangkan keecemasan, perasaan takut kepada apa yang akan terjadi, dan kesedihan dapat menyebabkan “tekanan jiwa” pada seseorang yang pada tingkat tertentu bisa melahirkan keputusasaan, ketidakpercayaan, serta penderitaan. Dalam waktu yang lama disertai dengan intensitas tinggi kecemasan dan kesedihan dapat mempengaruhi kesehatan organ-organ tubuh.
Secara dramatik, suasana cemas yang menakutkan digambarkan oleh al-Qur`an sebagai orang yang terlempar jauh di udara kemudian melayang-layang diterbangkan anging ke tempat yang sangat jauh. Hanya satu kemungkinannya, jatuh. Akan tetapi ia tidak tahu akan jatuh di mana dan akan bagaimana kepedihan di akhir kesudahannya. Dalam kondisi cemas seperti itu ia jadi rebutan burung pemangsa pula. “Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang sangat jauh.” (QS, al-Hajj [22]: 31).
Adalah sangat mungkin hilangnya fungsi indra penglihatan kedua mata Nabi Ya’qub, seperti dikisahkan dalam al-Qur`an, disebabkan oleh kesedihan dan kecemasan yang mendalam serta berkepanjangaan atas hilangnnya anak laki-laki yang dicintainya, Nabi Yusuf As. “Dan Ya`qub berpaling dari mereka (anak-ananya) seaya berkata, “Aduhai duka citaku terhadap Yusuf”, dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya ( terhadap anak-anaknya selain Yusuf ). (QS, Yusuf [12]: 84). Don Colbert menegaskan bahwa sejumlah keluhan fisik dan penyakit yang serius berhubungan dengan kecemasan, termasuk penyakit kardiovaskuler, tukak lambung, gangguan buang air besar, dan penyakit yang berhubungan dengan merosotnya fungsi kekebalan tubuh.
Bagi kaum muslimin doa diyakini sebagai “senjata” dan sekaligus “otaknya” ibadah. Bahkan dalam banyak doa yang diajarkan para Nabi juga mengandung aspek metodelogis buat keselamatan dan keberhasilan hidup manusia. Kekuatannya menyimpan energi kehidupan yang sangat berdaya dalam menyertai perjalanan hidup penuh rintangan yang mencemaskan seperti sekarang ini.
Pada kenyataannya, ketika kehidupan dihadapkan pada kenyataan yang tampak mencemaskan, orang-orang yang hanya berpikir di sini di dunia ini dan tidak meyakini kehidupan akhirat, akan lebih sering dihinggapi rasa cemas. Bagaimana tidak? Selain dicemaskan oleh prilaku alam yang, bagi mereka, sangat mencemaskan, mereka juga dicemaskan oleh prilaku manusia, yang menurut ukuran nilai kemanusiaan, telah mencemaskan pula.
Anehnya, mereka lebih mencemaskan prilaku alam, bahkan sampai ke tingkat menyalahkan dan tidak jarang sampai ke tingkat memakinya, daripada prilaku diri mereka sendiri yang telah nyata-nyata merusak tata alam semesta. Padahal faktanya, secara nilai, perilaku mereka nyata-nyata telah mencemaskan dan, secara amaliah, telah memproduk kecemasan di mana-mana dengan cara memperlakukan alam dengan semena-mena hingga terjadi kerusakan yang mencemaskan mereka di mana-mana. Al-Qur`an mengingatkan tentang kontribusi pemanfaatan alam yang tidak etik terhadap kerusakan lingkungan yang luas. “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”(QS, al-Rum [30]: 41)
Kenyataan dan ironi seperti itu adalah ciri otentik sebuah masyarakat modern dan telah banyak mempengaruhi kondisi psikologisnya. Tentu saja implikasinya cukup luas terhadap kehidupan individual dan sosial ummat manusia. Terutama terhadap kondisi spiritualnya. Banyak individu yang terserang penderitaan spiritual akibat digencet oleh kenyataan dan ironi tersebut. Salah satu bentuk penderitaan spiritual masyarakat adalah kecemasan dalam intensitas tinggi.
Seorang yang dikenal pakar psikologi eksistensial, Victor Frankl, menilai manusia modern lebih banyak terkena frustrasi dan kehampaan eksistensial. Frustrasi dalam pemenuhan keinginan kepada makna dan sekaligus merasa kehidupan dirinya tidak bermakna. Menurutnya, dua kecenderungan itu, belakangan ini, justru semakin meluas yang menyebabkan banyak individu yang dilanda keraguan atas makna kehidupan yang dijalaninya.
Salah satu sumber utama mewabahnya frustrasi dan kehampaan eksistensial yang mencemaskan itu, setidak-tidaknya menurut Victor, adalah hilangnya tradisi dan nilai-nilai. Ironisnya, ketika seseorang dilanda wabah frustrasi dan kehampaan eksistensial, ia mencari kompensasi-kompensasi dengan cara membenamkan diri dalam pekerjaan-pekerjaan yang sia-sia dan dalam waktu panjang justru merugikan diri sendiri seperti berjudi, mengonsumsi NAPZA, dan menenggelamkan diri ke dalam aktivitas seksual terlarang.
Ketika seseorang tenggelam dalam kompensasi-kompensasi negatif seperti itu bukannya kecemasan menjadi hilang atau setidak-tidaknya berkurang akan tetapi justru membiakkan kecemasan baru hingga menjadi berlapis-lapis. Bahkan tidak hanya dirinya, orang lain dan lingkungan sosialnya pun menjadi cemas pula.
Akibatnya kecemasan semakin menjadi-jadi, terutama dikarenakan implikasi turunannya yang hebat dan sangat mencemaskan. Yaitu hilangnya kepastian dan keteraturan dalam kehidupan. Sebab, kompensasi-kompensasi seperti itu, pada hakikatnya, adalah cermin otentik seseorang yang telah kehilangan norma, nilai, dan hukum yang diyakininya yang berujung pada hilangnya makna hidup. Bahkan hilangnya kemampuan mengenali dan memahami dirinya sebagai makhluk yang dimuliakan Allah Swt. Hilangnya kemampuan mengenali dan memahami diri, dalam al-Qur`an, sebagai akibat melupakan Allah Swt, “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS, al-Hasyr [59]: 19)
Ketika individu telah kehilangan semua itu maka yang muncul adalah ketidakpastian dan ketidakteraturan. Sedangkan ketidakpastian dan ketidakteraturan hidup tidak bisa tidak akan semakin meningkatkan kecemasan, kehampaan, dan frustrasi di tingkat individu dan masyarakat yang mengakibatkan wabah kecemasan semakin leluasa membiak. Sebab kondisi seperti itu langsung atau tidak langsung akan menghilangkan nilai-nilai kebajikan dan kesejahteraan bersama yang menyebabkan kehidupan digemuruhkan oleh persaingan antar individu yang eksploitatif. Sementara di tingkat individu akan kehilangana keutuhan pribadi, rasa keberhargaan, dan martabat kemanusiaan sebagai individu.
Senada dengan pengamatan Victor, ahli psikologi yang banyak menyoroti persoalan-persoalan masyarakat modern, Erich Fromm, melihat bahwa masyarakat modern semakin terisolasi dan mengalami kesepian karena dipisahkan oleh alam dan dari orang-orang lain. Ironinya, ketika mereka semakin bebas dalam menentukan apapun mengenai kehidupan, justru mereka semakin merasa kesepian.
Selanjutnya jika kecemasan telah mencapai puncaknya, bukan mustahil dapat mengobarkan fatalisme di dalam diri seseorang. Seorang fatalis yang telah dirasuki kecemasan tidak dapat mengarahkan perilakunya dan memandang rencana masa depan dirinya serba suram, bahkan sebagai kesia-siaan. Perilakunya seolah-olah hanya mengikuti daya-daya predeterministk yang bukan dari dirinya sendiri dan bukan untuk dirinya sendiri. Ia cenderung meruntuhkan martabat dirinya sendiri dan kehidupannya. Kehidupan dalam pandangan orang yang sedang dilanda kecemasan berat hanyalah seluas daun kelor.
Lebih ironi lagi, meskipun kehidupannya sudah terbungkus bayang-bayang kecemasan, namun manusia modern masih juga membikin-bikin kecemasan baru dengan cara mengintip-intip keadaan masa yang akan datang melalui berbagai kajian, analisis, dan ramalan tentang masa depan yang mencemaskan. Misalnya, menurut hasil ramalan yang dikukuhkan secar akademik, konon katanya, nanti pada tahun 2050 pertumbuhan penduduk Indonesia, jika tidak ada langkah konkret pembatasan angka kelahiran, akan sampai pada titik kelipatan dua. Jadi pada tahun itu diperkirakan penduduk Indonesia mencapai sekitar 460 juta jiwa, dan mulai tahun 2015-2020 akan terjadi peledakan penduduk usia produktif. Akibatnya, para pakar kependudukan dan ketebagakerjaan jadi cemas.
Padahal perkiraan itu bisa terjadi dan bisa juga tidak, entah ditemui atau tidak, dan apakah akan menjadi kenyataan atau tidak. Musykilnya, para pakar sudah cemas duluan. Bahkan dengan sangat piawai mereka terus meyakinkan para penentu kebijakan dan kalangan awam dengan sejumlah argumentasi agar bersama-sama menjadi cemas. Akibatnya opini orang awam menjadi mudah termobilisasi yang menjadikan kecemasan dengan sangat mudahnya mewabah ke mana-mana hingga menjadi kecemasan kolektif.
Sesungguhnya kalau direnung-renung secara tenang, timbul satu pertanyaan, mengapa banyak pakar mencemaskan terjadinya peledakan penduduk usia produktif dan tidak cemas jika yang terjadi peledakan itu penduduk usia tidak produktif (tua renta)? Sebab, jika di suatu negeri atau bangsa terjadi peledakan penduduk usia produktif, maka masih terbuka berbagai kemungkinan atas negeri atau bangsa itu. Bisa terjadi kesialan yang mencemaskan atau malah bisa semakin hebat produktifitasnya sehingga negeri atau bangsa itu menjadi semakin maju dan makmur. Lain halnya jika dalam suatu negeri atau bangsa terjadi peledakan penduduk usia tidak produktif. Kemungkinannya hanya satu, menunggu kepunahan sambil menimbun kecemasan. Logisnya, yang terakhir inilah yang pantas untuk dicemaskan
Meski begitu, karena hasil intipan tentang masa depan itu sudah terlanjur menjadi kecemasan baru, maka tak mustahil akan semakin memperparah dan memperluas wabah kecemasan hingga terwariskan pada generasi berikutnya. Akibatnya, generasi yang akan datang pun terancam kecemasan yang menyebabkan hidup seakan-akan tidak ada hari esok. Agar terhindar dari kecemasan-kecemasan seperti itu, al-Qur`an memberikan formulanya dengan sangat jelas, yaitu iman dan istiqamah. Ketika dua hal fundamental ini hilang dari diri kita, berarti sang diri akan menjadi lahan subur bagi pembiakkan kecemasan. “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu". (QS, Fushshilat [41]: 30). Wallahu A’lam.
Senin, 29 November 2010
Label:Renungan
0 komentar:
Posting Komentar