Bermula dari kecintaan kepada diri sendiri. Pada tingkat tertentu kecintaan kepada diri sendiri bersifat alamiah, sesuai dengan fitrah manusia, dan tidak menjadi problem bagi perkembangan keperibadian bahkan dipandang sebagai salah satu ciri manausia normal. Hal itu setidak-tidaknya dapat ditangkap dari makna hadits, “Seorang dari kalaian tidak dilandang telah beriman hingga ia menyintai saudaranya sama seperti menyintai dirinya sendiri.” (HR, al-Tirmidzi).
Menjaga proporsionalitas dan kewajaran dalam kecintaan kepada diri sendiri adalah kewajiban moral setiap individu agar tidak terjerembab ke dalam ketidakadilan terhadap orang lain. Dalam Islam sangat ditekankan agar ummatnya selalu menegakkan keadilan walaupun kepada dirinya sendiri. Sebab jika individu tidak dapat bersikap wajar dan proporsional dalam hal kecintaan kepada diri sendiri maka tidak mustahil akan mengobarkan kebanggan kepada diri sendiri dan cenderung mengembangkan sikap mementingkan kepada kecintaan hanya pada dirinya sendiri dan hanya memenuhi keperluan diri sendiri. Kekentalan sikap itulah yang kemudian orang cenderung menjadi individualistik.
Ketika di dalam diri seseorang bertahta rasa bangga diri sehubungan dengan keberhasilan yang diperolehnya, ketika itulah sejatinya individualisme sedang berproses di dalam dirinya. Pada umumnya proses itu berlanjut karena didukung oleh sikap respek lingkungannya sehubungan dengan keberhasilannya itu. Masyarakat lingkungannya merasa memerlukan dirinya sedangkan dia tidak merasa memerlukan mereka.
Perasaan itu terus mengkristal hingga kemudian membentuk sang diri menjadi manusia individualis dengan segala kesombongan dan keangkuhannya. “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. Dan apabila dikatakan kepadanya: "Bertakwalah kepada Allah", bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka jahannam. dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya.” (QS, al-Baqarah [2]: 204-206).
Kesombongan dirinya terus mengkristal hingga dirinya merasa hebat dan berkecukupan, tidak memerlukan orang lain. Akibatnya ia tidak mampu melepaskan dirinya dari terkaman ujub. Orang yang dirinya merasa cukup dan tidak memerlukan selain dirinya, seperti disinggung di atas, sangat berpotensi luar biasa untuk menjadi individualis dan tiranik. Allah berfirman, “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas (tiranik), karena dia melihat dirinya merasa serba cukup.” (QS, al-‘Alaq [96]: 6-7)
Oleh: Ust Abu Ridho
Selasa, 30 November 2010
Label:Renungan
0 komentar:
Posting Komentar