Berbeda dengan NU, NW adalah ormas yang lebih kecil sekecil lokasi berdirinya. Namun meski pulau Lombok terlihat kecil, gunungnya amatlah tinggi. Pendiri NW sendiri tak ragu-ragu menyatakan, gunung rinjani adalah gunung tertinggi sepermukaan bumi!. Apapun mitosnya, NW adalah ormas yang berperan sangat besar terhadap Islamisasi pulau Lombok dan NTB umumnya. Bagi penulis, kehadiran Tuan Guru Muhammad Zainuddin Abdul Majid dan NW-nya patut disykuri dan dibanggakan. Bukan hanya itu, NW harus diuniversalkan sebagaimana yang Syeikh Zainuddin sendiri cita-citakan.
Memang, universalisasi sebuah organisasi tidak dapat dijangkau dalam waktu yang singkat. Kita harus meninjau lebih dahulu berbagai aspek yang meliputi urgensitas ormas tersebut. Mengapa NW harus mendunia? Pertanyaan inilah yang penulis coba jawab dalam catatan sederhana ini, dan secara cukup spesial penulis persembahkan kepada seluruh warga dan pemuka Nahdlatul Wathan yang ada di setiap penjuru bumi.
Pertama, kemampuan NW dalam mengislamkan Lombok kerapkali diabaikan latar belakangnya oleh masyarakat Lombok itu sendiri. Bagi penulis, perjuangan NW menjadi 100% sukses sebetulnya disebabkan oleh metodologi Syeikh Zainuddin dalam menjalankan dakwahnya, tepatnya adalah metode sufi yang plural, damai dan ampuh, mirip dengan metode walisongo dan pendiri NU di pulau Jawa. Terbukti dari teologi dan mazhab fikih yang ia anut, maupun tarekat sufi yang digagasnya. Dari sini kita harus belajar bagaimana berupaya semaksimal mungkin untuk selalu memprioritaskan kereta sufi saat melintasi rel dakwah kita. Itu pertama.
Selanjutnya, tradisi sufi semacam hiziban, wiridan, shalawatan dan ziarah maqam yang begitu indah dijalankan warga NW ternyata memiliki kekuatan tersendiri yang mampu menuntun secara halus kepada sebuah modifikasi positif yang dahsyat dan ketentraman nurani yang kian menciptakan kenyamanan abadi bagi segenap penduduk Lombok. Bahkan penulis berani berkeyakinan, pulau Lombok yang barangkali sensitif dan rawan bencana alam, senantiasa terselamatkan oleh tradisi tersebut. Artinya, tradisi mulia itu wajib kita lestarikan!.
Ormas NW sebagai organisasi sosial, pendidikan dan dakwah tidak jauh dari ramuan-ramuan khas yang disajikan leluhur-leluhur sufi terdahulu. Bukan hanya metode dakwahnya saja, akan tetapi juga dalam menerapkan pendidikan formal maupun non-formal. Etika murid terhadap guru misalnya, atau membaca shalawat sebelum mulai belajar di sekolah, dan masih banyak lagi contoh lainnya. Demikian halnya dalam kehidupan bermasyarakat, sudah tidak diragukan lagi bagaimana Syeikh Zainuddin menjadikan disiplin tasawuf sebagai acuan terpenting demi sebuah stabilitas sosial. Semua ini perlu kita kontemplasikan lebih dahulu sebelum berbicara tentang universalisasi Nahdlatul Wathan!.
Mengenal identitas diri sendiri jauh lebih penting sebelum memperkenalkannya ke orang lain. Meskipun saat ini NW sudah dikenal namanya di mana-mana, hanya saja pengenalan itu belum mampu menyaingi momen-momen indah semasa Syeikh Zainuddin masih bernafas di dunia. Artinya, NW jangan sampai kehilangan identitasnya, begitu juga pemimpin NW masa kini, jangan sampai menggunakan metode lain dengan alasan tasawuf sudah tidak relevan lagi. Lebih riskan lagi apabila sang pemimpin itu ternyata buta tasawuf dan tarekat!.
Satu hal yang tak kalah ironisnya, ketika golongan-golongan anti sufi merasuki NW, kita tidak bertindak tegas, khususnya terhadap mereka yang mereferensikan Ibnu Taimiah dan Ibn al-Qayyim dalam berdakwah, ataupun bersandar pada IM dan HT saat berpolitik dan berteokrasi. Padahal dalam hizib NW, Syeikh Zainuddin begitu tegas menganjurkan kita untuk membaca kitab-kitab penolak wahabi dan pembela sufi. Mengapa ketika sebuah tarekat sufi tertentu hadir di tengah-tengah NW, kita justru mudah menyorot dan memproblemkannya?! Ini merupakan diskriminasi berlebihan, dan setinggi apapun nilai toleransi yang kita junjung, kasus semacam ini perlu kita pelajari kembali agar otentitas NW tidak segera menjumpai ajalnya!.
Perkara lain yang juga mengkontaminasi ketulenan NW dan menghambat kejayaannya adalah, upaya-upaya liberalisasi pemikiran nahdliyin yang acapkali disalahfungsikan. Bagi penulis, warga NW memang harus berpikiran terbuka, modern dan plural, jangan terlalu primitif, puritan, beku dan klasik serta takut kepada pembaharuan. Hanya saja, tatkala liberalisasi itu melalui jalur yang uncontrolled, justru akan memusnahkan nilai-nilai ke-NW-an yang telah diperjuangakan Syeikh Zainuddin selama puluhan tahun. Bahkan nilai-nilai ke-Islam-an pun menjadi sirna dan pudar!.
Penulis cukup berambisi dalam melakukan sebuah purifikasi positif terhadap NW. Itu lebih prioritas dan urgen sebelum memajukan dan men-dunia-kannya. Pada tahun 2003, penulis didampingi sejumlah kawan mendirikan sebuah organisasi perwakilan NW di Mesir. Misinya tidak jauh dari purifikasi tersebut, sekaligus melakukan kajian-kajian ke-NW-an agar dapat mencetak pejuang-pejuang NW yang handal di masa mendatang. Alhamdulillah penulis terpilih sebagai ketua pertama perwakilan tersebut. Pada tahun 2006, dalam acara ulang tahun NW yang ke-71 di Mesir, penulis selaku penceramah menghimbau agar NW jangan merangkak lagi, tapi bisa berjalan dan berlari, bila perlu menggunakan kendaraan terlaju dan jangan sampai mogok. Dan yang lebih penting dari itu, NW berjalan ke depan, bukan ke belakang!.
Penulis menambahkan bahwa kata Nahdlatul Wathan berarti kebangkitan bangsa. Sedikit tidak, misi utama pendiri NW adalah membangkitkan Indonesia dari segala sisinya. Nah, membangkitkan sebuah negara haruslah dimulai dari pembangkitan diri sendiri, dan itulah visi tasawuf yang diajarkan Syeikh Zainuddin, dimana tasawuf sebetulnya tidak menuhankan individualisme dan eksklusifisme, akan tetapi merubah dunia dan memperbaikinya dengan sebuah start berupa perbaikan diri sendiri dan pengukuhan spirit hamba dengan Yang Maha Esa.
Di waktu yang sama, penulis menyatakan kekhawatiran penulis apabila keterbelakangan provinsi NTB disebabkan kekakuan NW dalam menghadapi perkembangan zaman yang kini serba modern dan plural. Paling tidak kita harus toleran dan siap menerima perbedaan untuk menghindari perpecahan ataupun keterbelakangan dan agar NW ini tidak mati sendiri oleh seleksi alam. Itu pula visi tasawuf yang sejak dulu meneladankan toleransi dan kedamaian menuju sebuah kemajuan dan kejayaan.
Sekali lagi, sejarah sudah membuktikan bahwa tasawuf lah kunci kejayaan NW. Tasawuf adalah kunci kebangkitan bangsa (Nahdlatul Wathan). Dari itu, pertanyaan "mengapa NW harus mendunia" di atas dapat terjawab dengan "karena NW adalah organisasi sufi", dimana sufisme NW (atau sufisme Islam secara umum) memang harus diuniversalkan demi sebuah kejayaan yang esensial, dan demi kemerdekaan umat dari jajahan-jajahan wahabi serta antek-anteknya!. Kalau tidak, maka NW dapat saja besar namun jauh dari otentitasnya bak NW di masa Syeikh Zainuddin. Atau, NW menjadi organisasi antik yang nyaris dimuseumkan!.
Salah satu contoh (untuk direnungkan) adalah sewaktu penulis pulang ke Tanah Air November 2008 yang lalu, pertanyaan yang tak jarang dilontarkan ke penulis ialah seputar membalikkan tangan (mengarahkan telapak tangan ke bawah) sewaktu qunut. Saat itu penulis hanya menjawab tidak ada nash yang tegas melarang hal tersebut. Kemudian membalikkan tangan merupakan sebuah ekspresi penolakan, sehingga cukup fithri apabila seseorang membalikkan tangannya di saat menolak suatu bala'. Dan Islam adalah agama fithrah.
Akan tetapi setelah kakak penulis pulang pada bulan Mei 2009, ternyata pertanyaan itu masih terus berkumandang. Aneh, padahal masalah itu sudah kuno dan basi. Artinya, telah dituntaskan para ulama dan fuqaha terdahulu. Membalikkan tangan saat berdoa menolak bala' pun dilakukan mayoritas umat Islam di seluruh dunia dan di setiap masa, sejak dahulu kala sampai detik ini juga. Penulis yakin para penanya itu sebetulnya telah terkontaminasi oleh doktrin-doktrin wahabi yang secara halus merasuki keyakinan kaum nahdliyin di Lombok, baik melalui sebuah parpol ataupun gerakan semi jihad!.
Dalam Shahih Muslim telah diriwayatkan dari Saidina Tsabit dari Saidina Anas bahwa Rasulullah Saw. sewaktu berdoa saat istisqa', beliau menghadapkan punggung tangan beliau ke arah langit. Berdasakan riwayat tersebut, Imam Nawawi dalam syarah beliau menyatakan bahwa para ulama telah memfatwakan sunnah membalikkan tangan dalam setiap kali berdoa menolak bala' (tidak hanya dalam istisqa' saja). Sedangkan ketika memohon sesuatu untuk diraihnya, maka tangan dikembalikan seperti semula.
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani pun mengutip pernyataan Imam Nawawi di atas dalam kitab "Fathul Bari". Dalam Sunan Abi Daud pun disebutkan pernyataan yang sama, yakni saat istisqa' Rasulullah Saw. menghadapkan telapak tangan beliau ke arah tanah (ke bawah) hingga nampak jelas ketiak suci beliau Saw.
Selanjutnya, dalam kitab tafsir "Fathul Qadir", Imam al-Syaukani menafsirkan ayat 90 surat al-Anbiya' yang berbunyi "Yad'unana raghaban wa rahaban" dengan penafsiran bahwa "raghaban" maksudnya berdoa dengan menjadikan telapak tangan di atas, sementara "rahaban" dibalikkan ke bawah. Senada diterangkan Imam al-Shan'ani dalam kitab "Subul al-Salam" dan Imam Ali bin Abi Bakr al-Haitsami dalam kitab "Majma' al-Zawa'id" maupun imam-imam lainnya. Demikian analisa ulama terpercaya seputar membalikkan tangan saat berdoa menolak bala'. Selain bala', semoga Tuhan pun menyelamatkan kita dan NW dari penyakit fatal bernama ghaba' (kebodohan), Amien!.
Misal lainnya ketika penghormatan dan pemuliaan warga NW kepada para ulama setempat dipandang menjerumus kepada pengkultusan dan fanatisme buta. Demikian pula ketika Jamaah Wirid Khusus (Tarekat Hizib) NW dan parade kesaktiannya terus dipermasalahkan oleh komunitas -sok- terpelajar dengan beraneka dalih mereka. Tak ketinggalan tradisi hiziban, perayaan maulid, pembacaan barzanji, tabarruk, tawassul, dzikir berjamaah, dll. semakin meminim, dijauhi bahkan dipertentangkan warga NW itu sendiri. Semua itu tiada lain disebabkan oleh kebutaan yang semakin parah terhadap nilai-nilai sufisme Islam dan moderatismenya!.
Dalam hal ini, penulis sangat berterima kasih kepada kakanda, TGH. Sholah Sukarnawadi, Lc. atas buku berseri yang kini hangat diluncurkannya di tengah-tengah NW dengan sebuah judul unik yaitu "NW: No Wahabi". Buku berseri ini meski tampak sederhana dan hanya untuk kalangan sendiri, namun ia sangat mampu menggandeng sekaligus menuntun warga NW menuju alam yang lebih terang benderang, dengan sebuah revolusi spiritual dan pencerahan intelektual yang belum pernah ditempuh para pemuka NW di Lombok!.
Sekali lagi, inti dan titik terberat catatan ini ialah pelestarian tradisi NW yang berbasis sufi demi sebuah kejayaan yang lebih gemilang di masa mendatang. Karena sungguh, "tasawuf memiliki peranan mulia yang luara biasa besar dalam menyebarkan agama Islam serta menyampaikannya ke banyak suku dan bangsa yang masih buta agama. Orang-orang tasawuf lah yang telah berhasil mendekatkan hati kepada Islam melalui keseharian dan perilaku yang mulia serta kehidupan yang betul-betul mencerminkan Islam secara esensial dalam kemudahan dan keindahannya". Demikian ungkap Prof. Dr. Muhammad Rasyad Abdul Aziz Dahmesh, mantan Dekan Fakultas Studi Islam dan Bahasa Arab di Universitas al-Azhar Mesir.
Selanjutnya penulis lahirkan seusai membaca buku "Ilusi Negara Islam" karya KH. Abdurrahman Wahid (mantan Presiden RI), Prof. Dr. Ahmad Syafi'i Ma'arif (Penasehat PP Muhammadiyah) dan KH. A. Mustofa Bisri (Rais Syuriah PBNU). Buku tebal itu secara realistis mempertahankan otentitas NU dan Muhammadiyah dalam mewujudkan visi dan misinya membela Pancasila dan UUD '45 sebagai dasar negara Indonesia. NU dan Muhammadiyah sebagai dua sayap besar umat Islam di Tanah Air senantiasa optimis bahwa Pancasila dan UUD '45 sudah tepat menghakimi warga Indonesia meskipun mayoritasnya beragama Islam. Sebab, Islam yang dikembangkan NU dan Muhammadiyah adalah Islam yang moderat dan toleran, laiknya Islam yang dibawa walisongo ke bumi Nusantara. Moderatisme dan toleransi itulah yang sejak dulu dijunjung tinggi oleh Pancasila dan UUD '45.
Hemat penulis, NW pun demikian. Islamnya NW adalah moderat dan toleran. Tidak seperti Islamnya golongan lain yang ekstrim dan diskriminatif meski menjanjikan kesejahteraan. Janji palsu itu terbukti melalui pembongkaran faktual buku "Ilusi Negara Islam". Yang menarik perhatian dalam buku tersebut ialah dilampirkannya surat keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk membersihkan Muhammadiyah dari PKS yang telah dicap sebagai partai politik yang tak sehaluan dengan khittah Muhammadiyah. SK tersebut Ditandatangani oleh Ketua Umum Muhammadiyah sendiri, Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA.
Selain SKPP Muhammadiyah, dilampirkan pula keputusan Majelis Bahtsul Masa'il NU tentang khilafah dan formalisasi syariah. Keputusan berharga itu mengadopsi banyak kitab terpercaya tentang tidak bolehnya merubah bentuk dan dasar hukum negara dengan bentuk lain apabila menimbulkan kerugian yang lebih fatal atau melalui jalur yang inkonstitusional. Berikut dilampirkan dokumen penolakan PBNU terhadap ideologi dan gerakan ekstremis transnasional yang mengkampanyekan Khilafah Islamiyah.
Sejak dulu, NU menganut keyakinan bahwa syariat Islam dapat diimplementasikan tanpa harus melalui institusi formal. NU lebih mengidealkan substansi nilai-nilai syariah terimplementasi di dalam masyarakat ketimbang mengidealisasikan institusi. Bahkan KH. Sahal Mahfuz selaku Rektor Institut Islam NU menegaskan bahwa NKRI dengan dasar Pancasila sudah merupakan bentuk final bagi bangsa Indonesia.
Tak ketinggalan Ketua Umum PBNU, KH. Hasyim Muzadi meminta warga nahdliyin dan umat Islam pada umumnya untuk waspada atas munculnya wacana Khilafah Islamiyah yang kerap dihembuskan oleh kelompok-kelompok Islam radikal yang sebetulnya hanya merupakan gerakan-gerakan politik dan bukan gerakan keagamaan. Seperti jualah Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Al-Qaeda, Mujahidin, dan lain-lain yang sama sekali tidak relevan dengan kondisi dan kultur Indonesia, bahkan di Arab dan Timur Tengah pun tak pernah diindahkan.
Itulah kebijakan serta ketegasan NU dan Muhammadiyah sebagai dua organisasi Islam Ahlussunnah wal Jamaah terbesar di Indonesia (bahkan di dunia). Nah, setiap warga NW tahu bahwa TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid pun menjadikan Pancasila sebagai asas NW-nya. Bahkan dalam magnum opusnya yang berjudul "Wasiat Renungan Masa" seringkali berpesan kepada murid-muridnya agar setia menjunjung tinggi Pancasila dan UUD '45. Dalam poin ini, NW tidak berbeda dengan NU dan Muhammadiyah. So, jika saat ini dan kedepan, NW ingin tampil beda dan membiarkan dirinya terbius oleh virus-virus politis teokratis bertitel Islam, maka yakinlah, NU dan Muhammadiyah tetap lebih besar dan semakin besar, sedang NW semakin antik dan segera dimuseumkan!.
Sumber : Abdul Aziz Sukarnawadi, Lc.
Sabtu, 29 Mei 2010
0 komentar:
Posting Komentar