Muqaddimah ad Dustur (UUD Negara Khilafah) Pasal 1 : Akidah Islam adalah Dasar Negara


Akidah Islam adalah dasar negara. Segala sesuatu yang menyangkut institusi negara, perangkat negara dan pengawasan atas tindakan negara harus dibangun berdasarkan akidah Islam. Aqidah Islam menjadi asas undang-undang dasar dan perundang-undangan syar’i. Segala sesuatu yang berkaitan dengan undang-undang dasar dan perundang-undangan harus terpancar dari akidah Islam.” (Muqaddimah ad-Dustûr pasal 1 , hlm. 5).

Pengantar

Dalam negara versi penjajah, yaitu negara demokrasi, agama dipisahkan dari negara. Maka dari itu, agama hanya berperan sebagai keyakinan pribadi, tidak menjadi pengatur kehidupan publik dalam berbagai bidang kehidupan.

Islam tidak mengakui sekularisme. Agama dalam negara Khilafah tak hanya menjadi dasar keyakinan dan amal perbuatan individu Muslim, tetapi juga menjadi landasan pengaturan kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Telaah ini akan mengkaji kitab Muqaddimah ad-Dustûr (2009) karya Imam Taqiyuddin an-Nabhani, yang menjelaskan 2 (dua) peran agama—khususnya akidah Islam—dalam Negara Khilafah, yaitu sebagai dasar negara dan sumber dari segala undang-undang.

Dua peran penting akidah Islam ini termaktub dalam Rancangan UUD Negara Khilafah (Masyrû’ Dustûr) pasal 1 yang berbunyi: Akidah Islam adalah dasar negara. Segala sesuatu yang menyangkut institusi negara, perangkat negara dan pengawasan atas tindakan negara harus dibangun berdasarkan akidah Islam. Aqidah Islam menjadi asas undang-undang dasar dan perundang-undangan syar’i. Segala sesuatu yang berkaitan dengan undang-undang dasar dan perundang-undangan harus terpancar dari akidah Islam.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 5).

Akidah Islam: Dasar Negara

Akidah Islam adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir serta Qadha dan Qadar baik buruknya dari Allah SWT (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah, I/29). Akidah Islam ini berpangkal pada dua kalimah syahadat, yaitu kesaksian Lâ ilâha illâ Allâh Muhammad Rasûlullâh.

Adapun pengertian negara (dawlah) adalah institusi pelaksana bagi sekumpulan konsep (mafâhîm), kriteria (maqâyis) dan keyakinan (qanâ’ât) yang telah diterima oleh sekelompok manusia. (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 6).

Maka dari itu, jika dikatakan akidah Islam adalah dasar negara Khilafah, artinya segala pengaturan kehidupan bernegara dan bermasyarakat tidak boleh lepas dari al-Quran dan as-Sunnah. Tidak boleh ada satu pun konsep (mafâhîm), kriteria (maqâyis) ataupun keyakinan (qanâ’ât) yang tidak bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah. Jadi segala hal yang menyangkut institusi negara (kiyân ad-dawlah), perangkat negara (jihâz ad-dawlah) dan pengawasan terhadap negara (muhâsabah ad-dawlah) tidak boleh didasarkan pada konsep (mafâhîm), kriteria (maqâyis) ataupun keyakinan (qanâ’ât) yang tidak bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah. Contoh: Institusi negara Khilafah tidak boleh didasarkan pada konsep (mafâhîm) demokrasi. Sebab, demokrasi tidak lahir dari al-Quran dan as-Sunnah. Jadi, tidak boleh menyebut bentuk negara Khilafah sebagai republik atau republik Islam. Sebab, bentuk republik didasarkan pada konsep demokrasi yang amat bertentangan dengan Islam. Pertentangannya bukan karena demokrasi menetapkan kekuasaan sebagai hak rakyat, melainkan karena demokrasi memberikan hak menetapkan hukum kepada manusia. Ini bertentangan dengan akidah Islam yang menegaskan hanya Allah saja yang berhak menetapkan hukum (QS al-An’am [6]: 57).

Contoh lain: Institusi negara Khilafah tidak boleh berupa negara-bangsa (nation state). Sebab, negara-bangsa didasarkan pada konsep nasionalisme (qawmiyah) yang tidak bersumber dari dari al-Quran dan as-Sunnah. Negara-bangsa memandang bahwa unit identitas yang menjadi basis legitimasi berdirinya negara adalah identitas sebagai “bangsa”. Maka dari itu, negara-bangsa tidak mendapat legitimasi kalau didirikan oleh orang-orang yang multibangsa atau transnasional. Ini berbeda dengan negara Khilafah yang basis legitimasinya adalah “umat”, bukan “bangsa”. Karena itu, negara Khilafah dapat eksis dan mendapat legitimasi meski didirikan oleh orang-orang multi-bangsa, selama mereka adalah “umat” yang satu yang diikat oleh akidah Islam yang satu.

Pertanyaannya, mengapa dasar negara Khilafah harus akidah Islam? Imam Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan 3 (tiga) dalil untuk itu. Pertama: karena Rasulullah saw. mendirikan Daulah Islamiyah di Madinah (pasca hijrah tahun 622 M) berdasarkan akidah Islam. Rasulullah saw. menegakkan Daulah Islamiyah berdasarkan sesuatu yang mendasar, yakni kalimah syahadat Lâ ilâha illâ Allâh Muhammad Rasûlullâh. Syahadat inilah yang mendasari kehidupan umat Islam saat itu, baik menyangkut kekuasaan, penyelesaian sengketa dan tindak penzaliman, maupun pengaturan berbagai interaksi kehidupan. Ringkasnya, syahadat adalah dasar negara.

Kedua: karena Rasulullah saw. telah mensyariatkan dan mewajibkan jihad untuk menyebarkan kalimat syahadat itu kepada seluruh umat manusia. Ini menunjukkan betapa pentingnya posisi akidah Islam sebagai pondasi atau asas kehidupan bermasyarakat. Rasulullah saw. bersabda, “Aku telah diperintahkan untuk memerangi umat manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah…” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Ketiga: karena Rasulullah saw. telah memerintahkan perang (qitâl) demi menjaga posisi akidah Islam agar tetap menjadi dasar negara. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit ra., Rasulullah saw. telah mewajibkan umat Islam menaati Imam/Khalifah serta melarang mereka memerangi Imam/Khalifah, kecuali, “kalau kalian melihat kekufuran yang nyata.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Atas dasar ketiga dalil inilah, ditetapkan bahwa akidah Islam adalah dasar negara (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 8).

Akidah Islam: Sumber Hukum

Akidah Islam adalah sumber segala bentuk perundang-undangan dalam negara Khilafah. Undang-Undang Dasar (dustûr, constitution) ataupun berbagai macam undang-undang (qânûn, act/law) harus bersumber dari akidah Islam. Maksudnya, harus bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah dan sumber-sumber hukum lain yang ditunjukkan oleh al-Quran dan as-Sunnah, yaitu Ijmak Sahabat dan Qiyas. (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 8).

Mengapa segala undang-undang wajib bersumber dari akidah Islam? Imam Taqiyuddin menerangkan banyak dalil. Dua dalil terpenting adalah: Pertama, karena ada dalil yang mewajibkan umat Islam untuk berhukum pada hukum yang diturunkan Allah (QS an-Nisa’ [4]: 65; QS al-Maidah [5]: 48). Kedua, karena ada dalil yang melarang tegas berhukum dengan selain hukum Allah (QS al-Maidah [5]: 44).

Imam an-Nabhani menerangkan tafsir ayat tersebut; apabila seorang Muslim menerapkan selain hukum Allah, ia menjadi kafir (murtad) jika ia ber-i’tiqâd (berkeyakinan secara pasti) akan benarnya hukum itu dan ber-i’tiqâd pula bahwa hukum Islam tidak layak diterapkan. Jika Muslim tersebut tidak ber-i’tiqad seperti itu, ia tidak murtad, tetapi tetap berdosa. (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 8).

Keunggulan Pasal Ini

Pasal yang diterangkan maknanya di atas akan tampak keunggulannya jika kita bandingkan dengan berbagai UUD lain yang membicarakan tema sejenis, yakni dasar negara atau sumber undang-undang. Selain kedetilan dan ketelitian redaksionalnya, kejelasan dalil-dalil yang mendasarinya juga membuat kita mengerti dengan baik bagaimana mengaplikasikan pasal ini dalam kenyataan nanti.

Pasal semacam ini sebenarnya ada juga dalam berbagai UUD di berbagai negara Dunia Islam. Pada pasal 12 UUD Iran, misalnya, ditetapkan, “Agama resmi negara Iran adalah Islam….” (The official religion of Iran is Islam…). Pasal semacam ini ada juga dalam UUD di Mesir, Irak, Yordania dan sebagainya. Semestinya, pasal ini diaplikasikan dengan menjadikan Islam sebagai dasar negara, yakni dengan menerapkan Islam dalam segala aspek kehidupan tanpa kecuali.

Namun faktanya, pasal tersebut tidak begitu bermakna dalam kehidupan nyata. Dalam praktiknya, pasal ini hanya diterapkan dalam bentuk penetapan hari Jumat sebagai hari libur, pengumuman Idul Fitri dan Idul Adha, pengelolaan ibadah haji dan semisalnya. Islam tidak diterapkan secara konsisten dalam sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pendidikan, politik luar negeri dan sebagainya. Iran sendiri, sebagai contoh, tidak menjadikan Islam sebagai dasar sistem pemerintahan. Iran masih mengadopsi bentuk pemerintahan versi penjajah, yaitu republik. Dalam pasal 1 UUD disebutkan, “Bentuk pemerintahan Iran adalah republik Islam.” (The form of government of Iran is that of an Islamic Republic). Jadi, negara Iran itu agama resminya Islam, tetapi bentuk pemerintahannya adalah versi penjajah.

Contoh lain, Kerajaan Arab Saudi. Mungkin orang mengira Arab Saudi adalah negara tauhid, negara salafus salih, yang menjalankan syariah Islam dengan baik. Semua klaim ini dibantah habis oleh Syaikh Abu Muhammad al-Maqdisi dalam kitabnya, Al-Kawâsyif al-Jâliyyah fî Kufr Dawlah as-Su’ûdiyah (2005).

Dalam kitab ini, beliau menunjukkan banyak undang-undang Arab Saudi yang merupakan hukum thâghût. Menurut Syaikh al-Maqdisi, penguasa Saudi telah membuat hukum atau berhukum dengan selain syariah Islam baik dalam ruang lingkup lokal, atau di kawasan Teluk (Dewan Kerjasama Teluk), atau di kawasan Arab (Liga Arab), atau lingkup internasional (PBB dan berbagai lembaganya) (hlm. 193). Arab Saudi juga melegitimasi bunga bank (riba) ketika ia berinteraksi dengan perusahaan-perusahaan minyak kawasan Arab atau Bank Dunia (IBRD) (hlm. 220). Jadi, Arab Saudi merupakan negara yang mengaku berasaskan tauhid, tetapi sebenarnya memberlakukan hukum-hukum thâghût dan jahiliah yang jauh dari tauhid.

Inilah contoh bentuk kegagalan pengaturan negara akibat tidak adanya kejelasan bagaimana meletakkan Islam sebagai dasar negara dan sumber undang-undang. Wallâhu a’lam. []

Daftar Bacaan

Al-Badrani, Hisyam, Ad-Dustûr bayna al-Islâmiyah wa al-Lâ-Islâmiyyah, (t.t.p.: t.p), 2003.

Al-Kharbuthli, Ali Hasani, Al-Islâm wa al-Khilâfah, (Beirut: Dar Beirut), 1969.

Al-Marakibi, Jamal Ahmad As-Sayyid, Al-Khilâfah al-Islâmiyah bayna Nuzhum al-Hukm 

Al-Mu’âshirah, (Kairo: Kulliyah Al-Huquq Jami’ah Al-Qahirah), 1414 H Aqidah tauhid asas negara, 134.

Al-Maqdisi, Abu Muhammad, Saudi di Mata Seorang Al-Qa’idah (Al-Kawâsyif al-Jâliyyah fî Kufr Dawlah as-Su’udiyah), Penerjemah Abu Sulaiman, (Solo: Jazera), 2005.

Al-Maududi, Abul A’la, The Islamic Law and Constitution, (Lahore: Islamic Publications Ltd), t.t.

An-Nabhani, Taqiyuddin, Al-Syakhshiyah al-Islâmiyah, Juz I, (Beirut: Darul Ummah), 2003.

—————, Muqaddimah ad-Dustur aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.

Hawari, Muhammad, ‘Isyrûna Nadwah fî Syarh wa Munâqasyah Masyrû’ Tathbîq al-Islâm fî al-Hayâh (t.t.p. : t.p), 2002.

Hizbut Tahrir, Nash Naqdh Masyrû’ ad-Dustûr al-Irâni (t.tp.: Hizbut Tahrir), 1979.

—————, Naqdh Masyrû’ Dustûr Jumhûriyyah as-Sudan Sanah 1998, (t.t.p : Hizbut Tahrir), 1998.

“Islamic Republic of Iran Constitution,” http://www.iranonline.com

0 komentar:

Agenda Harian

Semoga kita senantiasa terpacu untuk mengukir prestasi amal yang akan memperberat timbangan kebaikan di yaumil akhir, berikut rangkaian yang bisa dilakukan

1. Agenda pada sepertiga malam akhir

a. Menunaikan shalat tahajjud dengan memanjangkan waktu pada saat ruku’ dan sujud di dalamnya,

b. Menunaikan shalat witir

c. Duduk untuk berdoa dan memohon ampun kepada Allah hingga azan subuh

Rasulullah saw bersabda:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

“Sesungguhnya Allah SWT selalu turun pada setiap malam menuju langit dunia saat 1/3 malam terakhir, dan Dia berkata: “Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku maka akan Aku kabulkan, dan barangsiapa yang meminta kepada-Ku maka akan Aku berikan, dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku maka akan Aku ampuni”. (HR. Bukhari Muslim)


2. Agenda Setelah Terbit Fajar

a. Menjawab seruan azan untuk shalat subuh

” الَّلهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِي وَعَدْتَهُ “

“Ya Allah, Tuhan pemilik seruan yang sempurna ini, shalat yang telah dikumandangkan, berikanlah kepada Nabi Muhammad wasilah dan karunia, dan bangkitkanlah dia pada tempat yang terpuji seperti yang telah Engkau janjikan. (Ditashih oleh Al-Albani)

b. Menunaikan shalat sunnah fajar di rumah dua rakaat

Rasulullah saw bersabda:

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا

“Dua rakaat sunnah fajar lebih baik dari dunia dan segala isinya”. (Muslim)

وَ قَدْ قَرَأَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِي رَكْعَتَي الْفَجْرِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدَ

“Nabi saw pada dua rakaat sunnah fajar membaca surat “Qul ya ayyuhal kafirun” dan “Qul huwallahu ahad”.

c. Menunaikan shalat subuh berjamaah di masjid –khususnya- bagi laki-laki.

Rasulullah saw bersabda:

وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الْعَتْمَةِ وَالصُّبْحِ لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

“Sekiranya manusia tahu apa yang ada dalam kegelapan dan subuh maka mereka akan mendatanginya walau dalam keadaan tergopoh-gopoh” (Muttafaqun alaih)

بَشِّرِ الْمَشَّائِيْنَ فِي الظّلَمِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِالنُّوْرِ التَّامِّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Berikanlah kabar gembira kepada para pejalan di kegelapan menuju masjid dengan cahaya yang sempurna pada hari kiamat”. (Tirmidzi dan ibnu Majah)

d. Menyibukkan diri dengan doa, dzikir atau tilawah Al-Quran hingga waktu iqamat shalat

Rasulullah saw bersabda:

الدُّعَاءُ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ

“Doa antara adzan dan iqamat tidak akan ditolak” (Ahmad dan Tirmidzi dan Abu Daud)

e. Duduk di masjid bagi laki-laki /mushalla bagi wanita untuk berdzikir dan membaca dzikir waktu pagi

Dalam hadits nabi disebutkan:

كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إَذَا صَلَّى الْفَجْرَ تَرَبَّعَ فِي مَجْلِسِهِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ الْحَسَنَاءُ

” Nabi saw jika selesai shalat fajar duduk di tempat duduknya hingga terbit matahari yang ke kuning-kuningan”. (Muslim)

Agenda prioritas

Membaca Al-Quran.

Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya waktu fajar itu disaksikan (malaikat). (Al-Isra : 78) Dan memiliki komitmen sesuai kemampuannya untuk selalu:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah lebih banyak dari itu semua, maka akan menuai kebaikan berlimpah insya Allah.

3. Menunaikan shalat Dhuha walau hanya dua rakaat

Rasulullah saw bersabda:

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى

“Setiap ruas tulang tubuh manusia wajib dikeluarkan sedekahnya, setiap hari ketika matahari terbit. Mendamaikan antara dua orang yang berselisih adalah sedekah, menolong orang dengan membantunya menaiki kendaraan atau mengangkat kan barang ke atas kendaraannya adalah sedekah, kata-kata yang baik adalah sedekah, tiap-tiap langkahmu untuk mengerjakan shalat adalah sedekah, dan membersihkan rintangan dari jalan adalah sedekah”. (Bukhari dan Muslim)

4. Berangkat kerja atau belajar dengan berharap karena Allah

Rasulullah saw bersabda:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمِلِ يَدِهِ، وَكَانَ دَاوُدُ لا يَأْكُلُ إِلا مِنْ عَمِلِ يَدِهِ

“Tidaklah seseorang memakan makanan, lebih baik dari yang didapat oleh tangannya sendiri, dan bahwa nabi Daud makan dari hasil tangannya sendiri”. (Bukhari)

Dalam hadits lainnya nabi juga bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang berjalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga”. (Muslim)

d. Menyibukkan diri dengan dzikir sepanjang hari

Allah berfirman :

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ketahuilah dengan berdzikir kepada Allah maka hati akan menjadi tenang” (Ra’ad : 28)

Rasulullah saw bersabda:

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهَ أَنْ تَمُوْتَ ولسانُك رَطْبٌ من ذِكْرِ الله

“Sebaik-baik perbuatan kepada Allah adalah saat engkau mati sementara lidahmu basah dari berdzikir kepada Allah” (Thabrani dan Ibnu Hibban) .

5. Agenda saat shalat Zhuhur

a. Menjawab azan untuk shalat Zhuhur, lalu menunaikan shalat Zhuhur berjamaah di Masjid khususnya bagi laki-laki

b. Menunaikan sunnah rawatib sebelum Zhuhur 4 rakaat dan 2 rakaat setelah Zhuhur

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang shalat 12 rakaat pada siang dan malam hari maka Allah akan membangunkan baginya dengannya rumah di surga”. (Muslim).

6. Agenda saat dan setelah shalat Ashar

a. Menjawab azan untuk shalat Ashar, kemudian dilanjutkan dengan menunaikan shalat Ashar secara berjamaah di masjid

b. Mendengarkan nasihat di masjid (jika ada)

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ لا يُرِيدُ إِلا أَنْ يَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ يَعْلَمَهُ، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ حَاجٍّ تَامًّا حِجَّتُهُ

“Barangsiapa yang pergi ke masjid tidak menginginkan yang lain kecuali belajar kebaikan atau mengajarkannya, maka baginya ganjaran haji secara sempurna”. (Thabrani – hasan shahih)

c. Istirahat sejenak dengan niat yang karena Allah

Rasulullah saw bersabda:

وَإِنَّ لِبَدَنِكَ عَلَيْكَ حَقٌّ

“Sesungguhnya bagi setiap tubuh atasmu ada haknya”.

Agenda prioritas:

Membaca Al-Quran dan berkomitmen semampunya untuk:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan, maka akan menuai kebaikan yang berlimpah insya Allah.

7. Agenda sebelum Maghrib

a. Memperhatikan urusan rumah tangga – melakukan mudzakarah – Menghafal Al-Quran

b. Mendengarkan ceramah, nasihat, khutbah, untaian hikmah atau dakwah melalui media

c. Menyibukkan diri dengan doa

Rasulullah saw bersabda:

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

“Doa adalah ibadah”

8. Agenda setelah terbenam matahari

a. Menjawab azan untuk shalat Maghrib

b. Menunaikan shalat Maghrib secara berjamaah di masjid (khususnya bagi laki-laki)

c. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Maghrib – 2 rakaat

d. Membaca dzikir sore

e. Mempersiapkan diri untuk shalat Isya lalu melangkahkan kaki menuju masjid

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً

“Barangsiapa yang bersuci/berwudhu kemudian berjalan menuju salah satu dari rumah-rumah Allah untuk menunaikan salah satu kewajiban dari kewajiban Allah, maka langkah-langkahnya akan menggugurkan kesalahan dan yang lainnya mengangkat derajatnya”. (Muslim)

9. Agenda pada waktu shalat Isya

a. Menjawab azan untuk shalat Isya kemudian menunaikan shalat Isya secara jamaah di masjid

b. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Isya – 2 rakaat

c. Duduk bersama keluarga/melakukan silaturahim

d. Mendengarkan ceramah, nasihat dan untaian hikmah di Masjid

e. Dakwah melalui media atau lainnya

f. Melakukan mudzakarah

g. Menghafal Al-Quran

Agenda prioritas

Membaca Al-Quran dengan berkomitmen sesuai dengan kemampuannya untuk:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan bacaan maka telah menuai kebaikan berlimpah insya Allah.


Apa yang kita jelaskan di sini merupakan contoh, sehingga tidak harus sama persis dengan yang kami sampaikan, kondisional tergantung masing-masing individu. Semoga ikhtiar ini bisa memandu kita untuk optimalisasi ibadah insya Allah. Allahu a’lam

Jazaakillah

Sedikit revisi dari : http://www.al-ikhwan.net/agenda-harian-ramadhan-menuju-bahagia-di-bulan-ramadhan-2989/

Isi Blog

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.