Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Pengantar
Di tengah masyarakat sering kita jumpai khilafiyah dalam hukum-hukum ibadah. Misalnya dalam jumlah rakaat shalat tarawih. Ada yang tarawih 11 rakaat dan ada yang tarawih 23 rakaat. Mungkin muncul pertanyaan, apakah Khilafah akan mengadopsi pendapat tertentu dalam masalah ini dan mengharuskan rakyat untuk mengamalkannya?
Demikian pula, ada khilafiyah dalam ide-ide yang berkaitan dengan Aqidah. Misalnya dulu pernah muncul perdebatan sengit apakah Al-Qur`an makhluq atau kalamullah. Pada masa Khilafah Abbasiyah, Khalifah Al-Ma’mun (berkuasa 813-833 M) yang terpengaruh aliran Mu’tazilah mengadopsi ide Al-Qur`an adalah makhluq dan mengharuskan rakyat menganut pendapat itu. Sementara Imam Ahmad bin Hambal yang dianggap sebagai representasi aliran Ahlus Sunnah bersiteguh bahwa Al-Qur`an adalah kalamullah, bukan makhluq. Akibatnya beliau mendapat perlakuan kejam dari penguasa saat itu. Apakah Khilafah akan mengadopsi ide tertentu dalam persoalan Aqidah seperti itu dan mengharuskan rakyat untuk menganutnya?
Hizbut Tahrir telah menjawab pertanyaan semacam ini dalam kitabnya Rancangan UUD Negara Khilafah (Masyru’ ad-Dustur). Pasal 4 Rancangan UUD itu berbunyi, "Khalifah tidak mengadopsi hukum syara’ tertentu dalam ibadah, kecuali zakat dan jihad serta apa saja yang menjadi keharusan untuk menjaga persatuan kaum muslimin. Khalifah juga tidak mengadopsi ide apa pun yang berkaitan dengan Akidah Islam." (An-Nabhani, Muqaddimah al-Dustur, hal. 19). Telaah kitab kali ini akan menjelaskan lebih jauh pasal tersebut berdasarkan uraian dalam kitab Muqaddimah al-Dustur karya Imam Taqiyyuddin An-Nabhani (2009).
Tak Mengadopsi Lebih Baik Daripada Mengadopsi
Jelas dari bunyi pasal itu, bahwa kelak Khalifah tidak akan mengadopsi hukum-hukum syara’ tertentu yang khilafiyah dalam persoalan ibadah. Khalifah kelak juga tidak akan mengadopsi ide-ide tertentu yang terkait dengan Aqidah Islam, misalnya mengadopsi mazhab (aliran) Mu’tazilah atau aliran Wahabi (Salafi).
Imam An-Nabhani menyatakan sikap Khalifah yang demikian itu dimaksudkan untuk menjauhkan diri dari berbagai masalah serta untuk mewujudkan ketenteraman dan kerukunan di tengah umat. (Muqaddimah al-Dustur, hal. 19).
Dapat dibayangkan, andaikata Khalifah mengadopsi satu hukum tertentu dalam persoalan ibadah atau mengadopsi suatu aliran Aqidah tertentu, akan banyak masalah yang harus dihadapi Khalifah. Misalnya, munculnya rasa tidak senang dari rakyat kepada Khalifah. Ketidakpuasan rakyat ini dapat berkembang ke arah sikap pembangkangan rakyat yang tentu tidak baik bagi stabilitas negara.
Sebagai contoh, misal Khalifah mengadopsi pendapat bahwa melafalkan niat dalam ibadah (seperti wudhu, sholat, puasa, dsb) adalah bid’ah. Umat pun dilarang oleh Khalifah untuk melafalkan niat. Apa yang akan terjadi? Pasti di antara umat Islam ada yang tersinggung dan sangat keberatan dengan pelarangan oleh Khalifah itu, meski memang ada ulama yang berpendapat melafalkan niat itu bid’ah. (Abdat, Risalah Bid’ah, hal. 175). Akan timbul pro kontra yang merusak kerukunan umat. Karena sebagian umat yang tidak terima akan menjawab bahwa melafalkan niat bukanlah suatu bid’ah. (Harmi dkk, Kiai NU Tidak Berbuat Bid’ah, hal. 15).
Contoh lain, misal Khalifah mengadopsi pendapat Wahabi (Salafi) bahwa ayat-ayat sifat tidak boleh ditakwilkan. Kelompok Wahabi tidak membenarkan pemahaman penganut Asy’ariyah yang menakwilkan "tangan Allah" (yadullah) sebagai "kekuasaan Allah" (qudratullah) (QS Al-Fath [48] : 10). Penganut Wahabi pun seringkali menganggap penganut Asy’ariyah sebagai kelompok sesat, meski paham Asy’ariyah itu sesungguhnya didasarkan pada pemahaman lughawi dan pemahaman syar’i yang kuat. Jika Khalifah mengadopsi paham Wahabi ini, pasti di antara umat Islam ada yang tidak terima disebut sesat atau menyimpang. Kondisinya akan semakin runyam kalau Khalifah itu lalu menangkap dan menghukum para penganut Asy’ariyah. Tak mustahil Khalifah penganut Wahabi seperti ini akan bertindak kejam seperti Khalifah Al-Ma`mun yang menyiksa Imam Ahmad tanpa rasa perikemanusiaan.
Di sinilah kita dapat mengerti bahwa memang lebih bijaksana dan lebih tepat kalau Khalifah tidak mengadopsi. Baik itu menyangkut hukum-hukum tertentu yang khilafiyah dalam masalah ibadah, maupun menyangkut ide-ide tertentu yang berkaitan dengan Aqidah. Khalifah cukup melakukan pengawasan secara umum (isyraf ‘aam) kepada masyarakat dan mencegah tindakan saling membid’ahkan atau mengkafirkan di antara anggota masyarakat.
Namun Imam An-Nabhani menegaskan, bahwa ketika Khalifah tidak mengadopsi, bukan berarti mengadopsi itu haram bagi Khalifah. Namun artinya ialah Khalifah memilih untuk tidak mengadopsi. Sebab mengadopsi suatu hukum asalnya adalah mubah bagi Khalifah. Jadi Khalifah boleh mengadopsi dan boleh tidak mengadopsi. Namun Imam An-Nabhani lebih cenderung Khalifah tidak mengadopsi. Maka bunyi pasal 4 di atas redaksinya adalah,"Khalifah tidak mengadopsi..." dan bukannya, "Khalifah haram mengadopsi..." (Muqaddimah al-Dustur, hal. 20).
Alasan Memilih Tidak Mengadopsi
Lalu apa alasannya Imam An-Nabhani lebih cenderung agar Khalifah tidak mengadopsi? Ada dua alasan yang dikemukakan beliau.
Pertama, karena adopsi dalam hukum-hukum ibadah dan ide yang berkaitan dengan Aqidah dapat menimbulkan haraj (rasa sempit di dalam hati). Padahal Islam tidak menghendaki adanya kesempitan dalam mengamalkan ajaran Islam. Firman Allah SWT :
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
"Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan." (QS Al-Hajj [22] : 78)
Kedua, karena adopsi seperti itu menyalahi fakta adopsi. Sebab adopsi itu berada pada interaksi antara sesama manusia, bukan pada interaksi antara manusia dengan Allah SWT. Adopsi itu faktanya terkait dengan hukum-hukum muamalat atau uqubat, yang memang akan menimbulkan konflik dan sengketa di antara individu masyarakat jika tidak diatur dengan hukum yang sama.
Sedang hukum-hukum ibadah dan juga ide yang berkaitan dengan Aqidah, faktanya adalah pengaturan interaksi antara manusia dengan Allah SWT, bukan interaksi antara sesama manusia. Jika ada perbedaan hukum, relatif tidak akan menimbulkan konflik atau sengketa di antara individu masyarakat.
Berdasarkan dua alasan itulah, yang lebih tepat adalah Khalifah itu hendaknya tidak mengadopsi. (Muqaddimah al-Dustur, hal. 21).
Perkecualian
Meski sikap yang lebih baik adalah Khalifah tidak mengadopsi, namun ini ada perkecualiannya. Yaitu boleh saja Khalifah mengadopsi hukum-hukum ibadah atau ide yang berkaitan dengan Aqidah, dalam rangka untuk memelihara persatuan umat, meskipun dapat menimbulkan rasa sempit di dalam hati (haraj) dan menyalahi fakta adopsi.
Pengecualian ini dikarenakan adanya tarjih (pengunggulan) pada nash-nash yang qath’i (pasti), yaitu nash yang qath’i tsubut (pasti penetapannya) dan qath’i dalalah (pasti pengertiannya). Nash qath’i seperti ini lebih kuat daripada nash yang tak menghendaki adanya kesempitan dalam agama Islam.
Misalnya, nash qath’i yang mewajibkan kaum muslimin bersatu dengan ikatan Islam dan melarang mereka untuk bercerai berai (QS Ali ‘Imran [3] : 103). Nash qath’i ini lebih rajih (kuat) daripada nash yang tak menghendaki rasa sempit dalam agama Islam (QS Al-Hajj [22] : 78).
Maka dari itu, sebagai perkecualian, boleh Khalifah mengadopsi hukum-hukum ibadah tertentu, seperti hukum-hukum jihad dan zakat, demi menjaga persatuan dan kesatuan umat Islam. Sulit dibayangkan negara Khilafah dapat memungut zakat secara optimal dari umat Islam, kalau Khilafah tidak mengadopsi hukum-hukum tertentu dalam masalah zakat.
Termasuk pula dalam hal ini, Khalifah boleh mengadopsi kesatuan awal puasa Ramadhan, kesatuan pelaksanaan haji, juga kesatuan Idul Fitri dan Idul Adha, dalam rangka untuk memelihara persatuan kaum muslimin.
Fakta menunjukkan bahwa perbedaan hari raya seringkali menimbulkan suasana tidak nyaman bahkan permusuhan di antara anggota masyarakat, atau bahkan, di antara sesama anggota keluarga yang kebetulan berbeda mazhab. Mereka terbukti lebih senang dan lebih berbahagia jika Idul Fitri atau Idul Adha jatuh pada hari yang sama. Maka sudah selayaknya, Khalifah nanti mengadopsi kesatuan Idul Fitri dan Idul Adha bagi kaum muslimin di seluruh dunia. Wallahu a’lam.
DAFTAR BACAAN
Abdat, Abdul Hakim bin Amir, Risalah Bid’ah, (Jakarta : Pustaka Abdullah), 2004
Al-Baghdadi, Abdul Qahir, Al-Farqu Baina Al-Firaq, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah), 2005
Al-Ghumari, Ahmad bin Muhammad, Taujih Al-Anzhar li Tauhid Al-Muslimin fi Ash-Shaum wa Al-Ifthar, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah), 2006
Al-Hafni, Abdul Mun’im, Ensiklopedi Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam (Mausu’ah al-Harakat wa al-Madzahib Al-Islamiyyah fi Al-‘Alam), Penerjemah Muhtarom, (Jakarta : Soegeng Saryadi Syndicate & Grafindo Khazanah Ilmu), 2006
Al-Hawali, Safar bin Abdurrahman, Ushul al-Firaq wa Al-Adyan wa Al-Madzahib al-Fikriyah, (t.tp. : t.p.), t.t.
Al-Hamd, Muhammad bin Ibrahim, Rasa`il fi al-Adyan wa Al-Firaq wa Al-Madzahib, (t.tp. : t.p.), 1426
Al-Khalidi, Mahmud Abdul Majid, Qawaid Nizham Al-Hukm fi Al-Islam, (Kuwait : Dar Al-Buhuts Al-Ilmiyyah), 1980
An-Nabhani, Taqiyuddin, Muqaddimah al-Dustur aw Al-Asbab Al-Mujibah Lahu, Jilid I, (Beirut : Darul Ummah), Cetakan II, 2009
Harmi, Bakhtiar dkk, Kiai NU Tidak Berbuat Bid’ah, (Ponorogo : Lajnah Ta`lif wan Nasyr NU Ponorogo), 2009
Hawari, Muhammad, 'Isyruuna Nadwah fi Syarh wa Munaqasyah Masyru' Tathbiq Al-Islam fi Al-Hayah, (t.t.p. : t.p), 2002
Mufti, M. Ahmad & Al-Wakil, Sami Shalih, At-Tasyri’ wa Sann al-Qawanin fi Ad-Daulah Al-Islamiyyah, (Beirut : Dar Al-Nahdhah Al-Islamiyyah), 1992
Zarkasyi, Amal Fathullah, ‘Ilmu al-Kalam Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyyah wa Qadhayaha Al-Kalamiyyah, (Gontor : Darus Salam), 2006
0 komentar:
Posting Komentar