Wali Khariqul Adah Naqsybandi Yang Disegani
SETIAP - 10 Muharam ,(Selasa, 2 Maret 2004), di desa kecil di pantai utara Jawa Desa Kajen, Pati, lautan manusia berdatangan memperingati haul KH Ahmad Mutamakkin (AM). Sosok kiai yang lahir di Tuban ini lebih memilih Kajen, sebuah desa kecil di pantai utara Jawa, untuk menyebarkan gagasan Islamnya.
AM adalah seorang neosufis yang hidup pada tahun 1645 - 1740. Satu garis dengan cerita Jawa pada awal perkembangan Islam, Ki Ageng Pengging, Sunan Panggung, dan Among Raja. Mereka dikenal sebagai penganut tasawuf yang kemudian dieksekusi yang berkuasa. Bahkan, ada yang dikisahkan dibakar hidup-hidup.
Barangkali gema dari cerita yang lebih masyhur dan memikat dalam sejarah Islam di Timur Tengah adalah cerita tentang Husain ibn al-Hallaj yang wafat pada tahun 922. AM adalah murid dari Syaikh Zain, seorang Syaikh al-Yamami, seorang pemimpin tarekat yang besar di Timur Tengah terutama Naqsyabandi.
Dia ini sebenarnya adalah penerus dari tradisi Naqsyabandi yang dibawakan oleh Syaikh Khaliq dari Naksyabandi India ke tanah Kurdi, yaitu di Arbarter dan dari sana ke Aleppo di pantai barat Suriah dan kemudian melalui Madinah di bawah ke Makkah.
Karena orang-orang Kurdi itu bermazab Syafiíi, tidak usah heran ulama-ulama kita yang ikut tarekat kemudian membawa pulang mazab Syafiíi. Padahal ia sebelumnya bermazab Hanafi.
Di sini arti pentingnya seorang Kurdi, Syekh Zein. Dia mendidik Kiai Mutamakkin. Pada saat yang sama AM juga belajar pada Imam al-Kurrani, seorang sarjana besar, seorang ulama tradisional yang bisa mengedepankan baik tradisi keilmuan yang tinggi maupun kedalaman ilmu pengetahuan (Abdurrahman Wahid, 2002).
Kebesaran AM ditunjang oleh beberapa data sejarah yang menunjukkan dia sebagai seorang wali khariqul adah (tidak seperti kebiasaan manusia pada umumnya) yang disegani. Salah satu contohnya, AM melakukan riyadah (tirakat) selama 40 hari puasa, siang malam, tidak makan dan minum. Pada hari terakhir puasanya, AM menyuruh istrinya membelikan makanan yang paling disukainya di pasar. Setelah makanan itu matang, bahkan baru hangat-hangatnya dan menjelang magrib, AM justru berkelakuan aneh. Dia menyuruh istrinya mengikatnya di sebuah tiang.
Pada saat magrib tiba, nafsu makannya menggelora dengan dahsyat. Di depannya tersedia makanan yang paling disukainya. Pertarungan nafsu dan qalbun salim (hati yang bersih/selamat) akhirya dimenangkan oleh qalbun salim. Ajaib, dari dalam perutnya keluar dua anjing. Kedua binatang yang melambangkan bentuk nafsu makan itu langsung memakan habis makanan yang tersedia di depannya. Namun, kemudian ingin masuk ke dalam perutnya lagi.
AM menolak dan akhirnya kedua anjing tersebut menjadi khadim (pembantu) setia AM dalam perjuangannya. Kedua anjing itu kemudian diberinama Qomaruddin dan Abdul Qohhar (konon katanya kedua nama itu diambil dari nama penguasa zalim dari Tuban).
Mitos sejarah ini begitu melekat dalam jiwa masyarakat sekitar dan para santri yang mondok di Kajen. Setiap hari, dari pagi hingga malam, nonstop selama 24 jam makam AM tidak pernah sepi dari pengunjung. Alunan bacaan Alquran, tahlil, tahmid, takbir, dan salawat bergema sepanjang hari, menyemarakkan suasana desa tersebut yang dihuni ribuan santri.
Pertanyaannya kemudian, apakah hanya sebatas itu ibrah yang dapat kita ambil pada saat Islam terkena musibah besar sebagai agama yang identik dengan ekstremisme, radikalisme, dan terorisme?
Banyak yang bisa kita ambil sebenarnya. Namun, yang paling penting adalah belajar dari kecerdasan dan kepiwaian AM dalam menerapkan strategi perjuangan di tengah-tengah umat yang terkenal dengan pendekatan kultural-kontekstual.
Pendekatan yang digunakan bukan institusi versus institusi. Dia lebih memilih membangun institusi sendiri yang berada di luar pemerintahan, yaitu tasawuf. AM tidak melawan pemerintah. Di sini kita dapat melihat, bagaimana AM sangat matang dalam mengatur strategi perjuangannya. Dia tidak anti dan pro terhadap pemerintah, tetapi berada di tengah kedua arus tersebut.
Melalui strategi kultural ini AM menanamkan kesadaran dan pencerahan kepada umat lewat forum pengajian, majelis taklim yang sesuai dengan urat nadi persoalan rakyat. Dia berbicara sesuai dengan napas umat, sehingga mampu memberikan solusi sederhana yang aplikatif terhadap persoalan yang terjadi. (Jamal Maímur Asmani,Alumnus PP Mathaliíul Falah dan Raudlatul Ulum Kajen, Margoyoso, Pati. Sekarang aktif di CePDeS (Central for Pesantren and Democracy Studies).
Strategi inilah yang dipakai oleh para Wali Songo, terutama Sunan Kalijaga. Ada integrasi dan akulturasi Islam dengan budaya dan tradisi masyarakat setempat secara simbiosis-mutualisme. Saling memengaruhi satu sama lain, menjadi satu kekuatan perubahan besar melawan kultur feodalisme-patriarki yang dilakukan oleh para raja secara gradual, step by step.
Artinya, asimilasi kedua unsur tersebut dijadikan jembatan untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan. Dalam pandangan Ketua LIPI Dr Taufiq Abdullah, model strategi semacam ini sama dengan model relasi agama dengan kekuasaan, yang antara Islam dan negara dapat berhubungan sebuah tradisi NGO (non governance organization) atau sebuah LSM (lemaga swadaya masyarakat).
Ada kemandirian, solidaritas dan kohesivitas serta mobilitas sosial kolektif dalam memperjuangkan hak-haknya.
Untuk saat ini, pendekatan perjuangan model AM sangat efektif dan sudah teruji roda sejarah. Terbukti, apabila yang dipilih adalah pendekatan politis, legal formal, struktural dengan target dan ambisi, bukan hasil memuaskan yang dicapai, justru kehancuran, resistensi dan tidak mempunyai kontinuitas. Mudah hanyut ditelan waktu, cepat lapuk oleh putaran masa.
AM mempunyai perhatian dan kepedulian yang total dalam melakukan pemberdayaan dan pencerahan kalangan grassroot, akar rumput. Agama dalam genggaman AM tidak sekadar slogan utopis, sekadar khotbah di podium, tapi betul-betul merupakan sebuah gerak aktif-dinamis, bersenyawa dengan problem kemanusiaan, mampu menjadi lokomotif transformasi dan evolusi bagi persoalan masyarakat secara luas, baik sosial, budaya, ekonomi, maupun politik.
Agama bukan berada di menara gading, asyik dengan dunianya, tidak mampu menginjakkan kakinya di bumi, realitas yang sebenarnya. Hal yang menjadi kecenderungan kaum agamawan dan akademisi saat ini. Mereka enjoy dengan dunianya, sedangkan persoalan rakyat secara empiris tidak pernah tersentuh.
AM ini kalau dalam pandangan Ali Syariíati, intelektual terkemuka Iran, termasuk salah satu tokoh intelektual yang tercerahkan, seorang intelektual yang betul-betul mengabdikan ilmu dan jiwanya demi penyadaran, kemajuan dan pengembangan masyarakat.
Atas jerih payah dan prestasinya inilah, sangat pantas kalau Syeikh Ahmad Mutamakkin saat ini menjadi legenda masyarakat Kajen dan seluruh penjuru negeri ini. Sudah sepantasnyalah kita sebagai kader penerus perjuangan beliau tidak hanya menjadikannya mitos sejarah yang menyebabkan muncul romantisme historis-pasif. Namun, seharusnya kita benar-benar menjadikannya sebagai kekuatan perubahan dalam kehidupan masyarakat. (85k)
* a/n Jamal Maímur Asmani.
Sumber : Jalantrabas
Selasa, 02 Juni 2009
0 komentar:
Posting Komentar