REPUBLIKA.CO.ID, Dia luar ia tampak seperti gadis Amerika-Igbo pada umumnya. Igbo adalah nama suku utama dan terbesar sekaligus paling berpengaruh di Nigeria. Hampir seluruh etnis Igbo memeluk Kristen. Namun si gadis, Miriam, adalah Muslim.
Fakta itu mungkin mengejutkan bagi mereka yang paham sejarah etnis Igbo. "Tapi maaf bila itu mengecewakan anda. Saya adalah bukti nyata bahwa saya sepenuhnya Igbo dan seorang Muslim yang menjalankan ibadah." ungkap si lajang lulusan Universitas Philadelphia itu
"Ketika saya bilang saya Igbo dan juga Muslim, saya sering mendengar orang sesama etnis bilang, 'tifaqua' (Tuhan melarang!)," tuturnya. Ia menegaskan bahwa tidak menjadi muslim karena menikahi seorang Muslim, pun karena terkena trik teman-teman Muslim. "Alhamdulillah, saya beralih karena saya merasa ini adalah jalan yang benar untuk saya, pengakuan serupa yang mendorong leluhur saya beralih ke Kristen.
Ia sadar benar, orang Igbo akan mengklaim bahwa Islam tidak sejalah dengan budaya Igbo. "Tapi saya tantang itu dengan membuktikan bahwa Kristen ternyata juga bisa sejalan dengan warisan keyakinan asli tradisi yang ada ribuan tahun sebelum Kristen datang. Apa yang gagal dipahami oleh etnis saya yakni kami adalah produk lingkungan," ujarnya.
Miriam menganalogikan, bila Budha mengambil alih Igbo ribuan tahun lalu, ia meyakini hampir seluruh Igbo akan cenderung memeluk Budha dan kokoh memegang keyakinan itu hingga kini. "Tantangan yang saya berikan adalah silahkan kaji mengapa anda meyakini dan menghormati dan setuju atau tidak setuju dengan perbedaan yang diusung orang lain."
Ia menuturkan menjadi Muslim dalam komunitasnya sangat sulit. "Tidak mustahil namun sangat menantang," ujarnya. Banyak kehidupan sehari-hari, budaya dan keyakinan berdasar pada Kriten, meski Kristen baru dikenal etnis Igbo pada 1990-an. Kakek buyut Mariam sendiri bukanlah seorang Kristen.
"Apakah menyimbolkan kematian halal? Apakah upacara memecah kacang kola sebagai tradisi budaya adalah penyelewengan ritual di mata Allah? Bagaimana saya dapat menemukan media yang membuat saya gembir sebagai Muslim tetapi masih tetap menjaga identitas Igbo saya?" ujarnya. "Hingga hari ini itu masih tantangan," imbuhnya.
Saat ini, Miriam mengaku masih berupaya menemukan sebuah komunitas--meski kecil--yang memiliki latar etnis serupa. Kadang Miriam bertanya apakah ada orang-orang yang seperti dirinya. Bahkan ia pernah frustasi, "Apakah Muslim Igbo selain saya ada di dunia?"
Hinga suatu hari saat berselancar di internet ia menemukan seorang Muslim wanita Igbo yang juga mualaf, bernama Ify. "Alhamdulillah, begitu saya mengontaknya kami pun menjadi teman," tutur Miriam.
Waktu berjalan, ia pun mengalami perlakuan kasar dari komunitasnya. Ia mengaku pernah terpana dan terkejut oleh perlakuan dari sesama Muslim, bahkan dari sesama Afrika. Suatu hari ia memasuki masjid untuk melaksanakan ibadah shalat. Ia baru saja memeluk Islam dan baru saja belajar bagaimana melakukan shalat.
Di sampingnya berdiri seorang wanita Afrika. Tiba-tiba dengan pandangan tajam wanita itu menolah ke arah Miriam dan berkata, "Kamu tidak tahu bagaimana cara shalat?" Miriam menerima teguran itu di depan banyak orang. Malu, Miriam pun meminta maaf dan mencari dalih. Namun ia terlalu malu dan terkejut hingga tak berani mengaku dirinya seorang mulaf yang baru saja mengikrarkan diri memeluk Islam. Sejak saat itu ia tak pernah lagi memasuki masjid tersebut. "Ia melihat saya masih kagok, tetapi tidak membantu, malah menuding saya," tuturnya.
"Tapi ketika saya melintas di depan gereja, saya akan mendapat sapaan 'halo' atau 'selamat datang' yang ramah," tuturnya. "Ini bukan serangan terhadap teman sesama Muslim yang juga telah menerima dan mendukung saya, tetapi ini adalah kritik terhadap mereka yang terlahir Muslim bagaimana seharusnya memperlakukan mualaf," kata Miriam.
"Anda tak pernah tahu siapa kelak yang menjadi Muslim, atau mereka yang memeluk Islam beberapa jam sebelum bertemu dengan anda. Bagaimana memperlakukan orang lain akan membantu mualaf untuk lebih menerima keyakinannya atau justru membuat mereka pergi lagi," ujar Miriam.
"Dengan kondisi ini, saya bisa memahami bila ada mualaf yang kembali memilih agama lama dan meninggalkan Islam, terutama bila anda bukan orang kulit putih di Barat. Tak ada seorang pun yang mendatangi anda, mengundang anda dalam buka puasa saat Ramadan. Tak ada yang mengenalkan anda dengan orang lain, atau kesulitan mencari pasangan hidup," ujar Miriam lagi.
Miriam pernah merasa putus asa mencari komunitas yang bisa menerima dan mendukungnya. "Ternyata masa-masa itu sangat kritis bagi pembangunan keyakinan saya dengan agama baru saya," ungkapnya. Sebagai Muslim berkulit hitam, ia merasa 'tak terlihat'. Ia pernah bertukar salam dengan beberapa wanita yang memberi pandangan dingin saat shalat Jumat berjamaah. Di akhir shalat, para jamaah berkumpul, berbicara dan bertukar salam serta cerita, sementara Miriam seperti tak menjadi bagian dari kumpulan itu, sendiri dan akhirnya memutuskan untuk pergi. "Saya bahkan berpikir apakah orang-orang tadi menyadari keberadaan saya," katanya.
Miriam dalam Muslim Matters baru-baru ini menulis, dalam kehidupan sehari-sehari sangat mungkin ada seorang mualaf seperti dirinya di luar sana. "Ia bukanlah kertas kosong sebelum memeluk Islam. Ia mungkin telah memiliki identitas kuat budaya tertentu dan mencoba keras menuangkan gambaran baru dirinya dalam kanvas," ujarnya.
Ia mengingatkan, seperti dirinya pula, ia bisa jadi tak memiliki dukungan keluarga atau komunitas sehingga membutuhkan uluran tangan Muslim lain untuk menjadi keluarga keduanya. "Jujur, bila iman saya hanya bergantung pada keberadaan Muslim lain dan komunitas, saya akan meninggalkan Islam sejak dulu. Tapi Allah telah memberi saya kekuatan untuk tetap memelihara iman ini meski melewati berbagai turbulensi dan saya selalu meminta setiap orang mendoakan saya agar memudahkan jalan saya dan menguatkan iman saya," tutur Miriam.
"Tapi tak perlu mengasihani saya. Saya telah menemukan satu kelompok kecil mualaf yang bisa saya mintai dukungan," ungkap Miriam lagi. Kini ia pun rutin bertemu dengan Ify dan kru barunya untuk memperluas jaringan. "Alhamdulillah, setiap Jumat malam, Ify dan teman Muslimah saya berkumpul. Kami menikmati Pizza, cupcake, mengobrol, diskusi dan tertawa bersama.
"Saya berpikir, jadi inilah rasanya memiliki komunitas yang akhirnya bisa menerima saya. Alhamdulillah," seloroh Miriam. Baginya, komunitas kecil itu layaknya niche, niche yang tidak berdasar etnis, budaya atau ras. "Melainkan berbasis prinsip-prinsip Islam dan rasa takut pada Allah," ujarnya.
Secara pribadi Miriam memilih kesimpulan terakhir. 'Karena teman, keluarga dan orang asing bisa mengisolasi dan mengasingkan anda, tapi cinta Allah, jauh lebih besar dan lebih berharga."
Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari
Sumber: Muslim Matters
0 komentar:
Posting Komentar