Sang Amir berkata:"Siang dan malam hati dan Jiwaku bermaksud sungguh-sungguh melayani Allah. Tetapi karena tanggung jawab pada pekerjaanku, aku tidak punya waktu untuk beribadah."
Rumi menjawab: "Tanggung jawabmu itu juga merupakan pekerjaan yang dilakukan demi Allah, karena kamu bekerja untuk menciptakan kedamaian dan keamanan bagi negerimu. Kamu korbankan dirimu, hartamu, waktumu, sehingga hati beberapa orang akan terangkat begitu damai untuk mematuhi kehendak Allah.
Jadi, ini juga pekerjaan yang bagus. Allah telah mendorongmu untuk melakukan kerja semacam itu, dan
kecintaanmu yang besar terhadap apa yang kamu lakukan adalah bukti rahmat Allah. Akan tetapi, jika kecintaanmu pada pekerjaan melemah, ini akan menjadi pertanda anugerah yang ditolak, karena Allah hanya membimbing mereka yang layak melakukan sikap-sikap yang benar, yang akan berdampak pada peningkatan derajat spiritual."
Rumi kemudian memberikan contoh sebuah bak mandi yang panas. Panasnya berasal dari bahan bakar yang terbakar, seperti jerami kering, kayu bakar, tulang hewan, dll.
Dengan cara sama, Allah menggunakan penampakan luar setan dan kejahatan, meski sesungguhnya ini dimaksudkan untuk menjernihkan dan menyucikan. Seperti bak mandi, laki-laki atau wanita yang terbakar oleh kegigihan bekerja, menjadi tersucikan dan menjelma kemanfaatan bagi semua orang.
Demikian Maulana Jalaluddin Rumi dalam karya monumental, Fihi Ma Fihi, menggambarkan proses tercerahnya spiritualitas, justru dalam proses kerja. Satu hal yang selama ini dianggap terpisah, kerja adalah dunia, ibadah adalah akhirat. Dalam proses kerja, manusia ternyata mampu mendapatkan "pembakaran spiritual", sehingga setiap keringat yang menetes, telah melahirkan pembersihan, dan oleh karenanya penyucian jiwa, selayak laku ‘abid yang beribadah siang dan malam.
Hanya memang, hal ini sulit terjadi dalam kenyataan. Kesulitan terletak karena proses kerja itulah yang sering menjelma kesadaran palsu (false consciousness), dimana kita lupa dan asing dari diri sendiri, asing dari hakikat kehambaan.
Ini yang terjadi, sebab masyarakat kita terlanjur menempatkan kerja, an sich dalam hasrat ekonomi, sehingga kerja dan uang, yang sebenarnya merupakan alat, kini menjadi tujuan.
Apalagi masyarakat kita telah lama mengarah pada satu dimensi, one dimensional man, Herbert Marcuse bilang. Dalam keadaan itu, arah manusia hanya satu, yakni bagaimana menjalani hari-hari dalam rutinitas mesin besar bernama industrialisasi, dimana para pekerja menjelma sekrup yang memperkuat struktur mesin modernitas tersebut. Ini yang membuat manusia terasing dari dirinya, sehingga kita tidak lagi mampu bertanya, untuk apa semua ini? Untuk apa kerja? Untuk apa hidup? Dalam situasi seperti ini, memikirkan apalagi merasakan kehadiran Allah, menjadi sesuatu yang hambar. Apa manfaatnya bagi produktifitas kerja?
Segenap tanya tersebut akan kita cari jawab, bersama Dr. Kautsar Azhari Noer. Dosen tasawuf UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta penulis dua buku; Ibn ‘Araby: Wahdatul Wujud dalam Perdebatan Kita (1995), dan Tasawuf Perenial (2003).
Beliau yang merasa mendapatkan "hadiah dari Ibn ‘Araby", karena sejak pertengahan tahun ini, telah didaulat sebagai Honorary Fellow pada Ibn ‘Araby Society, Oxford University. Sebagai penggali Ibn ‘Araby, Dr. Kautsar tentu memiliki pandangan menarik atas problem "absennya Allah di tempat kerja". Hal ini nyata, karena Ibn ‘Araby sendiri mengabarkan kepada kita tentang kesatuan Allah dan makhluk, yang saat ini cenderung dipisahkan oleh proses kerja tersebut. Demikian wawancara santai Cahaya Sufi dengan beliau.
Bagaimana sebenarnya cara kita bisa merasakan kehadiran Allah dalam proses kerja sehari- hari?
Spiritualitas itu bisa dilakukan di tempat kerja. Jadi praktik spiritual tidak hanya dilakukan ditempat khusus, seperti masjid, musholla, zawiyyah, dan kholwat, apalagi pergi ke gunung, menyepi. Karena Allah itu dekat, lebih dekat dari urat nadi. Wanahnu aqrabu min hablil wariid. Demikian maktub al-Qur’an. Kalau kita yakin Allah dekat, kita bisa merasakan kehadiran Allah dalam bekerja. Kalau orang merasakan kehadiran Allah dalam bekerja, dia akan menjalankan kerja sesuai keinginan Allah, dan tidak mungkin melakukan hal-hal yang tidak etis.
Sebenarnya Islam arahnya kesana. Jadi anta’budalloha kaannka taroohu fainlam takun taroohu fainnahu yarooka. Kalau saya mengartikan ibadah disana, bukan hanya ibadah mahdloh saja, tetapi apapun yang kita lakukan, kita selalu merasakan kehadiran Allah. Al-Qur’an juga mengatakan agar kita mengingat Allah dimanapun, ketika duduk, berdiri. Kuncinya disitu, sebab dzikir merupakan kunci dalam tasawuf. Karena tidak mungkin tasawuf tanpa dzikir, dan tasawuf sangat menekankan kehadiran Allah.
Permasalahannya, pemahaman masyarakat terhadap makna kerja yang bersifat homo economicus, jadi kerja ya hanya memenuhi kebutuhan ekonomi. Allah tidak terlibat.Bagaimana menanggulangi hal ini?
Ya tujuannya yang sudah salah. Kalau orang kerja tujuannya ekonomi semata, duniawi semata, sudah tidak benar menurut tuntunan al-Qur’an. Dimata saya, kita boleh bekerja mencari harta sebanyak-banyaknya, sejauh dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas spiritual. Atau dengan bahasa lain, ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Cuma orang kan sering lupa kepada yang memberi rezeki (al-Raziq) akhirnya dia hanya terbenam dengan kehidupan duniawi. Mungkin hal ini terkait dengan kesinambungan antara akal dan batin. Jadi selama ini, orang memaknai kerja itu akal, sementara dzikir itu batin, dan keduanya tidak bisa nyambung karena situasi kerja yang akal an sich.
Saya kira wilayahnya masing-masing ya. Dzikir dengan qalbu, karena dalam al-Qur’an, istilah yang ada ya qalbu. Jadi pengalaman spiritual wadahnya qalbu, bukan akal. Bukan berarti akal diabaikan, tetapi ditempatkan sesuai dengan kapasitas atau fungsinya, yakni untuk hal-hal yang empiris; fisika, biologi, penelitian ilmiah. Tetapi untuk persoalan metafisik, ya qalbu. Jadi jangan dipertentangkan.
Tapi seakan terpisah?
Tidak mesti dipisahkan, lain fungsi aja. Ada dua kata yang tak sama, memisahkan dan membedakan, ia berbeda tapi tak terpisah. Karena akal dan qalbu itu kemampuan kita. Artinya sama-sama anugerah Allah. Kalau akal tidak diragukan lagi sering dibicarakan dalam tasawuf. Ada hadist yang menyatakan, bumi dan langit tidak mampu memeluk Allah, tetapi akal hamba yang mukmin, mampu memeluk Allah. Nah sementara qalbu itu dari fi’il qollaba, berubah, bolak-balik. Ya tergantung, kalau hatinya baik, kualitas orang akan baik, kalau hatinya jahat, kualitasnya akan rendah. Dalam hubungan dengan Allah, yang berperan qalbu, iman. Dzikir itu qalbu, bukan akal. \[pagebreak]Nah bagaimana agar bisa dzikir dalam proses kerja? Baik dizkir ritual, maupun dzikir dalam artian bahwa kerja merupakan jalan mendekat kepada Gusti Allah.
Seperti saya katakan, orang bisa dzikir dimana saja dan Allah tidak jauh kan, lebih dekat dari urat nadi. Yunus Emre (w. 721 H/1321 M) penyair Sufi Anatolia, Turki yang merupakan pengikut Ibn Araby pernah bilang, "Jika Anda ingin mencari Allah, carilah didalam qalbumu". Nah itu nggak jauh-jauh kan. Jadi dimanapun dan kapanpun, baik kita sedang kerja di pasar, di kantor, Allah ada disitu. Kita bisa merasakan Allah disana. Tapi itu tergantung, ada nggak kemauan, karena yang penting, menjaga kesadaran kita akan kehadiran Allah. Menjaga kesadaran itu yang saya kira orang belum konstan berusaha.
Hal ini memang perlu dilatih, dan dimulai dari diri kita sendiri. Mungkin diperlukan pemahaman. Seperti pemahaman orang bahwa dzikir itu hanya di masjid, ingat kepada Allah hanya ketika sholat saja, padahal nggak seperti itu kan. Maka ada istilah sholat daim, itu sebenarnya bukan sholat ritual, tetapi sholat setiap detik sepanjang hidup. Jadi janganlah sholat hanya ketika sedang sholat, tetapi sholatlah sepanjang hidup. Selama ini hubungan kita dengan Allah putus, ketika kita selesai sholat ritual.
Bisa nggak dikatakan, bahwa yang memutus hubungan dengan Allah itu pekerjaan?
Ya, itu tergantung dari kesadaran dan kemauan kita. Karena sibuk dengan kerjaan, orang lupa dengan Allah. Seharusnya tidak seperti itu. Justru kita juga bisa ingat Allah ketika bekerja. Karena seperti saya katakan tadi, praktik keruhanian bisa dilakukan ditempat keramaian.
Jadi setiap kita melakukan sesuatu, selalu detak qalbu kita mengucapkan Allah, Allah, sehingga semuanya Allah, akhirnya kita ini nggak ada apa-apanya. Ketika Nabi Muhammad melempar musuh, bukan beliau yang melempar kan, tapi Allah yang melempar. Makanya orang-orang yang berbuat kebaikan melebihi yang wajib, Allah akan menjadi pendengarannya, penglihatannya. Ini artinya, kita harus menyadari bahwa semuanya Allah, kita ini nggak ada apa-apanya. Nah itu bisa kita lakukan ketika kerja. Ketika kita sedang nulis, yang nulis Allah, bukan kita. Buktinya, seandainya tangan kita diambil oleh Allah, ya udah, berhenti kan kita. Tapi jangan disalahpahami, ketika Anda yang berjalan, bukan Anda, tapi Allah yang berjalan. Tidak seperti itu. Coba ketika kita sedang jalan, nyawa kita dicabut Allah, maka stop kan jalan kita.
Apalagi kalau kita sadar seperti kesadaran Ibn Arabi, al-Hallaj, dan Abu Yazid al-Bustami, bahwa kita ini nggak ada, yang ada hanya Allah. Kita tidak lebih dari tajalli-Nya, dhzillun (bayangan) Nya. Mungkin paham seperti ini tidak dipahami oleh semua orang. Saya paham itu. Sama ketika orang memahami ayat, wamaa romaita idz romaita walakinnalloha roma, itu arahnya kesana. Jadi bukan kamu yang melempar, tetapi Allah yang melempar. Kamu itu tidak lebih dari madzhar-Nya Allah, tajalli, majla, tempat penampakan Allah, hakikatnya Allah, kita nggak ada apa-apanya.
Kalau bisa begitu, orang nggak akan pernah sombong. Sayang sikap egoisme kita terlalu besar. Disini ketika al-Hallaj mengucapkan Anna al-Haq, egonya hilang, yang ada Allah. Aku disitu bukan aku al-Hallaj, dia nggak ada. Tapi ini kan sulit dipahami masyarakat.
Nah terkait dengan kegiatan kita sehari-hari, saya kira seperti itu juga. Apapun yang kita lakukan, sebenarnya yang melakukan Allah, kita nggak ada apa-apanya.
Sebelum al-Hallaj mati, dia bilang, "Ya Allah ampuni mereka yang hendak membunuhku, karena mereka tidak mengerti. Mereka mencintai Mu. Maafkan mereka". Bukannya mengamuk dan memaki, tapi dia faham, seandainya mereka mengerti apa yang al-Hallaj alami, mereka nggak akan melakukan itu.
Apa proses tadi bisa dikatakan kholwat dalam kerja?
Saya tidak menyebutnya kholwat. Kalau kholwat memang menyendiri, ada yang 10 hari ada 40 hari. Itu memang khusus. Saya tidak sebut hal diatas kholwat. Tetapi orang bisa merasakan kehadiran Allah ditempat keramaian, tidak mesti ketika kholwat saja. Bahwa kholwat itu semacam baterai hendak diisi gitu lah. Mungkin untuk melatih, dan setelah kholwat itu diharapkan selamanya bisa meningkatkan kualitas keruhanian, karena hatinya selalu nyambung dengan Allah.
Terkait dengan pandangan miring terhadap zuhud?
Zuhud itu tidak berarti orang tidak makan, tidak punya isteri, tidak punya harta. Tapi maksudnya orang tidak dikuasai oleh hartanya, tidak dikuasai oleh apa yang dia miliki. Bahkan kalau sampai tingkat itu, dia bilang, "Aku nggak memiliki apa-apa". Karena semua milik Allah. Jadi mobil yang kita miliki, nggak dikatakan milik kita, tetapi milik Allah. Bahkan diri kita sendiripun milik Allah. Kita cuma menjaga amanah, titipan. Kalau sudah sampai titik itu, insya Allah orang nggak akan stress. Kita belum sampai kesitu kan, karena kita masih ingin memiliki.
Untuk mencapai kesana kan butuh hidayah?
Memang susah ya, yang penting berusaha. Ada yang bilang, kalau sudah sampai ke tingkat yang tinggi, itu memang anugerah dari Allah. Apalagi apa yang kita sebut ma’rifat, ilmu hudluri, dan sebagainya, itu anugerah. Bahkan cinta kepada Allah-pun anugerah dari Allah, Kalau Allah nggak memberi ya walaupun kita berusaha sampai mati, kita nggak akan dapat. Nah menurut saya, Allah akan memberikan anugerah itu kepada orang yang dianggap siap. Tapi biasanya orang siap itu kan sebelumnya sudah mengondisikan dirinya. Banyak berdoa, berbuat baik, selalu mendekatkan diri kepada Allah, sehingga anugerah nggak mungkin tiba begitu saja.
Tapi bisa saja yang kelihatannya tiba-tiba, tapi sebelumnya kita nggak tahu. Kan banyak riwayat aneh, misalnya Rahim ibn Adham, ketika ia berburu di tengah hutan, ada suara dari atas yang memerintahkan agar dia menjadi zahid. Kalau memang anugerah dari Allah ya susah dirasionalkan.
Nah banyak ilmuwan yang bilang, kerja khususnya di industri seperti Jakarta ini telah membuat orang teralienasi, asing dari dirinya sendiri. Bagaimana Bapak menanggapi hal ini?
Ya karena sibuk dengan pekerjaan, dia lupa dengan dirinya sendiri. Akhirnya dia terasing dari dirinya. Bukan hanya kerja, harta, jabatan, juga begitu kan. Pertanyaannya, yang jadi tuan siapa sih, kerja atau kita? Kadang kita diperbudak oleh kerjaan. Kalau orang sudah sibuk, ngurus dirinya sendiri juga sudah lupa. Dia kerja sampai lupa menjaga kesehatannya. Nah kita kadang diperbudak oleh sistem yang kita buat, cuma kita nggak sadar. Tapi kalau bicara sistem kan kolektif, tidak sendiri. Kolektif itu terkait dengan struktur kan.
Kita harus mengikuti struktur, masyarakat, dan budaya. Ya kita yang diperbudak oleh struktur, bukan kita yang mengendalikannya. (Arif)
Dr. Kautsar Azhari Noer -
Dosen Tasawuf UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Sufinews
Rabu, 02 November 2011
0 komentar:
Posting Komentar