Kunjungan Habib Alwi Solo Kepada Habib Abubakar Gresik
(Catatan Habib Abdulkadir bin Husein Assegaf)
Pengantar Amma ba’du.
Pada hari Sabtu, tanggal 18 Dzulqoidah 1371 H, jam 08.00 pagi, bertepatan dengan tanggal 9 Agustus 1952, Sayyidiy yang diberkahi Alwi bin Habib Al-Quthb Ali bin Muhammad Al-Habsyi, kholifah ayahnya, Quthbul ‘Ârifîn wa Aslâfihil ‘Alawiyyîn, pewaris asrôr mereka, seorang dermawan yang bertakwa, berniat untuk mengunjungi Habib Al-Quthb Al-‘Ârifbillâh wad Dâ’i ilaih Abubakar bin Muhammad Assegaf yang tinggal di kota Gresik. Semoga Allah SWT memanjangkan umur beliau dan memberi kita manfaat dengan berkat beliau. Amin…
Habib Abubakar telah berulang kali menulis surat kepada Sayyidiy Alwi mengabarkan keinginannya untuk menyampaikan sesuatu yang dititipkan kepadanya. Sayyidiy Alwi sendiri telah mendapatkan petunjuk yang jelas dari perkataan Habib Ali dalam diwan[1] beliau:
Wahai kekasihku,
Pergilah dengan nama Allah
kemana pun kau suka
Niscaya kau selamat dari segala kejahatan
Inayah Allah Al-Muhaimin
selalu menjagamu dalam perjalanan
Anak-anak dan kerabat beliau banyak yang hadir saat itu. Sebelum Sayyidiy Alwi meninggalkan kediaman beliau yang penuh berkah di Gurawan Solo, beliau membaca Fatihah dan memanjatkan doa-doa mulia. Membaca Fatihah ketika hendak bepergian merupakan kebiasaan ayah beliau, sebagaimana disebutkan dalam kalam Habib Ali. Kemudian dengan jarinya, Sayyidiy Alwi menulis ayat berikut pada dinding rumahnya:
“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Quran, benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali.”
(QS Al-Qashash, 28:85)
Kami dan Sayyidiy Alwi beranjak keluar. Di depan rumah kendaraan telah menunggu. Sayyidiy Alwi berpamitan kepada mereka yang mengantarkan dan mereka memohon doa dari beliau. Beliau lalu masuk ke dalam mobil milik Sayid Abdullah bin Muhammad Alaydrus. Mobil mewah, masih baru, produksi tahun 1952, merek Desoto Custom.
(Kami berangkat menjemput Sayid Muhammad bin Abdullah Alaydrus) Di depan rumahnya telah berkumpul beberapa orang dari golongan sâdah dan lainnya untuk mengantarkan kepergian Sayyidiy Alwi dan memohon doa dari beliau. Di antara mereka adalah Sayid Salim bin Basri. Sayid Muhammad Alaydrus yang telah siap di rumahnya segera bergegas keluar, lalu masuk ke dalam mobil. Jadi, dalam perjalanan ini Sayyidiy Alwi ditemani oleh Sayid Muhammad bin Abdullah Alaydrus, Abdulkadir bin Umar Maulakhela, Syeikh Hadi bin Muhammad Makarim, Ahmad bin ‘Abud Deqil dan aku sendiri (Abdulkadir bin Husein bin Segaf Assegaf).
Mobil kemudian membawa kami ke tempat penjualan bensin. Kami berhenti sejenak untuk mengisi bensin, lalu dengan memohon pertolongan Allah SWT kami segera menuju Jombang. Dari Solo kami berangkat pukul 08:45 pagi.
Dalam perjalanan Sayyidiy Alwi mendiktekan khotbah catatan perjalanan ini, kemudian kami semua melagukan qoshidah berikut dengan suara nyaring :
Dengan kebesaran Pencipta langit,
Kami duduk bersimpuh
memohon perlindungan dari segala bencana,
Juga dengan Al-Hadi Muhammad dan Sab’ul
Matsâniy[2]
Setelah itu Sayyidiy Alwi menggubah dua bait syair:
Niat kami dalam ziarah ini sebagaimana niat
sang Habib
Kami mengharap karomah yang dapat mempertemukan
kami dengan para pecinta
Telah lama kami nanti kelalaian musuh yang selalu
mengawasi hingga datang izin
Sebab, orang yang memohon dengan benar
pasti ‘kan mendapat jawaban
Abdulkadir bin Umar Maulakhela melagukan syair itu. Sayyidiy Alwi kemudian meneruskan syair gubahannya:
Kami niat berziarah agar semua tujuan tercapai
Kami akan mengunjungi kekasih yang bersemayam
di hati
Husein bin Muhammad, pemuas dahaga mereka yang kehausan
Kami akan mengunjungi kekasih yang tinggal
di pusat kota Jombang
Katakan kepadanya, kami datang bersama rombongan
Bersedekahlah, berdermalah kepada orang
yang telah terlatih lapar
Hidangkan kepada mereka sajian yang pantas
untuk pesta atau untuk tamu
Kami ingin mengunjungi kekasih di pusat kota Jombang
Berilah ilmu orang-orang yang dagangannya telah hilang
agar hari-hari mereka menjadi indah
dan dagangan mereka kembali pulang
Hati menjadi gembira karena akan bertemu para kekasih
Kami hendak mengunjungi kekasih
yang tinggal di pusat kota Jombang.
Kami akan mengambil amanat, madad dan titipan
Dari qutbul wara wan nafaa’ah yang tinggal di Kota Gresik
Atas perintahnya dan mereka adalah kaum dermawan dan budiman
Kami hendak mengunjungi kekasih
yang tinggal di tengah kota Jombang.
Memasuki kota Sragen kami bertemu dengan rombongan pengantin. Keluar dari kota Sragen, kami bertemu lagi dengan rombongan pengantin. Sayyidiy Alwi berkata, “Ini adalah pertanda baik.” Sebelum berangkat dari Solo seorang yang bernama Faraj (kelapangan, kelonggaran) datang menemui beliau. Beliau senang dengan kejadian ini, sebab menurut beliau semua itu merupakan pertanda baik bagi kepergian beliau. Rasulullah saw juga sangat menyukai pertanda baik.
Setelah itu Abdulkadir Maulakhela melagukan syair Hababah Khodijah, putri Habib Ali Habsyi.[3]
Kami sampai di Madiun dalam waktu 1 ½ jam, lalu singgah di rumah Syeikh ‘Awudh Ba’abduh. Ia menyambut gembira kedatangan Sayyidiy Alwi dan rombongan. Kami istirahat di rumahnya kurang lebih
1 jam, kemudian kembali melanjutkan perjalanan.
Mobil melaju dengan cepat, seakan bumi ini dilipat.Tak terasa kami telah sampai di Jombang. Kami segera menuju rumah Habib Husein bin Muhammad Al-Haddad. Sewaktu mobil kami berhenti di halaman rumah beliau yang luas, beliau memanggil pembantunya, “Hai Aman! Lihatlah, siapa yang datang!” Sayyidiy Alwi berkata, ‘Ini pertanda baik lagi[4].”
Kami lalu memasuki rumah beliau yang luas, yang selalu dipenuhi tamu; pagi maupun sore. Mengetahui yang berkunjung Sayyidiy Alwi, Habib Husein segera berdiri menyambut beliau dengan gembira, “Segala puji bagi Allah Tuhan alam semesta.
Ya Allah, aku memohon kepadamu kebaikan yang datang secara tiba-tiba.
Habib Husein tidak diberi kabar bahwa Sayyidiy Alwi akan datang berkunjung. Beliau lalu membacakan bait-bait syair Habib Abdullah bin Husein bin Thohir:
Tuhanku, pemberian-Mu amat banyak
dan seluruh perbuatan-Mu amat indah
dan angan-anganku pada-Mu amat panjang
maka bermurahlah kepada orang-orang yang berharap
“Kedatangan kalian ini adalah karunia dari Allah. Alhamdulillâhi robbil ‘âlamîn.”
Habib Husein merasa sangat gembira dengan kedatangan Sayyidiy Alwi.
Setelah semuanya duduk dengan nyaman, Sayyidiy Alwi[5] memberitahu Habib Husein[6], “Kepergianku dari Solo adalah untuk mengunjungi Habib Abubakar bin Muhammad Asseggaf di Gresik. Sebab, beliau telah berulang kali mengirim utusan mengundangku. Aku datang kemari untuk meminta pendapat dan saran, karena aku dengar engkau tidak ingin aku datang kepadanya. Aku sengaja menunda kepergianku karena ucapanmu ini. Sekarang aku telah datang, jika kau perintahkan aku untuk melanjutkan perjalanan, aku akan melakukannya. Tetapi jika kau larang aku melanjutkan perjalanan,aku akan pulang.”
Habib Husein lalu menjelaskan, “Aku tidak pernah mengutus seseorang untuk melarangmu pergi. Hanya saja, ketika aku berada di rumah Habib Abubakar, beliau berkata kepadaku, ‘Aku mengemban amanat Habib Ali untuk Alwi. Aku ingin ia datang kemari agar amanat itu dapat kusampaikan.’ Aku lalu berkata kepada beliau, ‘Engkau adalah rumah amanat, di tanganmu amanat itu pasti terjaga, dan Alwi masih hidup bersama kita.’ Sekarang kupikir Habib Abubakar ingin menyampaikannya kepadamu. Hanîan laka… Selamat untukmu. Berilah kami bagian.
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.” (QS An-Nisa, 4:8)
Habib Abubakar sekarang ini sedang menunggu kalian. Ia berdiri, duduk, berdiri, duduk… Seandainya kalian langsung berangkat ke sana tentu akan lebih baik.”
Sesungguhnya Sayyidiy Alwi berniat untuk melanjutkan perjalanan keesokan harinya bersama Habib Husein. Akan tetapi Habib Husein berhalangan, kaki beliau sakit dan beliau memerintahkan Sayyidiy Alwi agar segera menemui Habib Abubakar yang sedang menunggu-nunggu kedatangannya. Habib Husein rupanya meng-kasyf keadaan ini.
Sebenarnya keinginan untuk melakukan perjalanan ke Gresik ini muncul Jumat tengah hari. Namun Sayyidiy Alwi baru memberitahukan niatnya ini kepada istri dan anak-anaknya sore hari, dan Sabtu pagi beliau telah berangkat. Demikianlah para wali Allah melihat dengan cahaya Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis:
“Hati-hati terhadap firasat seorang mukmin, sebab dia melihat dengan cahaya Allah.” (HR Turmudzi)
Semoga Allah meridhoi mereka semua dan memberi kita manfaat berkat mereka.
“Sejak Subuh aku merasa gelisah, tapi setelah kalian datang perasaan itu hilang berubah menjadi kegembiraan. Semua ini adalah karunia Allah,” kata Habib Husein.
Syeikh Hadi Makarim lalu bercerita, bahwa ia mimpi melihat Habib Ali Habsyi menggandeng tangan Habib Husein ke luar dari satu rumah masuk ke rumah lain. Kemudian datang seorang lelaki memberi Habib Ali tiga ridâ[7]: dua berwarna hijau dan satu coklat. Habib Ali memakai ridâ yang hijau, memberikan ridâ hijau yang lain kepada Habib Husein, dan memberikan yang coklat kepada Syeikh Hadi Makarim.
Cerita ini menggembirakan hati Habib Husein, beliau lalu pergi dan kembali membawa dua ridâ: yang berwarna hijau buatan Bali diberikan kepada Sayyidiy Alwi, yang putih buatan Solo diberikan kepada Syeikh Hadi Makarim sambil berkata, “Ini sebagai hadiah atas mimpimu yang menggembirakan itu.”
Habib Husein kemudian membacakan lagi syair Habib Abdullah bin Husein:
Tuhanku, pemberian-Mu amat banyak
dan seluruh perbuatan-Mu amat indah
dan angan-anganku pada-Mu amat panjang
maka bermurahlah kepada orang-orang yang berharap
Habib Husein berkata, “Perhatikanlah bait syair ini: dan seluruh tindakan-Mu amat indah, ini adalah maqôm ridha.”
Habib Husein lalu bicara tentang mode pakaian. “Penghuni zaman ini telah merubah cara berpakaian mereka, juga cara berpakaian anak mereka, terlebih lagi putri-putri mereka. Mereka memberi anak-anak perempuan mereka pakaian yang pendek hingga di atas lutut. Ini adalah perbuatan yang sangat berbahaya. Suatu hari aku datang ke rumah salah seorang pecintaku. Saat itu anak-anak putrinya berpakaian sebagaimana pakaian kebanyakan orang di zaman ini: pendek di atas lutut. Aku lalu bertanya kepadanya, ‘Kalau aku datang ke tempat asal kalian di Hadhramaut, kemudian dengan tongkat di tanganku ini kusingkapkan pakaian putrimu hingga ke atas lutut, bagaimana sikapmu?’ Ia menjawab, ‘Kita akan saling pukul.’ Aku lalu berkata, ‘Tapi kalian sendiri sekarang melakukan hal itu terhadap putri-putri kalian.’
Rupanya ucapanku itu membekas di hatinya. Ia kemudian segera mengganti pakaian putri-putrinya dengan pakaian yang panjang seperti dahulu. Aku pun merasa sangat bahagia. Adapun teman-teman lain, mereka mengakui bahwa mode pakaian macam itu tidak benar, tapi mereka tidak berbuat apa-apa. Kelak di hari kiamat, anak-anak perempuan mereka akan bergantungan di leher mereka dan berkata, “Ayah kamilah yang mengajarkan semua ini kepada kami.”
Habib Husein membahas persoalan ini panjang lebar dan hanya inilah yang dapat kuhapal. Dan kupikir, ini pun sudah cukup.
Kami kemudian melaksanakan sholat Zhuhur dan Ashar jamak taqdim. Setelah makan siang, Habib Husein menganjurkan agar kami segera berangkat ke Gresik. Kurang lebih pukul 13:30 kami berpamitan untuk melanjutkan perjalanan.
Setelah keluar dari kota Jombang, Abdulkadir Maulakhela melantunkan bait-bait syair humainiyah yang dikarang Sayyidiy Alwi di masa lalu.[8]
Kami berhenti sejenak di Mojokerto, kemudian melanjutkan perjalanan dan sampai di Surabaya pukul 16:30. Di Surabaya kami singgah di rumah seorang sayid yang mulia, yang menempuh jalan leluhurnya, Abdulkadir bin Hadi Asseggaf. Sayyidiy Alwi ingin agar Al-’Am Abdulkadir bin Hadi Asseggaf menemani beliau ke Gresik. Sesampainya di depan kampung Al-’Am Abdulkadir bin Hadi, mobil berhenti dan aku diutus Sayyidiy Alwi untuk mengabarkan kedatangan beliau. Al-’Am Abdulkadir[9] segera keluar menemui Sayyidiy Alwi. Keduanya bersalaman dan berpelukan. Ia merasa sangat senang dengan kedatangan Sayyidiy Alwi. Sayyidiy Alwi memberitahu Al-’Am Abdulkadir bahwa beliau ingin segera ke Gresik untuk menemui Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf dan meminta agar ia bersedia menemani beliau ke Gresik. Al-’Am Abdulkadir memenuhi permintaan Sayyidiy Alwi, padahal ia telah menyediakan sebuah rumah untuk Sayyidiy Alwi dan rombongannya.
Al-’Am Abdulkadir bin Hadi memiliki seorang adik yang tinggal di Solo. Ia bernama Sayid Ahmad bin Hadi. Ketika adiknya mendengar rencana perjalanan Sayyidiy Alwi, ia segera pergi ke Surabaya dengan kereta api pagi agar dapat memberitahu kakaknya rencana perjalanan Sayyidiy Alwi. Mendengar berita dari adiknya ini, Al-’Am Abdulkadir bin Hadi Asseggaf segera menyediakan sebuah rumah karena antara dia dan Sayyidiy Alwi terjalin ikatan mahabbah dan persaudaraan yang sangat kuat.
Al-’Am Abdulkadir bin Hadi Asseggaf meminta Sayyidiy Alwi untuk singgah sebentar di rumah itu. Letaknya tidak jauh dari tempat berhentinya mobil kami. Rumah itu sangat bagus, penuh dengan perabotan indah, dan lampu yang bersinar terang. Kami lalu mengelilingi rumah yang luas itu. Pemilik rumah itu adalah Syarifah Zahra binti Sayid Abdurrahman bin Hasan Assegaf, sepupu Al-’Am Abdulkadir bin Hadi Asseggaf. Rumah itu dijadikan sebagai rumah peristirahatan, sedang pemiliknya tinggal di rumah yang lain.
Setelah duduk sebentar, kami melanjutkan perjalanan ke Gersik bersama Al-’Am Abdulkadir. Pukul 17.15 kami telah sampai di depan rumah Habib Al-‘Ârifbillâh Abubakar bin Muhammad Assegaf. Di depan rumah tampak Sayid Hud bin Abdullah, putra Habib Abubakar dan sejumlah Muhib di antaranya Salmin Doman telah siap menyambut kedatangan kami.
Beberapa saat sebelumnya Salmin Doman masih
di Surabaya. Setelah mengetahui tujuan perjalanan Sayyidiy Alwi, ia segera menyusul ke Gresik untuk menyambut Sayyidiy Alwi dan ikut dalam majelis-majelis beliau.
Kami kemudian masuk ke dalam rumah Habib Abubakar yang penuh berkah. Tatkala menatap wajah beliau yang tampan dan bercahaya seperti bulan purnama,
air mata kami jatuh berderai.
Kebahagiaan menyelimutiku
begitu hebat hingga ‘ku tak kuasa
menahan tangisku
Sayyidiy Alwi menghampiri Habib Abubakar[10], mencium tangan beliau. Keduanya lalu saling berpelukan, menangis dan bersyukur kepada Allah Ta’âlâ atas pertemuan ini. Sepuluh tahun lamanya mereka tidak saling berjumpa. Kekhusyukan dan haibah pertemuan ini dirasakan oleh semua yang hadir. Mereka seakan terpukau dan suasana menjadi hening. Setiap pipi basah oleh air mata, setiap kepala tertunduk ke bawah. Mereka semua menyaksikan pertemuan agung ini setelah perpisahan yang begitu lama. Perpisahan yang dimaksud adalah perpisahan raga, adapun ruh mereka senantiasa hadir dan tak pernah berpisah.
Habib Abubakar, semoga Allah memanjangkan umurnya, menatap Sayyidiy Alwi dan berulang kali mengucapkan selamat datang dan penghormatan. Selang beberapa saat Habib Abubakar memeluk beliau. Ini dilakukannya tiga kali. Tanda-tanda kebahagiaan dan suka cita tampak jelas di wajah keduanya.
Habib Abubakar berkata:
“Yang telah memegang takkan melepaskan.”[11]
“Aku akan mentaatimu. Aku datang kemari dengan berbagai kebutuhan. Dan mengharapkan pemberian untukku, anak-anakku, dan keluargaku,” kata Sayyidiy Alwi. Beliau lalu membacakan salah satu ayat Quran.
“Hai pembesar, kami dan keluarga kami telah ditimpa kesengsaraan dan kami datang membawa barang-barang yang tak berharga, maka sempurnakanlah sukatan untuk kami dan bersedekahlah kepada kami, sesungguhnya Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bersedekah.” (QS Yusuf, 12:88)
“Tentu…, tentu…, aku akan memberimu kabar gembira,” kata beliau, “Sejak subuh hari ini aku merasa gelisah dan tak banyak berkata-kata. Aku tidak tahu apa sebabnya. Melihat engkau datang, hilanglah kegelisahanku, hatiku terasa lapang dan aku menjadi bersemangat.”
Catatan Kaki :
[1] Buku yang berisi kumpulan syair.
[2] Sab’ul Matsâniy: Surat Al-Fatihah
[3] Lihat lampiran ke-1
[4] Pertanda baik karena pembantu Habib Husein bernama Aman yang berarti keselamatan.
[5] Habib Alwi lahir tahun 1311 H, meninggal tahun 1373 H. Jadi beliau melakukan perjalanan ini pada usia 60 tahun.
[6] Habib Husein lahir di Qaidun tahun 1303 H, meninggal tahun 1376 H. Jadi pada pertemuan ini umur beliau 68 tahun. Beliau ke Jawa tahun 1329 H, ketika berumur 27 tahun.
[7] Ridâ adalah sejenis selendang.
[8] Keterangan ada pada lampiran ke-2 dalam buku.
[9] Habib Abdulkadir bin Hadi Assegaf meninggal di Surabaya bulan Dzul Hijjah tahun 1376 pada usia 68 tahun. Jadi waktu pertemuan ini beliau berusia 63 tahun.
[10] Habib Abubakar lahir di Besuki Jawa Timur tahun 1285 H, meninggal di Gresik, Jawa Timur pada malam Senin 17 Dzulhijah 1376 H pada usia 91 tahun. Jadi pada pertemuan ini usia beliau 86 tahun.
[11] Maksudnya, Habib Abubakar takkan membiarkan Sayyidiy Alwi pergi.
Sumber : www.zawiya.net- Majelis Majlas
Jumat, 20 Mei 2011
0 komentar:
Posting Komentar