Al-Qur'ān diturunkan kepada umat manusia agar menjadi petunjuk bagi mereka menuju kebahagiaan di dunia maupun di akherat, sedangkan Nabi saw diutus salah satunya adalah untuk menyempurnakan akhlak, meninggikan derajat manusia dengan suri tauladan melalui sunnahnya. Di antara akhlak yang mulia adalah sikap zuhud terhadap dunia dan tidak terpedaya oleh gemerlap tipu dayanya. Dunia ini adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.
Sebagaimana yang termaktup dalam berbagai ayat al-Qur'ān maupun al-Sunnah, orang-orang kafir tidak akan ridha dengan keimanan kaum muslimin, sehingga mereka (orang kafir) melakukan banyak sekali makar supaya kaum muslimin semakin jauh dari agamanya. Di antara makar kaum kafir adalah menghembuskan nafas kebimbangan pada diri wanita muslimah dengan slogan-slogan emansipasi, mode atau trend, atau dengan istilah lain yang dapat mendorong kaum wanita khususnya muslimah menjadi tertarik olehnya dan semakin jauh dari perintah agamanya. Usaha kaum kafir ini tidak banyak disadari oleh kaum muslimah sehingga mereka terjatuh di dalamnya. Media massa ataupun elektronik yang awalnya bermaksud untuk mempermudah komunikasi, kini telah menjadi lahan perusakan moral. Televisi, internet, bahkan radio telah banyak menghadirkan sosok wanita dengan pakaian yang sangat minim, suara yang mendayu, dan sikap yang tidak lagi memperhatikan adab maupun kesopanan, lebih-lebih syari'at agama (Islam). Bahkan di antara umat Islam sendiri ada yang menjadikan jilbab sebagai trend dan mode, sehingga makna jilbab itu sendiri telah hilang dari maksud awal disyari'atkannya.
Al-Albāniy dalam menjawab tantangan ini membuat beberapa persyaratan (jilbab) yang dapat dijadikan pegangan bagi muslimah. Dengan adanya persyaratan ini diharapkan para wanita muslimah mempunyai pegangan pokok akan bentuk pakaian yang sesuai dengan perintah syar'i.
Persyaratan ini beliau tafsirkan dari ayat-ayat al-Qur'ān maupun al-Sunnah, yaitu:
a. Syarat pertama; Menutup seluruh badan selain yang dikecualikan
Syarat yang pertama ini merupakan interpretasi dari al-Qur'an:
1) Surat al-Nūr (24): 31
وقل للمؤمنت يغضضن من ﺃ بصرهنﱠ و َيحفَظْنَ فروجَهُنﱠ ولا يبدين زينتَهنﱠ ﺇلا ماظهرمنها ولْيضْرِبْنَ بخمرهنﱠ على جيوبهنﱠ ولا يبدين زينتهنﱠ ﺇلا لبعولتهنﱠ ﺃو ءابائهنﱠ ﺃو ءاباء بعولتهنﱠ ﺃو ﺃبنائهنﱠ ﺃو ﺃبناء بعولتهنﱠ ﺃو ﺇخونهنﱠ ﺃو بنى ﺇخونهنﱠ ﺃو بنى ﺃخَوتِهنﱠ ﺃو نسآئهنﱠ ﺃو ما ملكت ﺃيمنُهُنﱠ ﺃوِ التّبعين غيرِ ﺃولِى اﻹربَةِ من الرِجَالِ ﺃوالطفْلِ الذين لم يظهروا على عورت النسآءِ ولا يضْرِبْنَ ﺒﺄرجلِهِنﱠ لِيُعْلَمَ ما يُخْفِيْنَ من زينتِهِنﱠ وتوبوا ﺇلى الله جميعا ﺃيها المؤمنون لعلكم تفلحون(النور: 31)
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-peelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau nak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Dalam memaknai kalimat "kecuali yang biasa tampak darinya", terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Ayat ini, sebagaimana disebutkan Ibnu Kasīr dalam kitab tafsirnya menegaskan tentang kewajiban menutup seluruh perhiasan dan tidak menampakkannya sedikitpun kepada laki-laki ajnabi,[1] kecuali perhiasan yang tampak tanpa kesengajaan, karena sesuatu yang tidak disengaja tidaklah mendapat hukuman. Ibnu Abbās ra mengatakan bahwa yang dimaksud dengan 'perhiasan yang biasa tampak' adalah wajah dan kedua telapak tangan, dan inilah pendapat yang masyhur di kalangan jumhur ulama'.[2] Demikian pula pendapat Ibnu Jarīr. Sedangkan Ibnu Mas'ūd ra berpendapat sebagaimana dikutip al-Albāniy bahwa yang dimaksud dengan 'perhiasan yang biasa tampak' adalah selendang maupun kain yang lainnya, yakni kain kerudung yang biasa dikenakan wanita Arab di atas pakaiannya serta bagian bawah pakaiannya yang tampak.[3]
Dari ayat ini, Ibnu 'Aţiyah memahami bahwa wanita diperintah untuk tidak menampakkan perhiasannya serta bersungguh-sungguh dalam menyembunyikannya. Sedangkan yang dimaksud dengan "yang biasa tampak" adalah yang dituntut oleh kebutuhan mendesak kaum wanita seperti melakukan gerakan yang tidak mungkin dihindarkan untuk memenuhi kebutuhan.
Menurut al-Albāniy, pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat yang menafsirkan dengan wajah dan telapak tangan. Sedangkan yang di sebut dengan telapak tangan adalah bagian dalam dari telapak tangan hingga pergelangan; adapun wajah adalah mulai dari tempat tumbuhnya rambut hingga bawah dagu dan mulai dari satu kuping hingga kuping telinga yang lain. Sehingga yang meliputi wajah dan telapak tangan adalah celak, cincin, gelang, dan inai. Pendapat ini juga didasarkan pada tradisi atau perbuatan banyak wanita (yang diperbolehkan syari'at) di masa Nabi saw -dimana mereka adalah orang-orang yang mengalami secara langsung turunnya al-Qur'an- serta semua bersepakat bahwa setiap orang yang melaksanakan shalat berkewajiban untuk menutup seluruh auratnya dan bahwa wanita diperbolehkan untuk membuka wajah dan telapak tanganya di dalam şalat. Hal ini mengindikasikan wanita boleh menampakkan bagian tubuhnya selama tidak termasuk aurat, karena bagian tubuh yang tidak termasuk aurat itu tidak haram untuk ditampakkan selama tidak bermaksud untuk bersolek dan menampakkan kecantikan.
Tafsiran ayat tersebut di atas (bagian tubuh yang biasa tampak adalah wajah dan telapak tangan) dikuatkan oleh firman Allah: "Hendaklah mereka menutupkan khimarnya ke dadanya." Hal ini bisa dipahami bahwa ketika wajah ditampakkan, (wanita) juga membiarkan anting mereka tidak tertutupi, dan merupakan kebiasaan para wanita pada masa ayat ini turun, mereka biasa menjuraikan khimar ke belakang punggung mereka serhingga dada dan leher mereka terlihat. Lalu Allah memerintahkan agar menutupkan khimar mereka ke dada, sehingga tidaklah tampak seluruh tubuh mereka kecuali wajah dan telapak tangan mereka (kecuali sengaja ditutup meski terasa berat).
2) Surat al-Ahzāb (33 ): 59
يايها النبى قل ﻷزوجك وبناتك ونسآء المؤمنين يدنين عليهن من جلبيبهن ذلك ﺃدنى ﺃن يُعْرَفْنَ فلا يؤذين وكان الله غفورا رحيما
Ayat ini menjadi penguat dari ayat sebelumnya (Surat al-Nūr: 31), dimana kata "idna" dalam ayat di atas bermakna 'hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka sehingga tidak tampak padanya kalung maupun anting mereka'.
b. Syarat kedua; Bukan berfungsi sebagai perhiasan
Syarat kedua ini dinukil al-Albāniy dari firman Allah Ta'āla dalam surat al-Nūr (24): 31 ولا يبدين زينتهنﱠ "Dan janganlah kaum wanita itu menampakkan perhiasan mereka."
Ayat ini menunjukkan adanya perintah bagi wanita untuk menyembunyikan perhiasannya, dan sangat tidak masuk akal jika seorang wanita berpakaian (dengan maksud menutupi perhiasannya) namun pakaian tersebut justru ia jadikan sebagai perhiasan. Secara umum, ayat ini juga mengandung makna semua pakaian biasa (jika dihiasi) yang dengannya menyebabkan kaum laki-laki melirik dan tertarik kepadanya.
Syarat kedua ini juga diperkuat oleh firman Allah Ta'āla surat al-Ahzāb (33): 33
وقرن في بيوتكنﱠ ولا تبرﱡجن تبرﱡج الجاهلية اﻷولى
"Dan hendaklah kamu tetap dirumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang pertama."
Hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan al-Hākim, dari hadis Fadalah bin 'Ubaid dengan sanad yang shahih juga memperkuat syarat kedua ini; yakni Nabi saw bersabda:
ثلاثةٌ لا ﺗُﺴْﺄلُ عنهم: رجلٌ فارَقَ الجماعةَ وعَصَى ﺇمامَهُ وماتَ عاصِيًا, وﺃمَةٌ ﺃو عَبْدٌ ﺃبِقَ فَمَاتَ, وامْرَﺃةٌ غابَ عنها زَوْجُهَا, قد كَفَاهَا مَؤُوْنَةَ الدﱡنْيَا, فَتَبَرﱠجَتْ بَعْدَهُ, فلا ﺗُﺴْﺄلُ عنهم
"Tiga golongan yang tidak akan ditanya (karena mereka sudah pasti termasuk orang-orang yang binasa): Seorang laki-laki yang meninggalkan jama'ah dan mendurhakai imamnya serta meninggal dalam keadaaan durhaka; Seorang budak wanita atau laki-laki yang melarikan diri (dari tuannya) lalu mati; Serta seorang wanita yang ditinggal pergi oleh suaminya padahal suaminya telah mencukupi kebutuhan duaniawinya, namun setelah itu ia bertabarruj. Ketiganya tidak akan ditanya."
Adapun tabarruj, menurut al-Albāniy adalah perilaku wanita yang menampakkan perhiasan dan kecantikannya serta segala sesuatu yang wajib ditutupnya karena dapat membangkitkan syahwat kaum laki-laki.
Awal mula disyaria'atkannya jilbab adalah untuk menutupi perhiasan wanita; Maka sangat tidak masuk akal jika jilbab itu sendiri berfungsi sebagai perhiasan. Bahkan al-Zahabi dalam kitabnya al-Kabāir sebagaimana dikutip al-Albāniy menyatakan bahwa Allah melaknat wanita yang menampakkan perhiasannya, emas, dan mutiara yang ada dibawah niqāb (tutup kepalanya), memakai wangi-wangian ketika kelur rumah, mamakai berbagai kain celupan, pakaian sutera, dan memanjangkan lengannya hingga melampaui batas.
Larangan tabarruj ini sedemikian tegasnya hingga disetarakan dengan larangan berbuat syirik, zina, mencuri dan lainnya sebagaimana terdapat dalam sabda Nabi saw tatkala beliau membai'at Umaimah binti Ruqaiqah ketika masuk Islam. Nabi membai'atnya untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anaknya, tidak membuat dusta yang diada-adakan antara kaki dan tangan, tidak meratap, serta tidak bertabarruj seperti tabarrujnya kaum jahiliyah pertama.
c. Syarat ketiga; Kainnya harus tebal, dan tidak tipis
Nabi saw bersabda:
سيكونُ في ﺁخِرِ ﺃمّتِي ﻧِﺴﺂءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ, على رُؤُوسِهِنّ ﮐَﺄسْنِمَةِ البُخْتِ, ﺇلْعَنُوهُنّ ﻓﺈنّهُنّ مَلْعُونَاتٌ
"Pada akhir umatku nanti akan ada wanita-wanita yang berpakaian tetapi (hakekatnya) telanjang . Di atas kepala mereka seperti terdapat bongkol (punuk) onta. Kutuklah mereka karena sebenarnya mereka itu adalah kaum wanita terkutuk."
Dalam hadis yang lain terdapat tambahan yang menyatakan bahwa mereka (para wanita itu) tidak akan masuk surga dan juga tidak akan memperoleh baunya, padahal bau surga itu dapat dicium dari perjalanan (jarak) sekian dan sekian. Yang dimaksud oleh hadis Nabi saw di atas adalah wanita yang mengenakan pakaian tipis, yang dapat menggambarkan bentuk tubuhnya. Makna ini telah banyak dinukil dari para şahabat dan şahabiyah Nabi saw, seperti Asma' binti Abū Bakar, Umar bin Khaţţāb, dan lain sebagainya.
Lebih lanjut para ulama seperti Ibnu Hajar al-Haisami mewajibkan untuk menutup aurat dengan pakaian yang tidak dapat mensifati warna kulit, karena hakekat menutup (aurat) adalah supaya tidak diketahui apa yang ada di balik penutup tersebut. 'Āisyah ra pernah berkata bahwa yang di sebut khimar adalah yang dapat menyembunyikan kulit dan rambut.
d. Syarat keempat; Harus longgar, tidak ketat, sehingga tidak dapat menggambarkan sesuatu dari tubuhnya
Hakekat mengenakan pakaian adalah untuk menghilangkan fitnah, di mana hal tersebut tidak akan dapat terwujud kecuali pakaian yang dikenakan haruslah bersifat longgar dan tidak sempit. Telah kita lihat fenomena yang memprihatinkan di kalangan wanita muslimah saat ini, meskipun mereka berpakaian dengan pakaian yang dapat menutupi warna kulitnya, namun tetap saja mereka mengenakan pakaian yang dapat menggambarkan bentuk tubuhnya. Keadaan inilah yang dapat mendatangkana kerusakan besar di kalangan umat manusia.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi saw memerintahkan pada salah satu sahabat yang beliau beri baju Qubţiyah (jenis pakaian dari Mesir yang tipis) -dimana pakaian tersebut dipakai oleh istri sahabat tersebut- untuk mengenakan baju dalam di balik Qubţiyahnya supaya tidak tergambarkan bentuk tubuhnya. Telah tetap dalam kaidah uşul fiqih bahwasanya asal dari sebuah perintah adalah menunjukkan wajib. Sehingga dapat disimpulkan bahwa mengenakan baju yang longgar adalah syarat bagi penutup aurat. Bahkan dalam shalat, seorang wanita harus mengenakan tiga pakaian: baju, jilbab, dan khimār; Sebagaimana perkataan 'Āisyah:[4]
لا بُدﱠ للمرﺃةِ مِن ثلاثةِ ﺃثْوَابٍ تُصَلّي فيهِنﱠ: دِرْعٌ وجِلْبَابٌ وخمارٌ, وكانتْ عائشةُ تَحِلﱡ ﺇزَارَهَا, فَتُجَلْبِبَ بِ
"Seorang wanita dalam mengerjakan shalat harus mengenakan tiga pakaian: baju, jilbab, dan khimar." Adapun 'Āisyah ra pernah mengulurkan izar-nya (pakaian sejenis jubah) dan berjilbab dengannya.
e. Syarat kelima; Tidak diberi wewangian atau parfum
Terdapat beberapa hadis yang menunjukkan larangan bagi perempuan memakai wewangian ketika keluar rumah, di antaranya:
1) Dari Abū Mūsa al-Asy'ariy bahwasanya ia berkata: Rasūlullāh saw bersabda:[5]
ﺃيما امرﺃةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرﱠتْ علىَ قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيْحِهَا فَهِيَ زَانِيَة
"Siapapun perempuan yang memakai wewangian, lalu ia melewati kaum laki-laki agar mereka mendapatkan baunya, maka ia adalah penzina".
2) Dari Zainab al-Saqafiyah bahwasanya Nabi saw bersabda:
ﺇذا خَرَجَتْ ﺇحْدَاكُنﱠ ﺇلى المسجدِ فلا تَقْرَبَنﱠ طِيْبًا
"Jika salah seorang di antara kalian (kaum wanita) keluar menuju masjid, maka janganlah sekali-kali mendekatinya dengan (memakai) wewangian."
3) Dari Abū Hurairah ra ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
ﺃيما امرﺃةٍ ﺃصَابَتْ بَخُورًا, فلا تَشْهَدْ مَعَنَا العِشَاءَ اﻵخِرَةَ
"Siapapun perempuan yang memakai bakhur, maka janganlah ia menyertai kami dalam shalat Isya' yang akhir." (Dikeluarkan oleh Muslim (143), Abū Dāwud (4175), al-Nasā'i (5143 dan 5278)
Bakhur yang dimaksud dalam hadis dia atas adalah wewangian yang dihasilkan dari pengasapan, semacam dupa atau kemenyan, atau wewangian yang biasa digunakan untuk pakaian. Alasan dari pelarangan ini adalah karena dapat membangkitkan nafsu kaum laki-laki, dan pelarangan tersebut bersifat umum yang meliputi setiap waktu.
4) Dari Mūsa bin Yasar, dari Abū Hurairah:
ﺃنﱠ امرﺃةً مَرﱠتْ بِهِ تَعَصّفَ رِيْحُهَا, فقال: يا ﺃمَةَ الجَبّارِ! المسجدَ تُرِيْدِيْنَ؟ قالت: نعم, قال: وَلَهُ تَطَيّبْتِ؟ قالت: نعم, قال: فارْجِعِي فاغْسِلِي, ﻓﺈني سَمِعْتُ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يقول: ما مِنْ امرﺃةٍ تَخْرُجُ ﺇلى المسجدِ تَعَصّفَ رِيْحُها فلا يَقْبَلُ اللهُ منها صلاةً حَتّى تَرْجِعَ ﺇلى بَيْتِهَا فَتَغْتَسِلَ
"Bahwa seorang wanita berpapasan dan bau wewangiannya menerpanya. Maka Abu Hurairah berkata: "Wahai hamba Allah! Apakah kamu hendak ke masjid?" Ia menjawab: "Ya"! Abu Hurairah kemudian berkata lagi: "Pulanglah saja, lalu mandilah! Karena sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda: "Jika seorang wanita keluar menuju masjid sedangkan bau wewangiannya menghembus maka Allah tidak menerima shalatnya, sehingga ia pulang lagi menuju rumahnya lalu mandi."
f. Syarat keenam; Tidak menyerupai pakaian laki-laki
Terdapat beberapa hadis şahīh yang menunjukkan tentang larangan –bahkan Allah melaknat- seorang wanita menyerupai laki-laki, baik dalam hal pakaian maupun yang lainnya. Perilaku ini termasuk dosa besar menurut pendapat yang lebih kuat. Setidaknya ada empat hadis yang dijadikan landasan bagi al-Albāniy dalam membuat syarat pakaian (baca: jilbab) wanita muslimah yang keenam ini; yakni:
1) Hadis yang diriwayatkan Abū Hurairah ra[6]
لَعَنَ رسولُ الله صلى الله عليه وسلم الرﱠجُلَ يَلْبَسُ لُبْسَةَ المَرْﺃةِ, والمَرْﺃةَ تَلْبَسُ لُبْسَةَ الرﱠجُلِ
"Rasulullah saw melaknat pria yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian pria."
2) Hadis yang diriwayatkan dari Abdullāh bin Amru[7]
ليس مِنّا مَنْ تَشَبّهَ بالرِجالِ مِنَ النسَاءِ, ولا مَنْ تَشَبّهَ بالنساءِ مِن الرِجالِ
"Tidak termasuk golongan kami para wanita yang menyerupakan diri dengan kaum pria dan kaum pria yang menyerupakan diri dengan kaum wanita."
3) Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu 'Abbās ra
لَعَنَ النّبِي صلى الله عليه وسلم المُخَنّثِينَ مِنَ الرِجالِ, والمُتَرَجِّلاتِ مِنَ النساءِ وقال: ﺃخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ. قال: ﻓﺄخْرَجَ النّبيُّ صلى الله عليه وسلم فُلانًا, وﺃخْرَجَ عُمَرُ فُلانًا
"Nabi saw melaknat kaum pria yang bertingkah seperti wanita, dan kaum wanita yang bertingkah seperti pria. Beliau bersabda: 'Keluarkanlah mereka dari rumah kalian.' Nabi pun mengeluarkan si fulan dan Umar mengeluarkan si fulan."
Dalam lafaz yang lain:[8]
لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم المُتَشَبِهين من الرجال بالنساء, والمتشبهاتِ من النساء بالرجال
4) Hadis yang diriwayatkan dari Abdullāh Ibnu Umar[9]
ثلاث لا يدخلون الجنة ولا ينظرُ اللهُ ﺇليهم يومَ القيامة: العاقﱡ وَالِدَيْهِ, والمرﺃةُ المُترَجِلَةُ المتشبهة بالرجال, والدﱠيُوثُ
"Tiga golongan yanag tidak akan masuk surga dan Allah tidak akan memandang mereka pada hari kiamat; Orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang bertingkah seperti pria dan menyerupakan diri dengan pria, dan dayus (orang yang tidak memiliki rasa cemburu)."
5) Dari Abdullāh bin Abī Mulaikah yang berkata:[10] Suatu ketika 'Aisyah ditanya: Bagaimana pendapatmu tentang wanita yang memakai sandal? Ia mnejawab:
لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الرﱠجُلةَ من النساء
"Raulullah saw melaknat wanita-wanita yang bertingkah seperti laki-laki."
g. Syarat ketujuh; Tidak menyerupai pakaian wanita-wanita kafir
Syari'at telah menetapkan bahwa kaum muslimin -baik laki-laki maupun perempuan- dilarang menyerupai (bertasyabuh) kaum kafir baik dalam ibadah, perayaan hari raya, maupun dalam hal berpakaian. Dalam berbagai ayat al-Qur'ān (Surat al-Jāsiyah: 16-18, al-Ra'd: 36-37, al-Hadīd: 16, al-Baqarah: 104) disebutkan tentang perilaku orang-orang kafir yang banyak melakukan kemaksiatan kepada Allah. Jika demikian keadaan orang-orang kafir, sungguh tidak pantas bagi kaum muslimin mengikuti mereka dalam segala aspeknya.
Dalam masalah berpakaian, terdapat banyak asar sahabat yang menunjukkan larangan menyerupai atau mengikuti orang-orang kafir; diantaranya adalahi:
1) Dari Abdullāh bin Amru bin al-'Aş yang berkata:[11]
رﺃى رسول الله صلىالله عليه وسلم ثوبين مُعَصفَرَين, فقال: ﺇنﱠ هذه من ثياب الكفار فلا تلبِسْها
"Rasulullah saw melihatku mengenakan dua buah kain yang diwarnai dengan 'usfur, maka beliau bersabda: "Sungguh, ini merupakan pakaian orang-orang kafir, maka jangan memakainya."
2) Dari 'Ali ra diriwayatkan secara marfu':
ﺇياكم ولبوس الرهبانِ, ﻓﺈنه مَن تَزَيّابهم ﺃو تشبه, فليس مني
"Janganlah kalian memakai pakaian para pendeta, karena barangsiapa mengenakan pakaian mereka atau menyerupakan diri dengan mereka, bukan dari golonganku."
3) Dari Abū Umāmah yang berkata:[12]
"Suatu ketika Rasūlullāh saw keluar di tengah-tengah para tokoh dari kalangan Anshar, jenggot mereka berwarna putih. Beliau bersabda: "Wahai sekalian orang Anshar! Semirlah dengan warna merah dan kuning, selisihilah ahli kitab!" Maka kami berkata: "Wahai Rasulullah saw, Sesungguhnya ahli kitab memakai celana, tetapi tidak memakai sarung!" Maka Rasulullah saw bersabda: "Pakaialah celana dan sarung, selisihilah ahli kitab!" Kami berkata: "Wahai Rasulullah saw, sesungguhnya ahli kitab berjalan dengan kaki telanjang dan tidak mau memakai alas kaki." Beliau bersabda: "Berjalanlah dengan kaki telanjang maupun dengan alas kaki, selisihilah ahli kitab!" Kami berkata: "Wahai Rasulullah saw, sesungguhnya ahli kitab memangkas jenggot mereka dan memanjangkan kumis mereka." Beliau bersabda: "Pangkaslah kumis kalian dan panjangkanlah jenggot kalian, selisihilah ahli kitab!"
4) Dari Ibnu Umar ra, ia berkata: "Rasūlullāh saw bersabda:[13]
خالفوا المشركين, ﺃحْفُوا الشوَارِبَ, وﺃوفوا اللحْيَ
"Selisihilah orang-orang musyrik, pangkaslah kumis dan biarkanlah jenggot tumbuh panjang."
h. Syarat kedelapan; Bukan pakaian untuk mencari popularitas
Syarat kedelapan ini sesuai dengan hadis Ibnu Umar ra yang berkata: Rasūlullāh saw bersabda:[14]
من لبس ثوبَ شُهْرَةٍ في الدنيا ﺃلبسُهُ اللهُ ثوبَ مُذِلةٍ يومَ القيامة, ثم ﺃُلْهِبَ فيه نارا
"Barangsiapa mengenakan pakaian syuhrah (untuk mencari popularitas) di dunia, niscaya Allah mengenakan pakaian kehinaan kepadanya pada hari kiamat, kemudian membakarnya dengan api neraka."
Pakaian syuhrah adalah setiap pakaian yang dipakai dengan maksud mencari popularitas di tengah manusia, baik pakaian itu mahal maupun bernilai rendah.
[1] Abu al-Fidā' al-Hāfiz Ibnu Kasīr, Tafsir al-Qur'ān al-'Azīm (Beirūt : Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1422/2001), hlm. 287.
[3] Muhammad Nāşiruddīn al-Albāniy, Jilbāb al- Mar'ah al-Muslimah…., hlm. 40.
[4] Dikeluarkan oleh Ibnu Sa'ad (VIII/71) dengan isnad şahīh berdasarkan syarat Muslim.
[5] Dikeluarkan oleh al-Nasā'iy, Abū Dāwud (4173), al-Tirmiżi (kitab al-Ādab/2786), al-Hākim, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibbān. Al-Tirmiżi menyatakan hasan şahīh, al-Hākim menyatakan şahīhul isnad dan di sepakati oleh al-Żahabi. al-Albāniy menyatakan isnadnya hasan. Lihat Abu 'Isa Muhammad bin 'Isa bin Sūrah, Sunan al-Tirmiżi (Beirūt : Dār al-Fikr, t.h.), hlm. 98-99.
[6] Dikeluarkan oleh Abu Dawud (II/182), Ibnu Majah (I/588), al-Hakim (IV/19), dan Ahmad (II/325). Al-Hakim berkata: "Hadis ini shahih menurut syarat Muslim"
[7] Dikeluarkan oleh Ahmad (II/199-200)
[8] Dikeluarkan oleh al-Bukhāri (X/274), Abū Dāwud (II/305), al-Darimi (II/280-281), dan Ahmad (no. 1982, 2066, dan 2123)
[9] Dikeluarkan oleh al-Nasā'i (I/357), al-Hākim (I/72, dan IV/146-147), al-Baihaqi (X/226), dan Ahmad (no. 6180). Al-Hākim berkata: "Sanadnya şahīh."
[10] Dikeluarkan oleh Abū Dāwud (II/184). Hadis ini şahīh berdasarkan syahid-syahid.
[11] Dikeluarkan oleh Muslim (VI/144), al-Nasā'i (II/298), al-Hākim (IV/190), dan Ahmad (II/162, 164, 193, 207, dan 211).
[12] Dikeluarkan oleh Ahmad (V/264). Isnad hadis ini hasan, seluruh periwayatnya siqah, kecuali al-Qasim, Ia seorang periwayat yang hasan hadisnya.
[13] Dikeluarkan oleh al-Bukhāri (X/288), Muslim (I/153)
0 komentar:
Posting Komentar