Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Ketika Nabi Musa berjumpa dengan guru yang dicarinya dan memohon kepadanya agar diterima menjadi murid, persyaratan yang diminta gurunya ialah kesabaran untuk menjaga tata krama seorang guru, yakni bersabar menanti tahapan pelajaran tanpa mendesak atau mempertanyakan sesuatu yang belum dibahas, tidak menentang, dan tidak memprotes gurunya.
Dalam Alquran dibahasakan Nabi Musa menaruh harapan besar untuk diterima menjadi murid, Musa berkata kepada Khidir, “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. Al-Kahfi: 66).
Lalu sang guru menjawab, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.” (QS. Al-Kahfi: 67).
Musa agak tercengang sejenak sambil berpikir bagaimana mungkin calon guru yang baru dijumpainya mengerti kalau dia tidak sanggup untuk bersabar. Musa kembali menjawab, “Insya Allah, kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.” (QS. Al-Kahfi: 69).
Akhirnya Musa diterima sebagai murid, namun ketentuan pertama yang harus dipenuhi Musa dari gurunya ialah “Jika kamu mengikutiku, janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.” (QS. Al-Kahfi: 70).
Keduanya berangkat ke sebuah tempat yang tidak jelas, dan keduanya tiba di sebuah tempat di pinggir pantai. Di pantai sang guru melakukan sesuatu yang sangat aneh bagi Musa, yaitu melubangi perahu-perahu nelayan miskin di tempat itu. Musa spontan menyatakan keberatannya, “Mengapa kamu melobangi perahu itu, yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.” (QS. Al-Kahfi: 71).
Pertanyaan Musa yang walaupun diyakini secara akal normal tidak ada yang salah, namun sang guru menganggap sikap batin yang mendorong Musa mengeluarkan pertanyaan dan tanggapan belumlah mencerminkan murid yang pantas untuk memperoleh ilmu ladunni (QS. Al-Kahfi: 65), lalu gurunya memberikan teguran, “Bukankah aku telah berkata, ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.” (QS. Al-Kahfi: 72).
Menyadari kekeliruan dengan kelancangannya mempertanyakan kebijakan sang guru, Musa memohon maaf kepada gurunya, “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku, dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.” (QS. Al-Kahfi: 73).
Apa yang dialami Musa mengingatkan kita kepada sikap malaikat yang mempertanyakan kebijakan Tuhan untuk menciptakan pendatang baru yang bernama Adam dari jenis manusia.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’.” (QS. Al-Baqarah: 30).
Menanggapi tanggapan balik Allah di ujung ayat tersebut, malaikat juga memohon ampun terhadap kelancangannya. “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 32).
Seandainya Musa menyadari dan belajar apa ending dari cerita malaikat ini tentu tidak akan terjadi teguran dari gurunya. Seperti kita ketahui, pada akhirnya malaikat memahami rahasia besar yang terkandung di dalam diri manusia mengapa ia diciptakan (lihat artikel penciptaan mikrokosmos edisi lalu).
Permohonan sang murid diterima, dan keduanya kembali melanjutkan perjalanan. Ujian kedua terjadi bagi Musa ketika keduanya menjumpai kerumunan anak-anak kecil sedang bermain dan gurunya tiba-tiba dengan membunuh salah seorang di antaranya.
Alangkah kagetnya Musa dan spontan memprotes dan menyatakan penyesalan perbuatan gurunya dengan mengatakan, “Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar.” (QS. Al-Kahfi: 74).
Gurunya dengan tenang menegur muridnya dengan bahasa yang sama, “Bukankah sudah kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?” (QS. Al-Kahfi: 75).
Musa berusaha untuk bersabar dan meminta maaf kepada gurunya. Ia meyakinkan gurunya dengan mengatakan, “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu. Sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku.” (QS. Al-Kahfi: 75). Akhirnya, sang guru mengizinkan Musa mengikutinya.
Perjalanan keduanya dilanjutkan ke suatu arah yang tidak jelas. Musa mulai melihat keraguan di dalam dirinya terhadap keabsahan gurunya. Seolah-olah ia ragu apakah ia tidak salah pilih guru.
Keduanya akhirnya berhenti di sebuah reruntuhan bangunan tua. Sang guru memintanya untuk membangun reruntuhan gedung ini. Musa dengan penuh semangat mengerjakannya dengan harapan mungkin di gedung inilah nanti akan mulai diajar, setelah sekian lama Musa belum pernah merasa diajar dari gurunya.
Alangkah kagetnya Musa setelah bangunan tua ini selesai dipugar lantainya, sang guru memintanya untuk meninggalkan tempat itu. Musa akhirnya bertanya untuk apa kita menghabiskan waktu dan energi membangun bangunan ini setelah selesai lalu ditinggalkan begitu saja.
Mendengarkan pertanyaan yang bernada protes ini, sang guru akan meninggalkan muridnya. Musa pun kelihatannya tidak keberatan karena yang diperoleh selama sekian lama hanyalah berbagai keanehan yang kontroversial.
Namun sebelum keduanya berpisah, sang guru sejenak memberikan penjelasan kepada muridnya. “Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.” (QS. Al-Kahfi: 79).
Sedangkan, pembunuhan anak kecil dijelaskan. “Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu, dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).” (QS. Al-Kahfi: 81).
Penjelasan terakhir mengenai pemugaran bangunan tua itu. “Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (QS. Al-Kahfi: 82).
Nabi Musa hanya bisa tercengang sesaat setelah gurunya meninggalkannya. Akhirnya Nabi Musa sadar bahwa pelajaran tidak mesti harus di dalam sebuah ruangan yang dilakukan dengan cara-cara pengajaran konvensional.
Belajar kearifan ternyata tidak mesti membutuhkan media yang lengkap. Pelajaran kearifan itu melekat di dalam pengalaman setiap derap langkah dan turun naiknya napas seorang anak manusia. Pengalaman hidup adalah guru kearifan paling sejati. Selamat belajar.
Sumber: Republika Newsroom
Kamis, 07 Juni 2012
0 komentar:
Posting Komentar