آفَةُ الدِّيْنِ ثَلاَثَةٌ: فَقِيْهٌ فَاجِرٌ وَإِمَامٌ جَائِرٌ وَمُجْتَهِدٌ جَاهِلٌ (رواه الديلمي في "مسند الفردوس)
Hancurnya agama dikarenakan tiga hal : ulama yang berbuat maksiat, pemimpin yang sewenang-wenang, dan mujtahid yang bodoh (HR. Ad-Dailami di dalam Musnad al-Firdaus)


Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ulama adalah pewaris sah Nabi Muhammad S.a.w. Namun, Nabi adalah manusia biasa, yang terikat oleh ruang dan waktu, sehingga secara fisik Rasulullah S.a.w tidak mungkin akan hidup selamanya. Maka, misi dan risalah kenabian menjadi tanggungjawab para ulama untuk menyampaikannya kepada masyarakat sepeninggal Beliau. Sebab, pasca Beliau, ulama dipandang sebagai orang yang paling tahu tentang agama. Maka secara otomatis ulama kemudian dinobatkan sebagai panutan bagi masyarakat dalam keberagamaan.

Sebetulnya, secara kebahasaan “ulama” berarti orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan (“ulama” adalah bentuk jamak (plural) dari “alim” (tunggal)), terlepas apakah ilmu yang dimilikinya merupakan ilmu-ilmu tentang keagamaan maupun ilmu pengetahuan secara umum. Artinya, secara harfiah seorang insinyur juga bisa disebut sebagai “alim”, demikian pula seorang dokter, ekonom dan lain sebagainya. Dalam perkembangannya, budaya Islam saat ini mengenal istilah “ulama” hanya digunakan untuk orang yang ahli dalam ilmu agama. Maka dari itu, bisa dipahami apabila kemudian terjadi pergeseran makna bahwa ulama lalu diidentikkan dengan sebuatan “kyai”, karena ia adalah orang yang paham tentang agama.

Dalam Islam, adanya para ulama terjadi secara informal, yaitu bahwa seseorang disebut “ulama” setelah adanya pengakuan dari masyarakat. Tidak seperti dalam tradisi Kristen dimana para pendetanya dinobatkan melalui sebuah pelantikan atau pentahbisan. Meskipun menjadi rujukan dalam hal keberagamaan, ulama tidak berarti memiliki kewenangan atas segalanya dalam keberagamaan: fatwa-fatwa para ulama tidaklah mengikat mutlak, dan dapat dipertanyakan tingkat keabsahannya dengan mengemukakan sumber atau dasar-dasar ilmu lain yang lebih absah, kuat dan lebih tepat.

Dengan kata lain, fatwa ulama hanya bisa dibantah dengan fatwa lain melalui argumen-argumen kuat yang terbuka untuk diperdebatkan. Artinya, fatwa seorang ulama adalah sebanding dengan tingkat keilmuan yang dimilikinya. Bagi orang awam, tidak ada pilihan kecuali mengikuti salah satu fatwa ulama diantara fatwa-fatwa yang ada, atau mengikuti semuanya. Yang tidak boleh bagi orang awam adalah mengabaikan fatwa para ulama, lalu membuat fatwa sendiri baik bagi dirinya maupun orang lain. Sebab, orang awam dianggap tidak cukup kuat untuk mendasarkan fatwanya pada sumber-sumber yang absah dan otentik, karena tidak cukup ilmu. Dengan demikian, yang berhak mengeluarkan fatwa dalam hal agama adalah ulama, yaitu ulama yang benar-benar alim dan mumpuni secara ilmu agama, sebab mereka adalah para mujtahid. Kalau ada orang awam yang berfatwa, itu namanya mujtahid bodoh, dan itulah yang menyebabkan kehancuran agama sebagaimana disinyalir dalam hadits di atas. Sekarang ini banyak orang awam berlagak jadi ulama, lalu memberi fatwa, dan bahayanya kalau fatwa yang tidak karu-karuan itu sampai diikuti orang maka akan menjerumuskan. Di zaman ini membedakan mana yang ulama “asli” dengan ulama “karbitan” rasa-rasanya susah, karena makin banyak orang-orang bodoh yang tiba-tiba menjadi mujtahid. Akibat pengaruh media massa, sekarang menjadi sulit membedakan antara ulama sejati dengan paranormal: ulama ya ulama, paranormal ya paranormal ! Ulama adalah orang yang menuntun dirinya sendiri dan orang lain menuju kebaikan sesuai dengan tuntunan agama, sedangkan paranormal adalah tukang ramal yang sok tahu tentang masa depan yang belum terjadi.

Kita sama sekali tidak disuruh bertanya kepada paranormal, apapun jenisnya! Karena Al-Qur’an hanya memerintahkan kita untuk bertanya hanya kepada ulama apa-apa yang belum kita diketahui. “Fas’alū ahlad dzikri in kuntum lā ta’lamūn: Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui (Lihat, Q, s. an-Nahl/16:43). Dalam ayat tersebut, orang yang mempunyai pengetahuan disebutkan sebagai “ahli dzikir”. Seorang ulama adalah sosok seorang ahli dzikir, baik dzikir bil qalbi (dengan hati) maupun dzikir bil ‘aqli (dengan nalar). Paranormal sama sekali bukan kelompok ahli dzikir !

Oleh karenanya, ulama dipandang sebagai orang yang tepat untuk mengawal cara keberagamaan orang-orang awam. Maka tepat sekali ungkapan hadits Nabi yang berbunyi “al-ulamā’ waratsat al-anbiyā’”: ulama adalah pewaris para nabi. Mengingat kedudukannya sebagai pewaris para nabi, maka Islam menganjurkan agar masyarakat memandang penuh hormat kepada para ulama. Sebab, Al-Qur’an mensinyalir bahwa kalangan ulama adalah kelompok orang yang paling mampu bertaqwa kepada Allah S.w.t.

…Sesungguhnya orang yang paling takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama (Lihat, Q, s. Fathir/ 35:28).

Justru di situlah letak masalahnya. Umat Islam sekarang ini sering mengalami kebingungan yang luar biasa, karena dalam realita mereka sering melihat para ulama tidak seperti yang digambarkan oleh Al-Qur’an. Sebagai orang yang paham betul tentang agama dan menjadi panutan masyarakat, ulama tidak sepantasnya melakukan hal-hal yang justru bertentangan dengan norma-norma agama.

Misalnya, seorang ulama tidak boleh bermain perempuan, karena selain ia mengetahui hukum-hukumnya di dalam agama, bisa-bisa kelakuan ulama yang suka main perempuan akan ditiru oleh para pengikutnya. Justru ulama harus menjadi teladan dalam berumah tangga, dan menjadi panutan bagi keluarga sakinah. Ulama yang benar-benar ulama adalah yang rumah tangganya damai, tentram dan sejahtera: istrinya solehah dan anak-anaknya merupakan contoh bagi mereka yang ingin berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tuanya.

Ulama juga tidak boleh korupsi, apalagi berbohong kepada masyarakat, karena nanti bisa menjadi pembenaran bagi orang awam untuk melakukan tindakan serupa. Jangan sampai para koruptor di negeri ini mengeluarkan kata-kata “pembelaan” atas tindakannya: “ulama yang tahu agama saja bisa korupsi, apalagi kita yang awam”. Ada yang pernah bilang bahwa “apabila orang awam mencuri ayam itu hal biasa, tetapi kalau ada ulama jadi koruptor darimana logikanya?”

Seorang ulama juga tidak sepantasnya menjelek-jelekkan orang lain di depan pengikutnya, apalagi dilontarkan secara vulgar dan dengan kata-kata umpatan yang tidak senonoh. Ini yang sering terjadi ! Banyak ulama kita yang ketika berceramah di hadapan pengikutnya mendiskreditkan kelompok lain yang tidak sealiran, apalagi faktornya hanya karena perbedaan madzhab. Itu namanya pembodohan! Keliru ! Kaum muslimin jangan terus-menerus dibodohi dengan informasi-informasi yang sempit, melainkan mereka harus diberikan wawasan dan cakrawala ilmu yang luas, yang dapat mencerahkan pikiran dan nalar mereka khususnya dalam hal keberagamaan. Mendiskreditkan kelompok madzhab lain sama saja dengan tidak mengakui adanya imam-imam madzhab dalam Islam. Padahal madzhab-madzhab dalam Islam saling terkait satu sama lain: tidak ada seorang pun yang diyakini mengikuti secara mutlak salah satu madzhab tertentu. Mengikuti suatu madzhab tertentu boleh-boleh saja, tetapi sebatas dalam konteks untuk diri dan kelompoknya sendiri. Kalau sudah keluar dari komunitasnya, maka yang harus dikedepankan adalah ukhuwwah Islamiyahnya, yaitu perasaan bahwa mereka sama-sama masih beratapkan satu iman, satu agama, satu Tuhan, dan satu Nabi. Perbedaan afiliasi partai politik, ormas, suku, ras, bahasa dan lain sebagainya tidaklah berarti apa-apa jika dibandingkan dengan persamaan bahwa mereka sama-sama masih memegang teguh dua kalimat syahadat.

Apabila terdapat seorang ulama yang mendiskreditkan kelompok lain, maka akan memancing kelompok lain tersebut untuk melakukan hal serupa. Maka, jadilah saling olok-olok, saling serang, bahkan –na’udzubillah—saling memfitnah. Sebab itu, kalau terjadi ketegangan diantara sesama umat Islam berlainan madzhab, maka yang paling bertanggungjawab adalah para ulamanya. Kalau ulamanya saling berantem, bagaimana nanti pengikutnya? Padahal, seharusnya, ulama adalah orang yang paling depan dalam hal memberi contoh bagi ukhuwwah Islamiyyah. Ulama harus bisa menjadi perekat umat, dan berusaha mendekatkan kelompok-kelompok yang ada.

Berpeganglah kamu semua pada tali agama Allah, dan janganlah bercerai-berai, ingatlah kenikmatan Allah yang melimpah kepadamu, ketika kamu semuanya bermusuh-musuhan, kemudian Allah melembutkan hati-hatimu sehingga dengan itu kamu menjadi bersaudar, saat itu kamu berada di tepi jurang kehancuran, kemudian Allah menyelamatkan kamu semua. (Q, s. Alu Imrān/3:103)

Para ulama juga harus bisa menjadi contoh dalam hal kesederhanaan hidup dan keluhuran budi pekerti. Malah seharusnya ulama zaman sekarang ini dapat mencegah mewabahnya budaya konsumerisme yang lambat-laun terus menggerogoti jati diri kaum muslimin. Jangan sampai terjadi ulama menjadi contoh dalam hal kemewahan hidup penuh keglamoran, meskipun tetap harus digarisbawahi bahwa kaya tidak selalu berarti mewah, seperti halnya dengan miskin tidak identik dengan kesederhanaan. Artinya, ulama menjadi kaya boleh-boleh saja, yang tidak boleh adalah bermewah-mewahan yaitu suatu kekayaan yang digunakan untuk tujuan pamer atau gengsi-gengsian, bukan untuk tujuan menciptakan kesejahteraan bagi lingkungan sekitarnya melalui zakat dan shadaqah.

Ulama yang sombong, merasa paling suci dan menganggap dirinya paling benar, adalah cermin dari rendahnya akhlak dan kedangkalan ilmu yang dimilikinya. Ulama yang santun, bijak dan rendah hati adalah ulama yang justru mendapat simpati dari masyarakat. Wibawa yang terpancar dari ulama bukan karena jubahnya, surbannya, pecinya, wewangiannya, atau bahkan gelarnya, melainkan karena kedalaman ilmu dan kerendahan hatinya untuk senantiasa menebar senyum dan menyapa orang-orang di sekitarnya. Artinya, jangan sampai orang-orang awam menyegani ulama karena atribut-atribut lahiriahnya, karena yang seperti itu keliru. Seorang ulama disegani masyarakat karena ilmu dan akhlaknya !

Ceramah-ceramah yang disampaikan oleh ulama harus bersifat menyejukkan dan  menentramkan jiwa. Untaian kata-katanya harus dapat membangkitkan semangat orang-orang awam untuk melaksanakan ajaran-ajaran agama secara benar dan baik. Idealnya setelah mendengarkan ceramah dari ulama, orang akan berubah menjadi lebih baik. Bahkan kalau ada beberapa orang yang sedang berseteru, maka setelah mengikuti pengajian yang disampaikan ulama mereka akan bersalam-salaman untuk saling memaafkan dan menjadi bersaudara kembali. Bukan sebaliknya, selepas pengajian malah menciptakan permusuhan baru di kalangan umat Islam. Terang saja, yang seperti ini keliru besar.

Kekeliruan-kekeliruan itu tidak boleh terjadi, apalagi dilakukan oleh para ulama. Ulama harus istiqamah dengan fungsi dan tugasnya dalam mengemban risalah dakwah yang diwariskan Rasulullah S.a.w. Ulama yang istiqamah adalah kekasih Allah S.w.t. Predikat “pewaris nabi” jangan mudah dipertaruhkan untuk hal-hal yang sifatnya duniawi an sich, apalagi yang jelas-jelas bertentangan dengan nash-nash dalam Al-Qur’an maupun Sunnah. Mudah-mudahan, negeri ini terbebas dari lahirnya ulama “abu-abu” yaitu ulama yang lahiriah nampak seperti ulama beneran, tapi akhlaknya sama sekali tidak mencerminkan sebagai akhlak para nabi. Inilah yang dikhawatirkan sekaligus dipesankan Nabi S.a.w agar jangan sampai terjadi di tengah-tengah kita, supaya agama ini tidak hancur-lebur karena ulah para ulamanya sendiri.

أَبْغَضُ الْعِبَادِ إلىَ اللهِ مَنْ كاَنَ ثَوْباَهُ خَيْرًا مِنْ عَمَلِهِ: أَنْ تَكُوْنَ ثِياَبُهُ ثِيَابَ الأَنْبِيَاءِ وَعَمَلُهُ عَمَلَ الْجَبَّارِيْنَ (رواه الديلمي)

Hamba yang paling dibenci Allah adalah yang pakaiannya lebih baik dari perbuatannya: yaitu yang pakaiannya seperti pakaian para nabi, akan tetapi perbuatannya seperti perbuatan orang-orang yang bengis (HR. Ad-Dailami)


0 komentar:

Agenda Harian

Semoga kita senantiasa terpacu untuk mengukir prestasi amal yang akan memperberat timbangan kebaikan di yaumil akhir, berikut rangkaian yang bisa dilakukan

1. Agenda pada sepertiga malam akhir

a. Menunaikan shalat tahajjud dengan memanjangkan waktu pada saat ruku’ dan sujud di dalamnya,

b. Menunaikan shalat witir

c. Duduk untuk berdoa dan memohon ampun kepada Allah hingga azan subuh

Rasulullah saw bersabda:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

“Sesungguhnya Allah SWT selalu turun pada setiap malam menuju langit dunia saat 1/3 malam terakhir, dan Dia berkata: “Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku maka akan Aku kabulkan, dan barangsiapa yang meminta kepada-Ku maka akan Aku berikan, dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku maka akan Aku ampuni”. (HR. Bukhari Muslim)


2. Agenda Setelah Terbit Fajar

a. Menjawab seruan azan untuk shalat subuh

” الَّلهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِي وَعَدْتَهُ “

“Ya Allah, Tuhan pemilik seruan yang sempurna ini, shalat yang telah dikumandangkan, berikanlah kepada Nabi Muhammad wasilah dan karunia, dan bangkitkanlah dia pada tempat yang terpuji seperti yang telah Engkau janjikan. (Ditashih oleh Al-Albani)

b. Menunaikan shalat sunnah fajar di rumah dua rakaat

Rasulullah saw bersabda:

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا

“Dua rakaat sunnah fajar lebih baik dari dunia dan segala isinya”. (Muslim)

وَ قَدْ قَرَأَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِي رَكْعَتَي الْفَجْرِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدَ

“Nabi saw pada dua rakaat sunnah fajar membaca surat “Qul ya ayyuhal kafirun” dan “Qul huwallahu ahad”.

c. Menunaikan shalat subuh berjamaah di masjid –khususnya- bagi laki-laki.

Rasulullah saw bersabda:

وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الْعَتْمَةِ وَالصُّبْحِ لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

“Sekiranya manusia tahu apa yang ada dalam kegelapan dan subuh maka mereka akan mendatanginya walau dalam keadaan tergopoh-gopoh” (Muttafaqun alaih)

بَشِّرِ الْمَشَّائِيْنَ فِي الظّلَمِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِالنُّوْرِ التَّامِّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Berikanlah kabar gembira kepada para pejalan di kegelapan menuju masjid dengan cahaya yang sempurna pada hari kiamat”. (Tirmidzi dan ibnu Majah)

d. Menyibukkan diri dengan doa, dzikir atau tilawah Al-Quran hingga waktu iqamat shalat

Rasulullah saw bersabda:

الدُّعَاءُ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ

“Doa antara adzan dan iqamat tidak akan ditolak” (Ahmad dan Tirmidzi dan Abu Daud)

e. Duduk di masjid bagi laki-laki /mushalla bagi wanita untuk berdzikir dan membaca dzikir waktu pagi

Dalam hadits nabi disebutkan:

كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إَذَا صَلَّى الْفَجْرَ تَرَبَّعَ فِي مَجْلِسِهِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ الْحَسَنَاءُ

” Nabi saw jika selesai shalat fajar duduk di tempat duduknya hingga terbit matahari yang ke kuning-kuningan”. (Muslim)

Agenda prioritas

Membaca Al-Quran.

Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya waktu fajar itu disaksikan (malaikat). (Al-Isra : 78) Dan memiliki komitmen sesuai kemampuannya untuk selalu:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah lebih banyak dari itu semua, maka akan menuai kebaikan berlimpah insya Allah.

3. Menunaikan shalat Dhuha walau hanya dua rakaat

Rasulullah saw bersabda:

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى

“Setiap ruas tulang tubuh manusia wajib dikeluarkan sedekahnya, setiap hari ketika matahari terbit. Mendamaikan antara dua orang yang berselisih adalah sedekah, menolong orang dengan membantunya menaiki kendaraan atau mengangkat kan barang ke atas kendaraannya adalah sedekah, kata-kata yang baik adalah sedekah, tiap-tiap langkahmu untuk mengerjakan shalat adalah sedekah, dan membersihkan rintangan dari jalan adalah sedekah”. (Bukhari dan Muslim)

4. Berangkat kerja atau belajar dengan berharap karena Allah

Rasulullah saw bersabda:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمِلِ يَدِهِ، وَكَانَ دَاوُدُ لا يَأْكُلُ إِلا مِنْ عَمِلِ يَدِهِ

“Tidaklah seseorang memakan makanan, lebih baik dari yang didapat oleh tangannya sendiri, dan bahwa nabi Daud makan dari hasil tangannya sendiri”. (Bukhari)

Dalam hadits lainnya nabi juga bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang berjalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga”. (Muslim)

d. Menyibukkan diri dengan dzikir sepanjang hari

Allah berfirman :

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ketahuilah dengan berdzikir kepada Allah maka hati akan menjadi tenang” (Ra’ad : 28)

Rasulullah saw bersabda:

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهَ أَنْ تَمُوْتَ ولسانُك رَطْبٌ من ذِكْرِ الله

“Sebaik-baik perbuatan kepada Allah adalah saat engkau mati sementara lidahmu basah dari berdzikir kepada Allah” (Thabrani dan Ibnu Hibban) .

5. Agenda saat shalat Zhuhur

a. Menjawab azan untuk shalat Zhuhur, lalu menunaikan shalat Zhuhur berjamaah di Masjid khususnya bagi laki-laki

b. Menunaikan sunnah rawatib sebelum Zhuhur 4 rakaat dan 2 rakaat setelah Zhuhur

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang shalat 12 rakaat pada siang dan malam hari maka Allah akan membangunkan baginya dengannya rumah di surga”. (Muslim).

6. Agenda saat dan setelah shalat Ashar

a. Menjawab azan untuk shalat Ashar, kemudian dilanjutkan dengan menunaikan shalat Ashar secara berjamaah di masjid

b. Mendengarkan nasihat di masjid (jika ada)

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ لا يُرِيدُ إِلا أَنْ يَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ يَعْلَمَهُ، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ حَاجٍّ تَامًّا حِجَّتُهُ

“Barangsiapa yang pergi ke masjid tidak menginginkan yang lain kecuali belajar kebaikan atau mengajarkannya, maka baginya ganjaran haji secara sempurna”. (Thabrani – hasan shahih)

c. Istirahat sejenak dengan niat yang karena Allah

Rasulullah saw bersabda:

وَإِنَّ لِبَدَنِكَ عَلَيْكَ حَقٌّ

“Sesungguhnya bagi setiap tubuh atasmu ada haknya”.

Agenda prioritas:

Membaca Al-Quran dan berkomitmen semampunya untuk:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan, maka akan menuai kebaikan yang berlimpah insya Allah.

7. Agenda sebelum Maghrib

a. Memperhatikan urusan rumah tangga – melakukan mudzakarah – Menghafal Al-Quran

b. Mendengarkan ceramah, nasihat, khutbah, untaian hikmah atau dakwah melalui media

c. Menyibukkan diri dengan doa

Rasulullah saw bersabda:

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

“Doa adalah ibadah”

8. Agenda setelah terbenam matahari

a. Menjawab azan untuk shalat Maghrib

b. Menunaikan shalat Maghrib secara berjamaah di masjid (khususnya bagi laki-laki)

c. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Maghrib – 2 rakaat

d. Membaca dzikir sore

e. Mempersiapkan diri untuk shalat Isya lalu melangkahkan kaki menuju masjid

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً

“Barangsiapa yang bersuci/berwudhu kemudian berjalan menuju salah satu dari rumah-rumah Allah untuk menunaikan salah satu kewajiban dari kewajiban Allah, maka langkah-langkahnya akan menggugurkan kesalahan dan yang lainnya mengangkat derajatnya”. (Muslim)

9. Agenda pada waktu shalat Isya

a. Menjawab azan untuk shalat Isya kemudian menunaikan shalat Isya secara jamaah di masjid

b. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Isya – 2 rakaat

c. Duduk bersama keluarga/melakukan silaturahim

d. Mendengarkan ceramah, nasihat dan untaian hikmah di Masjid

e. Dakwah melalui media atau lainnya

f. Melakukan mudzakarah

g. Menghafal Al-Quran

Agenda prioritas

Membaca Al-Quran dengan berkomitmen sesuai dengan kemampuannya untuk:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan bacaan maka telah menuai kebaikan berlimpah insya Allah.


Apa yang kita jelaskan di sini merupakan contoh, sehingga tidak harus sama persis dengan yang kami sampaikan, kondisional tergantung masing-masing individu. Semoga ikhtiar ini bisa memandu kita untuk optimalisasi ibadah insya Allah. Allahu a’lam

Jazaakillah

Sedikit revisi dari : http://www.al-ikhwan.net/agenda-harian-ramadhan-menuju-bahagia-di-bulan-ramadhan-2989/

Isi Blog

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.