Pengaruh penolakan raja-raja di luar Jazirah Arab terhadap surat Rasul setelah para delegasinya kembali dari penyampaian dakwah (surat) membuat Rasul segera menyiapkan pasukan untuk jihad di luar Jazirah Arab. Beliau kemudian mendeteksi berita-berita tentang kerajaan Romawi dan Persi. Perbatasan Romawi menempel dengan batas wilayah Rasul. Karena itu, beliau menyelidiki kabar-kabar mereka. Beliau berpandangan bahwa dakwah Islam akan tersebar luas dan banyak ketika sudah keluar dari Jazirah Arab sehingga semua manusia dapat mengetahuinya. Karena itu, beliau juga melihat bahwa Syam adalah jendela pertama untuk jalan masuk dakwah.
Ketika Yaman sudah aman dengan ketundukan penguasa bawahan Kisra terhadap dakwah Islam, maka beliau mulai berpikir mengirim pasukan ke negeri Syam untuk memerangi mereka. Pada bulan Jumadil Ula tahun ke-8 setelah hijrah, yakni setelah perjanjian Hudaibiyyah dalam beberapa bulan, Rasul menyiapkan 3000 pasukan pejuang pilihan dari pahlawan-pahlawan Islam. Beliau mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai komandan pasukan. Pada waktu mengangkat Zaid, beliau berpesan, "Jika Zaid gugur, maka Ja'far bin Abi Thalib menggantikan posisinya. Jika Ja'far pun gugur, maka 'Abdullah bin Ruwaahah mengambil posisinya memimpin pasukan."
Pasukan berangkat dan Khalid bin Walid bersama mereka. Dia telah masuk Islam setelah perjanjian Hudaibiyyah. Rasul ikut mengantarkan mereka hingga tiba di luar Madinah dan sebelum pasukan berangkat, beliau berpesan lagi supaya mereka tidak memerangi wanita, tidak membunuh anak-anak, orang buta, bayi-bayi, tidak boleh merobohkan rumah-rumah, dan tidak menebang pohon-pohon. Kemudian wejangan-wejangan ditutup dengan doa bersama: "Semoga Allah selalu menemani kalian, mempertahankan kalian, dan mengembalikan kalian kepada kami dalam keadaan selamat."
Pasukan berangkat. Para komandannya menyusun strategi dengan menerapkan perang kilat, yaitu dengan membentuk sekelompok pasukan dari penduduk Syam di bawah seorang komandan dari kesatuan mereka. Cara ini mencontoh kebiasaan Nabi dalam beberapa peperangannya. Pasukan ini diberi tugas untuk menyerang musuh dengan cepat dan kembali menghilang. Mereka harus tetap berjalan di atas garis ini. Akan tetapi, ketika tiba di Ma'an, pasukan Islam baru menyadari bahwa Malik bin Zafilah telah mengumpulkan 100.000 tentara dari kabilah-kabilah Arab, sementara Hiraqlius sendiri datang dengan 100.000 pasukan. Berita ini tentu mengejutkan pasukan Islam dan sempat tinggal di Ma'anselama dua malam untuk memikirkan persoalan ini. Mereka berpikir langkah apa yang harus dilakukan dalam menghadapi pasukan besar yang jumlah dan kekuatannya amat menggiriskan. Pendapat yang terkuat di antara mereka mengusulkan agar menulis surat kepada Rasul untuk mengabarkan jumlah pasukan musuh yang begitu besar. Ada juga yang berpendapat agar segera meminta bantuan Rasul untuk menambah pasukan atau memerintahkan mereka dengan apa yang dilihat. Namun, Abdullah bin Ruwahah justru berpendapat lain. Dia maju lebih ke depan lalu berkata lantang di hadapan kaum muslimin, "Hai kaum, demi Allah, sesungguhnya yang kalian benci justru yang kalian cari, yaitu syahid! Kita keluar tidak memerangi manusia karena jumlah pasukan [yang besar], jika tidak dengan kekuatan, dan tidak juga dengan pasukan yang banyak. Kita tidak berperang kecuali dengan agama yang Allah memuliakan kita dengannya. Marilah kita berangka! Sesungguhnya di tengah kita akan ada satu di antara dua kebaikan: menang atau mati syahid!"
Kata-kata ini membakar semangat pasukan Islam. Kekuatan iman yang mendorong bertempur menjalar dan menembus jantung pasukan, sehingga mereka dipacu untuk melanjutkan perjalanan hingga tiba di Desa Masyarif. Di tempat ini, pasukan gabungan Romawi bertemu mereka, lalu mereka menyingkir dari Masyarif dan turun ke Mu'tah. Di tempat ini, pasukan Islam membuat pertahanan. Di tempat ini pula (Mu'tah) peperangan yang paling dahsyat dan menakutkan mulai terjadi. Pasukan Islam dan Romawi bertempur untuk saling mengalahkan. Maut mengangakan mulutnya yang merah. 3000 pasukan Islam yang mencari syahid harus bertempur mati-matian melawan 100.000 atau 200.000 pasukan kafir yang bersatu untuk membinasakan pasukan kaum muslimin. Api peperangan bergelombang dan bergulung-gulung seperti gulungan tungku api. Zaid bin Haritsah, komanda tempur pasukan Islam, membawa bendera Nabi dan bergerak maju ke jantung pertahanan musuh. Dia melihat maut membayang di hadapannya, namun dia tidak takut karena dia memang mencari syahid di jalan Allah. Zaid terus merangsek ke tengah pertahanan musuh dengan keberanian yang melampaui batas gambaran khayalan karena dia bertempur dengan mencari syahid. Hingga akhirnya, sebatang tombak musuh berhasil merobek tubuhnya. Zaid tersungkur dan bendera segera diambil Ja'far bin Abi Thalib. Dia seorang pemuda tampan dan pemberani. Umurnya masih 33 tahun. Hidupnya sudah dipasrahkan pada Allah. Laki-laki gagah, adik Ali bin Abi Thalib ini berperang dengan mencari syahid. Ketika musuh telah mengepung kudanya dan melukai tubuhnya, Ja'far justru semakin maju ke tengah musuh dengan memukulkan pedangnya memutar. Tiba-tiba seorang tentara Romawi menyerang dan memukulnya dari arah samping. Pukulan itu berhasil membelah tubuhnya menjadi dua dan Ja'far gugur. Lalu bendera disambar 'Abdullah bin Ruwahah, kemudian membawanya maju dengan menunggang kuda. Namun, untuk beberapa saat, 'Abdullah sempat ragu dan maju-mundur, akan tetapi akhirnya dia melesat ke depan dan berperang hingga akhirnya terbunuh juga di pedang musuh. Bendera diambil Tsabit bin Aqram seraya berteriak lantang, "Hai kaum muslimin, pilihlah seorang komandan yang patut di antara kalian!" Tidak berapa lama, mereka memilih Khalid bin Walid.
Khalid memegang bendera dan bergerak memutar sehingga berhasil merapatkan barisan pasukannya, kemudian membawanya berhenti untuk bertahan hingga memasuki malam. Pada waktu itu dua pasukan saling menahan diri untuk tidak berbenturan hingga waktu subuh. Di tengah malam, setelah melihat pasukan musuh yang sangat besar dan pasukannya yang semakin menyusut dan lemah, Khalid mengambil keputusan untuk menarik mundur pasukannya dengan tanpa berperang. Dengan pertimbangan ini, Khalid membagi-bagi pasukannya dalam beberapa kesatuan kecil dan memerintahkan mereka membuat asap (kepulan debu) dan keributan di waktu subuh yang sekiranya akan menimbulkan gambaran pada musuh bahwa pasukan Islam telah mendatangkan pasukan bantuan dari Nabi saw. Ketika taktik ini dilakukan, musuh benar-benar cemas dan mereka segera mengurungkan niat menyerang kaum muslimin. Pasukan Islam bergembira karena tanpa Khalid melanjutkan serangan, musuh sudah mengambil keputusan mundur, dan perang yang tidak berimbang tidak terjadi. Kemudian diputuskan pasukan kaum muslimin kembali ke Madinah meninggalkan medan dengan selamat berkat garis kebijakan yang diletakkan Khalid. Dengan demikian, mereka kembali dengan tanpa dikalahkan dan dihancurkan. Akan tetapi, dalam peperangan ini, mereka mendapat cobaan yang mengandung pelajaran yang baik.
Telah diketahui bahwa para komandan dan pasukan perang ini adalah pahlawan-pahlawan sejati. Mereka maju perang menyongsong maut. Bahkan, maut yang dilihat di depannya malah diterjang. Mereka terjun ke medan perang dan siap terbunuh, dan memang terbunuh. Mereka berani melakukan demikian karena Islam memerintah tiap muslim berperang di jalan-Nya sehingga mereka berhasil membunuh atau dibunuh. Sesungguhnya perang adalah perdagangan yang menguntungkan karena perang adalah jihad di jalan Allah. "Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga unuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh aau erbunuh. (Itu elah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar" (QS At-Taubah: 111). Karena itu, mereka berperang meski maut menjemput mereka. Semua muslim berperang hanya ketika harus berperang dengan tanpa melihat apakah maut akan menjadi mengakhirinya ataukah tidak? Dalam peperangan dan jihad semua perkara tidak bisa diukur dengan jumlah musuh, banyak dan sedikitnya. Akan tetapi, hanya diukur dengan hasil-hasil yang dihasilkan darinya dengan tanpa melihat tuntutan-tuntutan mengenai berbagai pengorbanan dan kesuksesan apapun yang menjadi harapan perang. Kaum muslimin berperng dengan pasukan Romawi di Mu'tah yang memang wajib bagi kaum muslimin untuk berperang, wajib bagi komandan-komandan pasukan untuk terjun ke medan perang yang mereka datang memang karenanya, meski maut merah sedang jongkok di hadapan mereka.
Karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk tidak takut mati dan tidak harus bagi mereka memperhitungkannya dengan satu perhitungan karena adanya sesuatu di jalan Allah. Rasulullah mengetahui bahwa pengiriman pasukannya ke Negara Romawi berada dalam keterbatasan-keterbatasan yang tentu mengkhawatirkan dan penuh bahaya. Akan tetapi, kekhawatiran dan bahaya ini harus menimbulkan rasa takut pada pasukan Romawi ketika mereka melihat semangat tempur pasukan kaum muslimin dan kegilaan mereka mencari mati, meski jumlah mereka sedikit. Kekhawatiran ini harus mampu merumuskan (menciptakan) jalan bagi kaum muslimin untuk menyebarkan Islam dan menerapkannya di negara-negara yang hendak dimasukinya. Kekhawatiran atau bahaya ini justru menguntungkan kaum muslimin karena menjadi jalan pembuka perang Tabuk dan untuk selanjutnya berhasil memukul Romawi yang membawa akibat ketakutan mereka dalam menghadapi kaum muslimin, sehingga Syam dapat ditaklukkan Negara Islam.
Di salin dan diterjemahkan dari buku al-Daulah al-Islaamiyyah karangan Taqiyyuddin al-Nabhani
0 komentar:
Posting Komentar