REPUBLIKA.CO.ID, Berbekal status mualaf, Luis Monteiro kembali gamang. Ia sadar, di lingkungannya, keislamannya tak mungkin berkembang. Ia pun memutuskan meninggalkan barak dan rumahnya menuju Dili. "Kepergianku yang tanpa sepengetahuan keluargaku dilepas oleh tentara yang mengislamkanku. Ia memelukku dan menangis," tutur Ali.
Sampai di kota, ia menemukan sebuah yayasan Islam. Karena tak berbekal ijazah dan surat keterangan dari desa, Ali ditolak. "Meminta surat keterangan dari desa sama saja cari mati," katanya. Ia pulang dan tak mampu berbuat banyak. Ali bahkan tak tahu bagaimana menjalankan shalat lima waktu yang telah menjadi kewajibannya.
Suatu hari, ia memutuskan kembali berangkat ke Dili dan mendatangi yayasan yang sama. "Aku memaksa pihak yayasan untuk mengizinkanku belajar di sana, meski aku tidak diizinkan mengikuti pendidikan formal." Ali mendapatkan izin itu. Di sana, ia belajar shalat dan membaca Alquran.
Kesempatan itu tidak lama, karena pertolongan yang lebih besar dari Allah menghampirinya. Ustaz yang pernah menolaknya di yayasan tersebut mengantarkannya ke Jawa untuk mendalami Islam di sebuah pesantren di Jawa Timur. Keberangkatannya itu terjadi pada 1998.
Namun pertolongan besar itu terjadi setelah Allah terlebih dahulu menguji Ali. Setelah berhasil mengislamkan kedua orang tuanya pada 1997, ia harus kehilangan ayahnya yang tewas dibunuh orang-orang yang tidak suka dengan keislamannya.
"Beliau wafat pada hari Jumat di bulan Ramadhan," ujar Ali seraya mengambil nafas panjang. Ia lalu menghentikan sejenak ceritanya. "Aku tidak akan pernah bisa melupakan itu."
Pada kesempatan lainnya, Ali berhasil mengislamkan pula ketiga adiknya dan memboyong mereka ke Jawa. Salah seorang diantaranya kini tengah menempuh studi di Madinah. Ali sendiri memutuskan untuk mendalami Alquran di Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ).
Tahun ketiga di perguruan Alquran tersebut, Ali melengkapi studi Alqurannya dengan mendalami bahasa Arab di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) sejak 2010 hingga sekarang.
Kini, sambil terus memperdalam keislamannya, Ali membimbing sejumlah mualaf di pesantren khusus mualaf Yayasan An-Naba' Center di Ciputat, Tangerang. Setelah menyelesaikan semua studinya nanti, Ali akan kembali ke Makasar dan bersama istrinya mengelola sebuah pesantren yang ia rintis bersama kakak iparnya.
Sunday, 13 May 2012, 08:53 WIB
Republika/AGUNG SUPRIYANTO
Mualaf: Ali Akbar
Redaktur: Heri Ruslan
Reporter: Devi Anggraini Oktavika
0 komentar:
Posting Komentar