Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Di antara mereka ber-tajassud kepadaku di bumi,
yang lainnya ber-tajassud di udara.
Di antara mereka ber-tajassud di manapun aku berada,
yang lainnya ber-tajassud di langit.
Mereka mengajariku dan aku pun mengajarinya.
Namun, keberadaanku tidak sama.
Aku tetap di dalam entitasku.
Mereka tidak tetap dalam entitasnya.
Mereka menjelmakan diri dalam berbagai bentuk.
Seperti air yang masuk di dalam cangkir yang berwarna.
(Ibnu Arabi, Futuhat Al-Makkiyah, Juz 1 h 735)
Kemungkinan orang berguru kepada alam-alam lain adalah mungkin. Sebagaimana dilakukan orang-orang khusus yang berhasil menembus hijab atau menyingkap tabir yang juga diisyaratkan dalam Alquran dan hadits. Ternyata tidak sedikit orang berhasil mengakses dan berkomunikasi dengan penghuni alam spiritual itu.
Contohnya, pengalaman batin Ibnu Arabi yang diungkapkan dalam bentuk syair seperti dikutip di atas. Masalahnya di sini adalah mekanisme apa yang dilalui para sufi yang berhasil menembus batas alam spiritual tersebut? Sebelum membahas pertanyaan ini, terlebih dahulu kita perlu memahami apa yang dimaksud alam oleh para sufi.
Secara kebahasaan, alam berasal dari akar kata alima-ya’lamu, berarti mengetahui. Dari akar kata ini terbentuk kata ‘alam yang artinya tanda, petunjuk, atau bendera; dan ‘alamah yang bermakna alamat atau sesuatu yang melalui dirinya dapat diketahui sesuatu yang lain (ma bihi ya’lamu al-syai).
Dalam perspektif tasawuf, alam adalah segala sesuatu selain Allah SWT (ma siwa Allah). Alam adalah tanda yang menunjuk kepada (adanya) Allah. Alam juga memberikan kesadaran dan pengetahuan. Alam meliputi seluruh universalitas (kulliyyat) alam dengan segenap bentuknya secara ijmali/undifferentiated.
Alam dalam form atau bentuk ini, dalam ilmu filsafat dikenal dengan istilah al-’aql al-awwal/the first intellect. Dari sini, Allah sebagai al-Rahman dimanifestasikan. Di sisi lain, alam mencakup pula hakikat seluruh partikularitas (juziyyat) secara tafshili/differentiated yang terkandung di dalam al-’aql al-awwal/the first intellect.
Dari sini, nama Allah sebagai Al-Rahim dimanifestasikan. Pendapat ini juga banyak diakomodasi di dalam kitab-kitab tafsir, terutama dalam menjelaskan perbedaan konteks antara al-Rahman dan al-Rahim dalam ayat pertama dan ketiga dari surah Al-Fatihah: Maha Pengasih lagi Maha Penyayang (al-Rahman al-Rahim).
Orang yang menggabungkan kedua karakter alam di atas biasa disebut manusia paripurna (insan kamil), karena secara ijmal/undifferentiated menjadi bagian dalam martabat ruh, dan secara tafshil/differentiated bagian dalam martabat qalb. Insan kamil menjadi sebuah alam universal yang merepresentasikan keseluruhan nama-nama Allah. Ia sudah menjadi manivestasi (madzhar) nama-nama Allah. Pembahasan lebih rinci konsep insan kamil ini akan dibahas dalam satu artikel tersendiri.
Dalam perspektif tasawuf, alam tidak terbatas hanya dalam dua bentuk, yaitu dengan meminjam istilah Muhammad Abduh, ‘alam syahadah dan ‘alam gaib, tapi alam bisa tak berbatas.
Sebab mencakup pula kehadiran Ilahiyah universal (al-hadharat al-kulliyyat/universal divine presences), yang di antaranya ada yang lebih dekat ke alam syahadah mutlak, dan lainnya lebih dekat ke alam gaib mutlak.
Alam sering juga digunakan dalam dua konteks, yaitu alam secara keseluruhan (semua kecuali Allah) dan alam dalam konteks tingkatan alam, seperti ‘alam al-mulk, ‘alam al-mitsal, ‘alam al-malakut, dan ‘alam jabarut.
Masing-masing alam ini mempunyai penghuni. Manusia bisa mengakses dan sekaligus menjadi bagian dari alam-alam tersebut bersama dengan makhluk-makhluk spiritual lainnya seperti malaikat dan jin. Hal itu dapat dilakukan tentu saja jika manusia itu mampu menyingkap tabir rahasia yang selama ini menghijab dirinya.
Manusia di alam fana ini berada di alam malakut dan dalam keadaan tertentu ia bisa mengalami transformasi spiritual ke alam-alam lain. Tentu, sesuai dengan kemampuan yang dimiliki atau diberikan kepadanya oleh Allah. Tingkatan-tingkatan alam lebih banyak digunakan dalam konteks kedua, yakni tingkatan alam spiritual.
Di setiap tingkatan alam, Al-Haq (Allah) selalu mengindikasikan kehadiran-Nya. Sehingga tidak ada suatu ruang, waktu, dan dimensi yang bebas dari cakupan Al-Haq. Meskipun dikenal berbagai tingkatan, pada hakikatnya tetap hanya satu kehadiran (al-hadharat), yakni kehadiran Ilahiyyah (al-hadharat al-Ilahiyyah).
Ketunggalan kehadiran Ilahiyyah termanifestasi di dalam apa yang disebut oleh para sufi dengan tauhid al-Dzat, tauhid al-Shifat, dan tauhid al-Af’al. Dalam konteks ini, Ibnu Arabi, salah seorang sufi yang berlatar belakang seorang filsuf, kesulitan membedakan secara skematis antara alam dan Al-Haq.
Karena menurutnya, keseluruhan alam ini tak lain adalah madzhar, atau lokus manifestasi-Nya. Bagi Ibnu Arabi, bukan hal yang mustahil untuk berguru kepada para penghuni alam lain. Bahkan, manusia bisa langsung berkomunikasi dan berguru kepada Al-Haq.
bnu Arabi beralasan, Al-Haq adalah bagian inmanen dalam diri manusia sebagai alam mikrokosmos, bukannya Ia (Allah) transenden seperti banyak digambarkan oleh ulama fikih, Allahu a’lam.
Secara sederhana, tingkatan alam yang akan menjadi objek pembahasan di sini ialah alam mulk, alam mitsal, alam malakut, dan alam jabarut.
Untuk berguru kepada para penghuni alam-alam tersebut, pengenalan mendalam mengenai alam-alam itu perlu dilakukan. Sebab, bagaimana mungkin bisa mengakses sekaligus belajar kepada para penghuninya jika alamnya sendiri tak dipahami dengan baik. Setiap alam akan dibahas dalam artikel-artikel tersendiri.
Selain mengenal berbagai alam, manusia sepatutnya mengenal dirinya sendiri dulu secara mendalam. Bagaimana mungkin kita bisa mengenal lebih jauh alam lain tanpa didahului mengenal diri sendiri atau alam di mana kita tinggal. Apalagi, rahasia Tuhan di dalam diri kita sungguh sangat besar.
Sebelum menyingkap hijab-hijab yang ada di alam lain, yang harus disingkap lebih dulu adalah hijab yang ada dalam diri kita. Selanjutnya menyingkap hijab di alam kita, kemudian alam-alam lainnya. Terkait hal ini, pernyataan Rasulullah yang sering dikutip para sufi adalah Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu (Barangsiapa yang memahami dirinya, ia dapat memahami Tuhannya).
Meskipun para ulama hadits menganggap pernyataan itu bukan hadits (baca hasil penelitian Prof Syuhudi Ismail), kalangan sufi seolah sudah mengonfirmasikan langsung kepada Rasulullah akan keberadaan hadits ini. Hadits ini berulang-ulang dikutip di dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali dan kitab-kitab karya Ibnu Arabi.
Dari hadits ini diketahui bahwa kompleksitas dan rahasia di dalam diri manusia berlapis-lapis. Setelah mengenal alam-alam spiritual dan rahasia besar yang ada di dalam diri manusia, langkah berikutnya adalah bagaimana melakukan upaya sungguh-sungguh untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.
Kedekatan ini menjadi prasyarat untuk memiliki kemampuan berkomunikasi dengan Al-Haq. Diperlukan mursyid untuk membimbing kita agar jangan salah alamat dalam mencari dan menemukan objek yang dituju. Seseorang yang mulai memasuki dunia pencarian spiritual menempuh jalan khusus, itulah yang disebut murid atau salik.
Kemudian, para murid itu akan menjalani berbagai latihan spiritual (riyadhah) secara konsisten sampai mereka menembus berbagai lapis alam dan menyingkap beragam hijab rahasia. Murid yang berhasil menembus batas dan menyingkap tabir disebut mukasyafah, yakni prestasi spiritual yang berhasil dicapai orang-orang yang terpilih oleh Allah. Semoga Allah memberi kemudahan kepada kita untuk mencapai harapan ini.
Sumber: Republika
Jumat, 02 Maret 2012
0 komentar:
Posting Komentar