Nuruddin Abdurrahman bin Ahmad bin Muhammad Al-Jami
Seorang wali haruslah terjaga dari kemaksiatan. Maka barang siapa diakui atau mengaku sebagai wali tetapi tidak menjalankan syara', berarti telah terpedaya
Dalam kitabnya, Nafahatal-Uns min Hadhrat al-Quds (Embusan-embusan Kemesraan dari Hadhirat Yang Mahasuci), Nuruddin Abdurrahman bin Ahmad bin Muhammad Al-Jami memulai analisisnya dengan wali dan kewalian. Bab ini merupakan kupasan yang singkat dan padat tentang wali dan ke¬walian pada zamannya, dan tetap menjadi rujukan ulama hingga kini.
la mengartikan bahwa kewalian berasal dari kata wala', yang berarti "kedekatan". Kewalian ada dua jenis: ke¬walian umum dan kewalian khusus. Kewalian umum dimiliki bersama-sama oleh seluruh kaum beriman, sebagai-mana firman Allah
اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
"Allah Pelindung orang-orang yang beriman, Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman)." QS Al-Baqarah (2): 257.
Sementara itu, kewalian khusus hanya dimiliki oleh kaum khash, yaltu kalangan budi Iaku yang telah mampu menggapai Tuhan. Di antaranya, para pelaku tarekat atau syaikh sufi.
Dalam kitab yang aslinya dituilis dalam bahasa Persia ini, Jami mengutip perkataan sufi besar, Ibrahim bin Adham, kepada seorang lelaki, "Apakah engkau ingin menjadi seorang wali Allah?" "Ya," jawab orang itu. Ibrahim pun berkata, "Jangan sukai apa pun di dunia dan akhirat. Kosongkan dirimu, hanya untuk Allah. Hadapkan dirimu hanya kepadaNya. Jika sudah bisa berlaku demikian, engkau sudah menjadi seorang wali."
Dalam menelaah ihwal wali dan kewalian, Jami menggunakan referensi kitab ar-Risalah, karya Imam Al-Qusyairi, yang menjelaskan dua pengertian wali: Pertama, sebagai obyek pasif (maf'ul). Artinya, wali adalah orang yang segala urusannya diatur oleh Allah. Allah berfirman, "Dan Dia melindungi orang-orang yang shalih."QS Al-A'raf (7): 196. Dia sama sekali tidak bergantung pada diri-nya dalam menempuh suatu rencana, melainkan Allah-lah, Yang Mahabenar, yang mengendalikan segala urusannya.
Kedua, sebagai subyek aktif (fall). Maknanya, wali adalah orang yang urusannya hanya beribadah menyembah Allah dan menaati-Nya. Dia terus ber¬ibadah tanpa disusupi sedikit pun Iaku kemaksiatan.
Kedua pengertian di atas sama-sama menjadi persyaratan wajib untuk menjadi seorang wali sejati. Seorang wali wajib memenuhi hak-hak Allah dengan sepenuh jiwa dan raga, dan Allah pun senantiasa menjaganya dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan.
Seorang wali harusiah mahfudz, terjaga dari kemaksiatan. Maka barang siapa diakui atau mengaku sebagai wali tetapi tidak menjalankan syara', berarti telah terpedaya atau keblinger.
Wali Palsu
Ini telah dibuktikan oleh Abu Yazid AJ-Busthami, seorang sufi besar, yang bermaksud menemui beberapa orang yang mengklaim diri sebagai wali. Tatkala telah tiba di masjid milik orang yang dimaksud, dia duduk sambil menunggu pemiliknya keluar. Akhirnya keluarlah juga laki-laki yang ditunggu itu dari masjid. Tapi Al-Busthami melihat, lelaki itu spontan meludah ke arah kiblat dan langsung ngeloyor pergi tanpa mengucapkan salam kepada orang lain.
Sufi dari Al-Busthami ini langsung berkomentar, "Orang ini tidak amanah menepati sopan-santun syari'at. Lalu bagaimana dia bisa amanah menepati rahasia-rahasia Yang Mahabenar?"
Kisah lain menyebutkan, ada seorang laki-laki yang juga mengaku wali datang menghadap Abu Sa'ld ibn Abu Al-Khayr, seorang sufi besar lainnya. Orang itu mendahulukan kaki kiri saat masuk ke masjid. Syaikh Abu Al-Khayr pun mengusirnya, "Balik! Orang yang tidak mengenal sopan-santun masuk Rumah Ali. tidak seyogianya dijadikan teman!"
Dua kisah itu menunjukkan, kewalian seseorang tidak bisa mengalahkan aturan syara'.
Jami juga mengutip kitab Kasyf a Mahjub, karya Al-Hujwiri, yang menye butkan bahwa Allah mengekalkan burhan an-nubuwwah (tonggak kenabian hingga akhir zaman. Dia menjadikan para wali-Nya sebagal pengemban amanah-Nya, sehingga ayat-ayat al-haqq dai hujjah kebenaran Nabi Muhammad SAW senantlasa terbukti.
Dengan demikian, Allah menjadikan para wali sebagal wulah al-awalim (pengampun sepala kosmos). Mereka tulus berbakti kepada-Nya dalam menempuh jalan perang melawan hawa nafsu. Hujan turun berkat barakah kaki mereka. Turnbuh-tumbuhan tumbuh karena kesucian ahwal mereka. Dan kemenangan kaum beriman atas kaum pengingkar juga ber¬kat berakah cita-cita mereka.
Setiap wali memilikl karamah sendiri-sendiri. Dalam kitab Dala'il Nubuwwah, karya Imam Al-Mustghfiri (350-432 H), disebutkan, karamah para wali adalah sebuah kebenaran, merujuk kitab Allah, hadits-hadits shahih, dan ijmak kalangan Ahlussunah wal Jama'ah. Kewalian kadang memang memperlihatkan keanehan, tetapi tidak boleh sedikit pun melanggar syareat.
Sumber: Alkisah
Sabtu, 11 Februari 2012
0 komentar:
Posting Komentar