Abd al-Karim ibn Hawazinal-Qusyairi
Didalam Alquran menjelaskan mengnai Mujahadah
وَٱلَّذِينَ جَـٰهَدُواْ فِينَا لَنَہۡدِيَنَّہُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.(Al-Ankabut: 69)
Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, dari Rasulullah saw, “Jihad yang terbaik adalah perkataan yang adil yang disampaikan kepada seorang penguasa yang zalim”
Abu Uthsman Al-Maghribi menyatakan, “Adalah kesalahan besar bagi seseorang membayangkan bahwa dia akan mencapai sesuatu dijalan-Nya atau bahwa sesuatu di jalan-Nya akan tersingkap baginya tanpa berjihad”
Al-Hassan Al-Qazzaz menjelaskan, “Masalah ini (kerohanian) didasarkan pada 3 hal; anda makan hanya ketika hal itu diperlukan, anda tidur hanya ketika mengantuk, dan anda berbicara hanya dalam hal-hal yang mengharuskan anda berbicara”
Jihad pada dasarnya adalah mencegah jiwa dari kebiasaan-kebiasaannya dan memaksanya menentang hawa nafsunya sepanjang waktu. Jiwa mempunyai dua sifat yang menghalanginya dalam mencapai kebaikan: berlarutan dalam memuja hawa nafsunya dan menolak kepada kepatuhan. Manakalan jiwa, seperti seekor kuda, cenderung kepada hawa nafsu, maka hendaklah mengendalikannya dengan kesolehan.
Selama bertahun-tahun seorang syeikh melakukan solat pada saf terdepan jemaah dalam masjid yang sering dikunjunginya. Pada suatu hari, sesuatu menghalanginya dari tiba di masjid pada awal waktu. Dia terpaksa menempati saf paling belakang. Sesudah itu dia tidak hadir lagi ke masjid untuk jangka waktu tertentu. Ketika ditanya kepadanya mengapa dia tidak hadir, dia menjawab, “Saya selalu melakukan solat di saf hadapan dan saya merasakan selama setahun ini saya ikhlas dalam melakukannya untuk mencari redha Allah SWT. Tetapi pada hari saya terlambat, saya merasa malu dilihat orang lain melakukan solat dibahagian belakang masjid. Dari hal ini, saya mengetahui bahawa semangat saya hingga saat itu dalam melakukan solat tidak lain, hanyalah riya’.
Dikhabarkan bahawa Abu Muhammad Al-Murta’isy mengatakan, “Saya berangkat haji dengan berjalan kaki dan tidak membawa bekal. Pada suatu ketika saya menyedari bahawa saya telah dikotori oleh rasa senang saya dalam melakukannya. Ini saya sedari pada suatu hari saat ibu saya meminta saya mengangkat setabung air untuknya. Jiwa saya merasakan hal ini sebagai beban berat. Saat itulah saya mengetahui bahawa apa yang saya sangka merupakan kepatuhan kepada Tuhan dalam haji saya tidak lain hanyalah kesenangan saya, yang datang dari kelemahan dalam jiwa saya, kerana apabila jiwa saya murni, nescaya saya tidak akan mendapati tugas saya sebagai sesuatu yang mengganggu saya.”
Pada suatu ketika seorang wanita lanjut usia ditanya mengenai keadaannya. Dia menjawab, “Ketika saya muda, saya mempunyai semangat dan mengalami berbagai keadaan. Saya berfikir bahawa keadaan-keadaan itu berasal dari kekuatan sejati keadaan kerohanian saya. Ketika saya menjadi tua, keadaan-keadaan ini melemah. Kini saya mengetahui bahawa yang saya sangka keadaan-keadaan kerohanian tidak lain hanyalah semangat remaja. “
Dzun Nun Al-Mishri menyatakan, “Penghormatan yang Allah berkenan memberikan kepada seorang hamba adalah menunjukkan kehinaan dirinya kepadanya; penghinaan yang Allah kurniakan kepada seorang hamba adalah menyembunyikan kehinaan dirinya dari pengetahuan dirinya sendiri”
Muhammad Ibn Al-Fadhl mengatakan, “Istirah adalah kebebasan dari keinginan hawa nafsu.”
Al-Nasrabadzi mengatakan, “Penjara adalah jiwa anda. Apabila anda melepaskan diri darinya, nescaya anda akan sampai kepada kedamaian.”
Abul Husain Al-Warraq menyatakan, “Ketika kami mulai menempuh jalan-Nya yaitu jalan sufi di Masjid Abu Utsman Al-Hiri, amalan terbaik yang kami lakukan adalah bahawa kami diberi zakat, kami memberikannya dengan rela kepada orang lain; kami tidak pernah tidur dengan menyimpan sesuatu tanpa disedekahkan; kami tidak pernah menuntut balas kepada seseorang yang menyinggung hati kami dan kami selalu memafkan tindakannya dan bersikap rendah hati kepadanya; dan jika kami memandang hina seseorang dalam hati kami, maka kami akan mewajibkan diri kami untuk melayaninya sampai perasaan memandang hina itu lenyap.”
Abu Hafs mengatakan, “Jiwa (nafs) keadaannya adalah gelap gelita. Pelita jiwa adalah rahsianya. Cahaya pelita ini adalah terhasil dalam berjihad. Orang yang tidak dianugerahi keberhasilan dalam berjihad oleh Tuhan, maka dalam rahsianya, seluruh dirinya adalah kegelapan”
Abu Hafs memaksudkan bahawa rahsia seorang hamba adalah apa yang ada di antara dirinya dan Allah SWT. Itu adalah tempat keikhlasannya. Dengannya si hamba tersebut mengetahui bahawa semua peristiwa adalah ciptaan Tuhan; peristiwa-peristiwa bukanlah ciptaan dirinya, tidak pula berasal darinya. Bila dia mengetahui hal ini, dia akan bebas dalam setiap keadaannya, dari kekuatan dan kekuasaannya sendiri. Selanjutnya, dengan cahaya keberhasilan dalam berjihad, dia bakal terlindungi dari kejahatan-kejahatan jiwanya. Orang yang tidak berhasil dalam berjihad tidak akan memperoleh manfaat dari pengetahuan tentang jiwanya atau tentang Tuhan.
Abu Utsman menyatakan, “Selama seorang melihat sesuatu yang baik dalam jiwanya, dia tidak akan mampu melihat kelemahan-kelemahannya. Hanya orang yang berani mendakwa dirinya terus-menerus selalu berbuat salahlah yang akan sanggup melihat kesalahannya itu.”
As-Sari berpendapat , “Waspadalah terhadap orang yang suka berjiran dengan orang kaya, pembaca-pembaca al-Quran yang sering mengunjungi pasar, dan ulama-ulama yang medekati penguasa.”
Sumber: Delisufi
Kamis, 23 Februari 2012
0 komentar:
Posting Komentar