Impian lelaki dan wanita beriman itu sama.
Jika lelaki beriman mengimpikan seorang istri yang
Shalihah, taat, menjaga aurat, memelihara
maruah suami dan dirinya ketika ketiadaan suami
yang dikasihi di sisi; ditambah pula pandai
mengurus rumahtangga dan mengasuh permata
hati mereka sepenuh jiwa, maka semakin maraklah
kasih dan cinta si suami kepada si isteri.
Demikian juga hasrat wanita beriman. Dia
mengimpikan seorang suami yang Shalih, gigih
mencari nafkah dan keuangan keluarga,
menyintai dakwah dan amal-amal kebajikan,
menjaga pandangan terhadap wanita yang bukan
mahramnya, menjaga sholat dan tidak mudah
melatah dalam menangani masalah rumahtangga.
Acapkali, kenyataan selalunya tidak
seindah impian. Berapa banyak pasangan hari
ini mendapatkan seseorang yang sangat ‘jauh’
dari lelaki dan wanita idaman. Daftar panjang
kriteria suami dan isteri impian rupanya tidak
sebagaimana realitas yang ada. Setahun dua
tahun berumahtangga, kekurangan yang ada
masih mampu diketepikan, namun ke tahun
berikutnya bibit-bibit resah mulai mengganggu.
Ketenangan hati wanita dan lelaki beriman
ini akan segera berkocak bila mana sifat-sifat
Shalih dan Shalihah yang diimpikan pada
pasangannya masih belum menjelma. Ketika
inilah, persoalan kecil di dalam rumahtangga mulai
menjadi puncak berlakunya perselisihan besar.
Hening pandangan si isteri bertambah
bening dengan juraian air mata, melihat suami
yang dikasihi melengah-lengahkan ibadah. Kaca
TV lebih dimesrai, hiburan dan keseronokan
padanya lebih dulu diraih. Tatkala penghujung
waktu semakin menghampiri, barulah si suami
terburu-buru. Melihat ini, si isteri coba
menasehati. Penuh yakin, sepenuh hati dengan
harapan suami menyadari khilaf diri.
Namun, semua itu disambut rasa jengkel
dan ego seorang lelaki. “Alah...saya bukannya
tak sholat, cuma lambat sedikit, masih dalam
waktunya!” Si isteri terasa hati, akhirnya diam
memendam rasa. Batinnya yang sedia sedih
bertambah kecewa. Sementara di sana....
Remuk rendam jiwa seorang suami bila
nasehat yang diberi kepada isteri tercinta agar
menutup aurat sempurna, juga teguran terhadap
penampilannya yang biasa-biasa saja ketika di
rumah, tetapi bersolek mengalahkan si anak dara
tatkala keluar bekerja disambut ocehan panjang.
Ditambah lagi dengan kata-kata berbisa.
Kesabaran si suami mulai pudar, sementara si
isteri pula galak menantang. “Apa salahnya saya
pakai jilbab macam ini? Sudah menutup rambut,
cuma tak lebar macam yang kau minta. Saya
bersolek keluar pun, untuk kau juga. Kalau orang
puji saya cantik, kan kau sebagai suami juga
yang dapat nama! Bosanlah dengan ‘ceramah’
kau ini tahu tak? Kalau kau ingin sangat isteri
Shalihah, pakai jilbab lebar, ikut semua kata
kamu, mmm.. carilah yang lain! Saya ini memang
tak layak!”
Di sini dan sana, situasi ‘kurang’ agama
menukar ‘warna’ sebuah rumahtangga.
Perkawinan tidak lagi menjadi syurga, tetapi
umpama neraka yang menyiksa. Tinggal retak
menunggu belah, bak kata pepatah.
Adapun yang bergaya style modern
perkara-perkara seumpama diatas konon sudah
dimasukkan dalam "HAM" hingga tak dapat lagi
merasakan "percikan api kecil dosa". Bukan lebih
baik, tetapi dosa-dosa segajah telah menutup
mata hati dan kepekaan iman.
***
Permulaan yang baik, bukanlah penentu
utama kepada penghujung yang juga baik.
Perkawinan itu tidak lain adalah juga satu
perjalanan kehidupan, penuh liku dan halangan.
Jatuh bangun, bahagia dan derita sesebuah
perkawinan tidak dilihat pada banyaknya harta,
kemewahan atau material yang ada, tidak juga
dihitung pada banyaknya tantangan yang
singgah ketika melayari bahtera rumahtangga,
sebaliknya ia bergantung kepada sejauh mana
hubungan dua jiwa yang telah disatukan ini
dengan Pencipta mereka dalam menjalani
kehidupan setiap ketika.
“Dan sesiapa yang berpaling dari
peringatan-KU, sesungguhnya baginya
kehidupan yang sempit, dan KAMI akan
menghimpunkannya pada hari kiamat dalam
keadaan buta." (Qs. Toha : 124)
Dalam perkawinan, ketabahan dan
kesabaran itu amat penting, umpama isi kelapa,
‘ambil patinya, buang ampasnya.’ Jangan
menjadikan cinta yang pernah hadir umpama
embun di pagi hari, sedikit demi sedikit ia
menghilang kala mentari kian meninggi.
Andai pertemuan dengan pasangan adalah
karena cinta, maka pertahankan rasa cinta itu,
namun ia terlebih dulu perlu dibersihkan dari nafsu
yang menipu, kemudian diperkasa pula dengan
CINTA kepada-Nya. Gelora cinta ini akan menjadi
penawar yang menolak segala kebencian yang
hadir.
Perkawinan, walau siapapun pelakunya,
tetap akan ada masalah yang melanda. Ia
sebagai ujian kesetiaan, rasa cinta dan terlebih
lagi sebagai penguat keimanan bagi orang-or-
ang bertakwa dan beriman.
Allah menawarkan jalan untuk mendapatkan
kebahagiaan dalam perkawinan . Dimana
perkawinan akan menjadi syurga jika benar-benar
mengikut landasan yang di berikan oleh Allah
S.W.T yaitu perkawinan sebagai satu ibadah.
Perkawinan akan mencapai kebahagiaannya
ketika dikembalikan ke fitrahnya. Bahwa
perkawinan adalah perintahNya, ladang untuk
berbuat amal kebajikan, dengan cara
membahagiakan isteri dan suami. Dan kemudian
memperoleh keturunan anak-anak yang soleh dan
solehah.
Barangsiapa tidak beribadah dalam setiap
aktivitasnya, maka ia akan menemui masalah.
Termasuk di dalam kehidupan rumahtangganya.
0 komentar:
Posting Komentar