Sebagaimana kita ketahui, Islam adalah agama tauhid yang menegakan peribadahan hanya kepada Allah semata. Dakwah tauhid ini diserukan tidak hanya oleh Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam, tapi juga oleh seluruh Nabi dan Rasul. Dalam sebuah surat dalam al-Qur’an, yaitu Surat al-A’raf, Allah menyebut kisah beberapa Rasul yang mendakwahkan tauhid:
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).” (QS al-A’raf: 59)
“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Ad saudara mereka, Hud. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?”(QS al-A’raf: 65)
“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka, Saleh. Ia berkata. “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” (QS al-A’raf: 73)
“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syuaib. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” (QS al-A’raf: 85)
Maka tidaklah mengherankan jika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam sangat memperhatikan masalah tauhid ini. Beliau berdakwah menitikberatkan pada masalah tauhid selama 13 tahun di Mekah. Berbagai hal yang bertentangan dengan tauhid pun telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam. Di antara perbuatan yang bisa menghilangkan atau mengurangi tauhid adalah mengaku mengetahui ilmu ghaib, sihir dan perdukunan, mengagungkan berhala atau patung-patung, berkurban untuk selain Allah, mengolok-olok agama, bertawasul kepada selain Allah atau bersumpah dengan selain nama Allah.
Di antara hal yang sangat dikhawatirkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam terhadap umatnya adalah beribadah di kuburan atau menjadikan kubur sebagai tempat ibadah. Beberapa hadits yang menyebutkan pelarangan ini adalah sebagai berikut:
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia bercerita, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam pernah bersabda ketika beliau sakit dan dalam keadaan berbaring,
‘Aisyah berkata, “Kalau bukan karena (laknat) itu, niscaya kuburan beliau akan ditempatkan di tempat terbuka, hanya saja beliau takut kuburannya itu akan dijadikan sebagai masjid.” [1]
Dalam hadits lain, dari ‘Aisyah dan Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam menghadapi sakaratul maut, maka beliau menempelkan ujung baju beliau ke wajah beliau sendiri. Dan ketika ujung baju itu telah menutupi wajahnya, maka beliau membukanya kembali seraya bersabda, “Laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka telah menjadikan makam Nabi-Nabi mereka sebagai masjid.” ‘Aisyah mengatakan, “Beliau memperingatkan agar tidak melakukan seperti apa yang mereka lakukan.” [2]
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengemukakan, “Seakan-akan Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam telah mengetahui bahwa beliau akan pergi
selamanya melalui sakit yang beliau derita, sehingga beliau khawatir makam beliau akan diagung-agungkan seperti yang telah dilakukan orang-orang terdahulu. Oleh karena itu, beliau melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai isyarat yang menunjukkan celaan bagi orang-orang yang berbuat seperti perbuatan mereka.”
Dalam hadits lain, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia bercerita, ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam jatuh sakit, maka beberapa orang isteri beliau sempat membicarakan tentang sebuah gereja yang terdapat di negeri Habasyah (Ethiopia), yang diberi nama Maria – Ummu Salamah dan Ummu Habibah sudah pernah mendatangi negeri Habasyah – kemudian mereka menceritakan tentang keindahan gereja dan gambar-gambar yang terdapat di dalamnya. ‘Aisyah bercerita, “(Kemudian nabi shalallahu ‘alaihi wa salam mengangkat kepalanya) seraya berucap, “Mereka itu adalah orang-orang yang jika ada orang shalih di antara mereka yang meninggal dunia, maka mereka akan membangun masjid di makamnya itu lalu mereka memberi barbagai macam gambar di tempat tersebut. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah (pada hari kiamat kelak).” [3]
Pengertian Menjadikan Makam Sebagai Masjid
Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan di dalam kitab az-Zawaajir (I/121), “Menjadikan makam sebagai masjid berarti shalat di atasnya atau dengan menghadap ke arahnya.”
Imam al-Bukhari menerjemahkan hadits pertama dengan mengatakan, “Bab Maa Yukrahu min Ittikhaadzil Masaajid ‘alal Qubuur (Bab Dimakruhkan Membangun Masjid di Atas Kuburan).” Beliau mengisyaratkan bahwa larangan menjadikan kuburan sebagai masjid berkonsekuensi pada larangan membangun masjid di atasnya.
Tidak ada perbedaan antara membangun masjid di atas kuburan dengan menempatkan kuburan di dalam masjid, sehingga keduanya sama-sama diharamkan. Hal ini menunjukan bahwa masjid dan kuburan itu tidak dapat dikumpulkan dalam satu tempat dan berkumpulnya dua hal tersebut bertentangan dengan tauhid dan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan karena keikhlasan inilah masjid itu dibangun. Allah berfirman,
Al-Manawi di dalam kitab Faidhul Qadiir mengatakan, “Artinya, mereka menjadikan makam para Nabi itu sebagai arah kiblat mereka dengan keyakinan mereka yang salah. Dan menjadikan makam itu sebagai masjid menuntut keharusan pembangunan masjid di atasnya dan juga sebaliknya. Hal demikian itu menjelaskan sebab dilaknatnya mereka, yaitu karena tindakan tersebut mengandung sikap berlebihan dalam pengagungan. Al-Qadhi (yakni al-Baidhawi) mengatakan, “Orang-orang Yahudi bersujud kepada makam para Nabi sebagai pengagungan terhadap mereka dan menjadikannya sebagai kiblat, mereka juga menghadap ke makam itu dalam mengerjakan shalat dan ibadah lainnya, sehingga dengan demikian mereka telah menjadikannya sebagai berhala yang dilaknat oleh Allah. Dan Allah telah melarang kaum muslimin melakukan hal tersebut.”
Kenyataan yang ada akibat perbuatan menempatkan kuburan di masjid (atau sebaliknya) adalah berbagai penyimpangan dalam beribadah. Di antaranya berupa pengagungan terhadap penghuni kubur yang dianggap orang shalih lantas menjadikan kubur tersebut sebagai sarana bertaqarrub kepada Allah dengan melakukan berbagai ibadah seperti shalat, dzikir dan berdo’a. Terlebih lagi jika mereka menjadikan penghuni kubur sebagai perantara dalam berdo’a kepada Allah atau memiliki keyakinan bahwa penghuni kubur tersebut berkuasa untuk dimintai pertolongan atau menghindari mudharat. Padahal Allah berfirman,
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS az-Zumar: 3)
1. Larangan Shalat di Masjid yang Dibangun di Atas Kubur, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Pustaka Imam asy-Syafi’i, 2004
2. Kitab Tauhid 3, DR. Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Darul Haq, 1999
[1] Diriwayatkan oleh al-Bukhari (III/156, 198 dan VIII/114), Muslim (II/67)
[2] Diriwayatkan oleh al-Bukhari (I/422, VI/386 dan VIII/116), Muslim (II/67), Abu Awanah (I/399), an-Nasa’i (I/115) dll.
[3] Diriwayatkan oleh al-Bukhari (I/416 dan 422), Muslim (II/66), an-Nasa’i (I/115), Ahmad (VI/51) dll.
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).” (QS al-A’raf: 59)
“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Ad saudara mereka, Hud. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?”(QS al-A’raf: 65)
“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka, Saleh. Ia berkata. “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” (QS al-A’raf: 73)
“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syuaib. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” (QS al-A’raf: 85)
Maka tidaklah mengherankan jika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam sangat memperhatikan masalah tauhid ini. Beliau berdakwah menitikberatkan pada masalah tauhid selama 13 tahun di Mekah. Berbagai hal yang bertentangan dengan tauhid pun telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam. Di antara perbuatan yang bisa menghilangkan atau mengurangi tauhid adalah mengaku mengetahui ilmu ghaib, sihir dan perdukunan, mengagungkan berhala atau patung-patung, berkurban untuk selain Allah, mengolok-olok agama, bertawasul kepada selain Allah atau bersumpah dengan selain nama Allah.
Di antara hal yang sangat dikhawatirkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam terhadap umatnya adalah beribadah di kuburan atau menjadikan kubur sebagai tempat ibadah. Beberapa hadits yang menyebutkan pelarangan ini adalah sebagai berikut:
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia bercerita, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam pernah bersabda ketika beliau sakit dan dalam keadaan berbaring,
لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اِتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Semoga laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah (masjid).”‘Aisyah berkata, “Kalau bukan karena (laknat) itu, niscaya kuburan beliau akan ditempatkan di tempat terbuka, hanya saja beliau takut kuburannya itu akan dijadikan sebagai masjid.” [1]
Dalam hadits lain, dari ‘Aisyah dan Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam menghadapi sakaratul maut, maka beliau menempelkan ujung baju beliau ke wajah beliau sendiri. Dan ketika ujung baju itu telah menutupi wajahnya, maka beliau membukanya kembali seraya bersabda, “Laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka telah menjadikan makam Nabi-Nabi mereka sebagai masjid.” ‘Aisyah mengatakan, “Beliau memperingatkan agar tidak melakukan seperti apa yang mereka lakukan.” [2]
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengemukakan, “Seakan-akan Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam telah mengetahui bahwa beliau akan pergi
selamanya melalui sakit yang beliau derita, sehingga beliau khawatir makam beliau akan diagung-agungkan seperti yang telah dilakukan orang-orang terdahulu. Oleh karena itu, beliau melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai isyarat yang menunjukkan celaan bagi orang-orang yang berbuat seperti perbuatan mereka.”
Dalam hadits lain, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia bercerita, ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam jatuh sakit, maka beberapa orang isteri beliau sempat membicarakan tentang sebuah gereja yang terdapat di negeri Habasyah (Ethiopia), yang diberi nama Maria – Ummu Salamah dan Ummu Habibah sudah pernah mendatangi negeri Habasyah – kemudian mereka menceritakan tentang keindahan gereja dan gambar-gambar yang terdapat di dalamnya. ‘Aisyah bercerita, “(Kemudian nabi shalallahu ‘alaihi wa salam mengangkat kepalanya) seraya berucap, “Mereka itu adalah orang-orang yang jika ada orang shalih di antara mereka yang meninggal dunia, maka mereka akan membangun masjid di makamnya itu lalu mereka memberi barbagai macam gambar di tempat tersebut. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah (pada hari kiamat kelak).” [3]
Pengertian Menjadikan Makam Sebagai Masjid
Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan di dalam kitab az-Zawaajir (I/121), “Menjadikan makam sebagai masjid berarti shalat di atasnya atau dengan menghadap ke arahnya.”
Imam al-Bukhari menerjemahkan hadits pertama dengan mengatakan, “Bab Maa Yukrahu min Ittikhaadzil Masaajid ‘alal Qubuur (Bab Dimakruhkan Membangun Masjid di Atas Kuburan).” Beliau mengisyaratkan bahwa larangan menjadikan kuburan sebagai masjid berkonsekuensi pada larangan membangun masjid di atasnya.
Tidak ada perbedaan antara membangun masjid di atas kuburan dengan menempatkan kuburan di dalam masjid, sehingga keduanya sama-sama diharamkan. Hal ini menunjukan bahwa masjid dan kuburan itu tidak dapat dikumpulkan dalam satu tempat dan berkumpulnya dua hal tersebut bertentangan dengan tauhid dan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan karena keikhlasan inilah masjid itu dibangun. Allah berfirman,
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (QS al-Jin: 18)Al-Manawi di dalam kitab Faidhul Qadiir mengatakan, “Artinya, mereka menjadikan makam para Nabi itu sebagai arah kiblat mereka dengan keyakinan mereka yang salah. Dan menjadikan makam itu sebagai masjid menuntut keharusan pembangunan masjid di atasnya dan juga sebaliknya. Hal demikian itu menjelaskan sebab dilaknatnya mereka, yaitu karena tindakan tersebut mengandung sikap berlebihan dalam pengagungan. Al-Qadhi (yakni al-Baidhawi) mengatakan, “Orang-orang Yahudi bersujud kepada makam para Nabi sebagai pengagungan terhadap mereka dan menjadikannya sebagai kiblat, mereka juga menghadap ke makam itu dalam mengerjakan shalat dan ibadah lainnya, sehingga dengan demikian mereka telah menjadikannya sebagai berhala yang dilaknat oleh Allah. Dan Allah telah melarang kaum muslimin melakukan hal tersebut.”
Kenyataan yang ada akibat perbuatan menempatkan kuburan di masjid (atau sebaliknya) adalah berbagai penyimpangan dalam beribadah. Di antaranya berupa pengagungan terhadap penghuni kubur yang dianggap orang shalih lantas menjadikan kubur tersebut sebagai sarana bertaqarrub kepada Allah dengan melakukan berbagai ibadah seperti shalat, dzikir dan berdo’a. Terlebih lagi jika mereka menjadikan penghuni kubur sebagai perantara dalam berdo’a kepada Allah atau memiliki keyakinan bahwa penghuni kubur tersebut berkuasa untuk dimintai pertolongan atau menghindari mudharat. Padahal Allah berfirman,
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS az-Zumar: 3)
***
Rujukan:1. Larangan Shalat di Masjid yang Dibangun di Atas Kubur, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Pustaka Imam asy-Syafi’i, 2004
2. Kitab Tauhid 3, DR. Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Darul Haq, 1999
[1] Diriwayatkan oleh al-Bukhari (III/156, 198 dan VIII/114), Muslim (II/67)
[2] Diriwayatkan oleh al-Bukhari (I/422, VI/386 dan VIII/116), Muslim (II/67), Abu Awanah (I/399), an-Nasa’i (I/115) dll.
[3] Diriwayatkan oleh al-Bukhari (I/416 dan 422), Muslim (II/66), an-Nasa’i (I/115), Ahmad (VI/51) dll.
0 komentar:
Posting Komentar