Alhamdulillah, segala puji bagi Allah atas anugerah nikmat Islam, iman, dan nikmat-nikmat lainnya tiada terkira. Shalawat dan dalam semoga terlimpah kepada baginda RasulillahShallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.

Ghibah yang dalam arti menyebut (membicarakan) orang lain yang tidak ada di tempat dengan sesuatu yang dibencinya meskipun yang dibicarakan itu benar adanya, adalah dosa besar. Keharamannya disebutkan secara gamblang dalam Al-Qur'an dengan permisalan yang sangat menjijikkan, agar kaum muslimin mejauhinya. Allah Ta'ala berfirman,
وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
"Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain.  Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.  Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Hujuraat: 12)
Ibnu Katsir rahimahullah dalam menafsirkan ayat ghibah di atas mengatakan, "Ghibah (menggunjing) diharamkan menurut ijma'. Tidak ada pengecualian darinya kecuali jika ada mashlahat yang lebih, seperti dalam konteks jarh wa ta'dil dan nasihat."
Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, "Ijma' menyatakan bahwa ghibah termasuk salah satu dari dosa besar. Dan wajib bertaubat kepada Allah darinya."
Permisalan yang disebutkan Al-Qur'an menunjukkan keharaman dan buruknya perbuatan ghibah terletak pada kalimat, "Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya."
Dalam konteks ini Allah memburukkan perilaku ghibah agar orang-orang menjauhinya. Sebab seluruh manusia pasti menganggap perbuatan memakan daging manusia sebagai sesuatu yang menjijikkan. Terlebih yang dimakan adalah saudara kandungnya sendiri ataupun saudara seiman. Lalu bagaimana kalau yang dimakan adalah daging yang sudah busuk?!
Al-Qurthubi mengatakan, "Allah mengumpamakan ghibah dengan memakan bangkai, karena bangkai tidak tahu kalau ia dimakan. Begitu juga dengan orang hidup, ia tidak tahu gunjingan orang yang menggunjingnya."
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma mengatakan, "Sesungguhnya Allah membuat perumpamaan ini untuk perbuatan ghibah, karena memakan daging bangkai adalah perbuatan haram yang menjijikkan, begitu juga ghibab, haram dalam pandangan agama dan buruk menurut penilaian jiwa."
Qatadah rahimahullah berkata, "Sebagaimana salah seorang kalian dilarang memakan daging saudaranya yang sudah mati, begitu juga wajib menjauhi menggunjingnya sewaktu ia masih hidup.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
"Setiap muslim haram darah, harta, dan kehormatannya atas muslim lainnya." (HR. Muslim)
. . . karena memakan daging bangkai adalah perbuatan haram yang menjijikkan, begitu juga ghibab, haram dalam pandangan agama dan buruk menurut penilaian jiwa.
Namun, dalam beberapa kondisi ternyata ghibah itu dibolehkan. Khususnya apabila dia menjadi satu-satunya jalan untuk tercapai tujuan yang benar dan masyru’ (sesuai syariat). Contohnya, mengadukan kedzaliman orang atas dirinya, meminta fatwa, memberi nasihat, memperingatkan manusia atas kejahatan orang, meminta bantuan untuk merubah kemungkaran, serta untuk memberitahukan hal ihwal seseorang.
Dalil ghibah yang dibenarkan dalam mengadukan kezhaliman seseorang atas dirinya terdapat dalam firman Allah Ta’ala,
لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا
Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Nisa’: 148) Dia boleh mendoakan orang yang mezhaliminya dan mengadukannya tanpa berbohong, namun demikian memaafkan adalah lebih utama dan lebih dekat dengan takwa.
Dalil bolehnya menggunjing seseorang ketika meminta fatwa adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu 'anha. Hindun binti ‘Utbah berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah laki-laki yang pelit. Dia tidak memberikan nafkah kepadaku yang cukup untuk diriku dan anakku kecuali kalau aku mengambil darinya yang dia tidak tahu. Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Ambillah harta yang mencukupi dirimu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari) landasannya adalah pertaannya, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah laki-laki yang pelit.” Dia membicarakannya apa yang ada pada diri Abu Sufyan di hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.
Sedangkan dalil yang menunjukkan bolehnya ghibah terhadap orang jahat yang terang-terang dalam melakukan kajahatannya dengan tujuan agar orang yang mendengarnya menjauhi perbuatan tersebut adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu 'anhayang berkata, “Seorang laki-laki meminta izin kepada NabiShallallahu 'alaihi wasallam lalu beliau bersabda, “Izinkanlah dia, seburuk-buruk saudara satu kabilah.” Maka dia masuk, beliau melembutkan perkataan kepadanya.
Aku (‘Aisyah) berkata, “Ya Rasulullah, engkau telah berkata apa yang engkau katakana, lalu engkau berkata lembut kepadanya.” Beliau menjawab, “Hai Aisyah, sesungguhnya seburuk-buruk manusia adalah orang yang ditinggalkan/dijauhi manusia karena takut akan kejahatannya.” (HR. Al-Bukhari)
Sesungguhnya seburuk-buruk manusia adalah orang yang ditinggalkan/dijauhi manusia karena takut akan kejahatannya. (al-hadits)
Sebagian ulama menyebutkan bahwa laki-laki ini adalah ‘Uyainah bin Hishn al-Fazzari yang ketika itu belum masuk Islam, walaupun dia menampakkan Islamnya, karenanya NabiShallallahu 'alaihi wasallam hendak menjelaskan kondisinya agar orang-orang mengenalnya dan tidak tertipu dengan tampilannya. Dan sungguh terbukti di masa Nabi Muhammad dan sesudahnya ada beberapa hal yang menunjukkan kelemahan imannya. Pada masa Abu Bakar, dia pernah murtad dan tertawan.
Maka yang pernah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallamsifatkan padanya itu menjadi bagian dari tanda-tanda kenabian beliau, karena terbukti sebagaimana yang beliau sifatkan. Dan sikap beliau yang melembutkan perkataan kepadanya dan orang-orang yang seperti dia, adalah sebagai upaya menjinakkan agar dia masuk Islam. Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tidak memujinya dan tidak pula menyebutkan bahwa beliau menyanjungnya, baik di hadapannya atau di belakangnya. Hanya saja beliau melunakkannya dengan sedikit dunia (memberikan harta) dan berkata yang lembut.
Sementara bukti bahwa ghibah dibolehkan dalam rangka memberi nasihat ditunjukkan keumuman sabda NabiShallallahu 'alaihi wasallam, “Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa ya Rasulallah?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, untuk para pemimpin kaum muslimin dan untuk manusia secara keseluruhan.” (HR. Muslim)
Seseorang boleh menyebutkan kejelekan orang lain untuk menasihati kaum muslimin agar pengaruh jeleknya dan sesuatu yang membahayakannya. Contoh nyatanya dengan menjarhpara perawi dan saksi untuk memelihara hadits RasulullahShallallahu 'Alaihi Wasallam. Kemudian juga menyebutkan keburukan orang dalam musyawarah urusan nikah, perserikatan, dan kongsi.
Bukti bolehnya ghibah ketika meminta bantuan untuk merubah kemungkaran adalah seluruh nash yang menyebutkan tentang perintah amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan berbuat baik dan melarang dari kemungkaran). Di antaranya firman AllahJalla Jalaluhu,
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)
Dan perintah Nabi terhadap pemimpin-pemimpin yang jahat, “Siapa yang melawan dengan tangannya maka dia seorang mukmin, dan siapa yang melawannya dengan lisannya dia seorang mukmin, dan siapa yang melawannya dengan hatinya dia seorang mukmin. Dan tidak ada iman sekecil apapun sesudah itu.” (HR. Muslim)
Sementara bukti dibolehkan ghibah dalam rangka mengenalkan dan membedakan seseorang dari yang lain tanpa maksud merendahkan dan menghina adalah hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu. Beliau berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam mengimami kami dalam shalat Zhuhur, dua rakaat lalu salam. Kemudian beliau menuju ke sebuah kayu di masjid depan dan meletakkan tangannya di atasnya. Di tengah-tengah jamaah terdapat Abu Bakar dan Umar, keduanya segan untuk berbicara kepada beliau. Segera muncul kesimpulan orang-orang yang berkata, “Shalat telah diqashar.” Dan di antara jama’ah terdapat seseorang yang dijuluki Nabi dengan Dzul Yadain, dia berkata, “Wahai Nabiyallah, apakah Anda lupa atau shalat diqashar?” Lalu beliau menjwab, “Aku tidak lupa dan tidak pula shalat diqashar.” Mereka menjawab, “Berarti Anda lupa ya Rasulallah.” Beliau menjawab, “Dzul Yadain benar.” Lalu beliau berdiri dan shalat dua rakaat lalu salam. Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wasallam sujud sahwi.” (Muttafaq ‘alaih)
Dasarnya adalah Nabi memanggil laki-laki ini dengan dzul yadain (yang punya dua tangan). Telah diketahui, panggilan semacam itu jika untuk menerangkan dan membedakan dari yang lain boleh-boleh saja. Namun jika untuk merendahkan maka tidak boleh. Dari sini, ketika ‘Aisyah mengisaratkan kepada seorang wanita yang menemuinya bahwa dia pendek, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menegurnya dan menerangkan hal itu sebagai ghibah. Karena Aisyah bermaksud memberitahukan bentuknya bukan hanya untuk mengenalkan.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ghibah adalah membicarakan orang dengan sesuatu yang tidak dia suka ketika dia tidak ada. Sedangkan asal al-bahtu adalah membicarakan keburukan orang lain yang tidak ada padanya. Keduanya diharamkan. Tapi dibolehkan ghibah untuk tujuan syar’i dengan enam sebab berikut ini:
1. Al-Tazhallum (mengadukan kezhaliman). Boleh bagi orang yang dizhalimi untuk mengadukan kezhaliman yang menimpa dirinya kepada penguasa, qadhi, atau yang memiliki otoritas hukum ataupun pihak yang berwajib lainnya. Ia dapat menuntut keadilan ditegakkan atas orang yang mezhaliminya dengan mengatakan, “Si Fulan telah melakukan kezhaliman terhadapku dengan cara seperti ini dan itu.”
2. Permintaan bantuan untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat kepada kebenaran dengan mengatakan kepada orang yang diharapkan mampu melakukannya, “Si Fulan telah berbuat begini, selamatkah dia darinya.”
3. Permintaan fatwa (al istifta’). Misal seseorang mengatakan kepada seorang mufti (pemberi fatwa), si fulan atau ayahku atau saudaraku atau suamiku telah menzhalimiku dengan cara begini. Apakah dia berhak berbuat seperti itu? Lalu apa yang harus aku perbuat agar aku selamat darinya dan terhindar dari kezhalimannya? Atau pernyataan apapun yang semacam itu. Maka ini hukumnya boleh jika diperlukan. Tapi lebih baik dia mengatakan, “Bagaimana pendapat Anda tentang seseorang, atau seorang suami, ayah, anak yang telah memperbuat hal seperti ini? Namun demikian menyebutkan secara rinci tetap boleh berdasarkan hadits Hindun dan aduannya, “Sesungguhnya Abu Sufyan seorang laki-laki yang pelit.”
4. Memperingatkan kaum muslimin dari keburukan. Hal ini memiliki beberapa bentuk, di antaranya:
- Menyebutkan keburukan orang yang buruk (jarh majruhin) dari kalangan perawi hadits, saksi ataupun pengarang. Semua itu boleh berdasarkan ijma’, bahkan wajib sebagai langkah melindungi syari’at.
- Membeberkan aibnya ketika bermusyawarah untuk menjalin hubungan dengannya (bisa dalam bentuk, kerjasama, pernikahan dan lainya-pent).
- Apabila melihat seseorang membeli sesuatu yang cacat atau membeli seorang budak yang suka mencuri, berzina, mabuk-mabukan, atau semisalnya. Engkau boleh memberitahukannya kepada pembelinya jika ia tidak tahu dalam rangka memberi nasihat bukan untuk menyakiti atau merusak.
- Apabila engkau melihat seorang pelajar (santri) yang sering bertandang kepada orang fasik atau ahli bid’ah untuk menuntut ilmu, dan engkau khawatir dia terpengaruh dengan sikap negatifnya, maka wajib engkau memerinya nasihat dengan menjelaskan keadaan orang tersebut semata-mata untuk menasihati.
- Seseorang yang memiliki kedudukan namun tidak melaksanakan dengan semestinya karena bukan ahlinya atau karena kefasikannya, maka boleh melaporkannya kepada orang yang memiliki jabatan di atasnya agar dia memperoleh kejelasan tentang keadaanya supaya dia tidak tertipu olehnya dan mendorongnya untuk istiqamah.
5. Seseorang yang melakukan kefasikan (kemaksiatan) atau kebid’ahan dengan terang-terangan, seperti minum-minuman keras, merampas harta orang (memalak), mengambil pungutan liar, dan melakukan perbuatan batil lainnya. Maka boleh menyebut (membicarakan)nya karena dia melakukan kejahatan dengan terang-terangan. Adapun yang selain itu, tidak boleh kecuali ada sebab yang lain.
6. Untuk mengenalkan. Apabila dia terkenal dengan panggilanal-A’masy (orang yang kabur penglihatannya), pincang, al-Azraq (yang berwarna biru), pendek, buta, buntung tangannya, dan semisalnya maka boleh memperkenalkannya dengan menyebut hal itu. Namun tidak boleh menyebutnya (membicarakannya) karena menghina. Dan jika bisa memperkenalkannya dengan sebutan yang lain tentu itu lebih baik. (PurWD/voa-islam.com)

Oleh: Badrul Tamam


Tulisan Terkait:

0 komentar:

Agenda Harian

Semoga kita senantiasa terpacu untuk mengukir prestasi amal yang akan memperberat timbangan kebaikan di yaumil akhir, berikut rangkaian yang bisa dilakukan

1. Agenda pada sepertiga malam akhir

a. Menunaikan shalat tahajjud dengan memanjangkan waktu pada saat ruku’ dan sujud di dalamnya,

b. Menunaikan shalat witir

c. Duduk untuk berdoa dan memohon ampun kepada Allah hingga azan subuh

Rasulullah saw bersabda:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

“Sesungguhnya Allah SWT selalu turun pada setiap malam menuju langit dunia saat 1/3 malam terakhir, dan Dia berkata: “Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku maka akan Aku kabulkan, dan barangsiapa yang meminta kepada-Ku maka akan Aku berikan, dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku maka akan Aku ampuni”. (HR. Bukhari Muslim)


2. Agenda Setelah Terbit Fajar

a. Menjawab seruan azan untuk shalat subuh

” الَّلهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِي وَعَدْتَهُ “

“Ya Allah, Tuhan pemilik seruan yang sempurna ini, shalat yang telah dikumandangkan, berikanlah kepada Nabi Muhammad wasilah dan karunia, dan bangkitkanlah dia pada tempat yang terpuji seperti yang telah Engkau janjikan. (Ditashih oleh Al-Albani)

b. Menunaikan shalat sunnah fajar di rumah dua rakaat

Rasulullah saw bersabda:

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا

“Dua rakaat sunnah fajar lebih baik dari dunia dan segala isinya”. (Muslim)

وَ قَدْ قَرَأَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِي رَكْعَتَي الْفَجْرِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدَ

“Nabi saw pada dua rakaat sunnah fajar membaca surat “Qul ya ayyuhal kafirun” dan “Qul huwallahu ahad”.

c. Menunaikan shalat subuh berjamaah di masjid –khususnya- bagi laki-laki.

Rasulullah saw bersabda:

وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الْعَتْمَةِ وَالصُّبْحِ لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

“Sekiranya manusia tahu apa yang ada dalam kegelapan dan subuh maka mereka akan mendatanginya walau dalam keadaan tergopoh-gopoh” (Muttafaqun alaih)

بَشِّرِ الْمَشَّائِيْنَ فِي الظّلَمِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِالنُّوْرِ التَّامِّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Berikanlah kabar gembira kepada para pejalan di kegelapan menuju masjid dengan cahaya yang sempurna pada hari kiamat”. (Tirmidzi dan ibnu Majah)

d. Menyibukkan diri dengan doa, dzikir atau tilawah Al-Quran hingga waktu iqamat shalat

Rasulullah saw bersabda:

الدُّعَاءُ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ

“Doa antara adzan dan iqamat tidak akan ditolak” (Ahmad dan Tirmidzi dan Abu Daud)

e. Duduk di masjid bagi laki-laki /mushalla bagi wanita untuk berdzikir dan membaca dzikir waktu pagi

Dalam hadits nabi disebutkan:

كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إَذَا صَلَّى الْفَجْرَ تَرَبَّعَ فِي مَجْلِسِهِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ الْحَسَنَاءُ

” Nabi saw jika selesai shalat fajar duduk di tempat duduknya hingga terbit matahari yang ke kuning-kuningan”. (Muslim)

Agenda prioritas

Membaca Al-Quran.

Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya waktu fajar itu disaksikan (malaikat). (Al-Isra : 78) Dan memiliki komitmen sesuai kemampuannya untuk selalu:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah lebih banyak dari itu semua, maka akan menuai kebaikan berlimpah insya Allah.

3. Menunaikan shalat Dhuha walau hanya dua rakaat

Rasulullah saw bersabda:

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى

“Setiap ruas tulang tubuh manusia wajib dikeluarkan sedekahnya, setiap hari ketika matahari terbit. Mendamaikan antara dua orang yang berselisih adalah sedekah, menolong orang dengan membantunya menaiki kendaraan atau mengangkat kan barang ke atas kendaraannya adalah sedekah, kata-kata yang baik adalah sedekah, tiap-tiap langkahmu untuk mengerjakan shalat adalah sedekah, dan membersihkan rintangan dari jalan adalah sedekah”. (Bukhari dan Muslim)

4. Berangkat kerja atau belajar dengan berharap karena Allah

Rasulullah saw bersabda:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمِلِ يَدِهِ، وَكَانَ دَاوُدُ لا يَأْكُلُ إِلا مِنْ عَمِلِ يَدِهِ

“Tidaklah seseorang memakan makanan, lebih baik dari yang didapat oleh tangannya sendiri, dan bahwa nabi Daud makan dari hasil tangannya sendiri”. (Bukhari)

Dalam hadits lainnya nabi juga bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang berjalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga”. (Muslim)

d. Menyibukkan diri dengan dzikir sepanjang hari

Allah berfirman :

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ketahuilah dengan berdzikir kepada Allah maka hati akan menjadi tenang” (Ra’ad : 28)

Rasulullah saw bersabda:

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهَ أَنْ تَمُوْتَ ولسانُك رَطْبٌ من ذِكْرِ الله

“Sebaik-baik perbuatan kepada Allah adalah saat engkau mati sementara lidahmu basah dari berdzikir kepada Allah” (Thabrani dan Ibnu Hibban) .

5. Agenda saat shalat Zhuhur

a. Menjawab azan untuk shalat Zhuhur, lalu menunaikan shalat Zhuhur berjamaah di Masjid khususnya bagi laki-laki

b. Menunaikan sunnah rawatib sebelum Zhuhur 4 rakaat dan 2 rakaat setelah Zhuhur

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang shalat 12 rakaat pada siang dan malam hari maka Allah akan membangunkan baginya dengannya rumah di surga”. (Muslim).

6. Agenda saat dan setelah shalat Ashar

a. Menjawab azan untuk shalat Ashar, kemudian dilanjutkan dengan menunaikan shalat Ashar secara berjamaah di masjid

b. Mendengarkan nasihat di masjid (jika ada)

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ لا يُرِيدُ إِلا أَنْ يَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ يَعْلَمَهُ، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ حَاجٍّ تَامًّا حِجَّتُهُ

“Barangsiapa yang pergi ke masjid tidak menginginkan yang lain kecuali belajar kebaikan atau mengajarkannya, maka baginya ganjaran haji secara sempurna”. (Thabrani – hasan shahih)

c. Istirahat sejenak dengan niat yang karena Allah

Rasulullah saw bersabda:

وَإِنَّ لِبَدَنِكَ عَلَيْكَ حَقٌّ

“Sesungguhnya bagi setiap tubuh atasmu ada haknya”.

Agenda prioritas:

Membaca Al-Quran dan berkomitmen semampunya untuk:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan, maka akan menuai kebaikan yang berlimpah insya Allah.

7. Agenda sebelum Maghrib

a. Memperhatikan urusan rumah tangga – melakukan mudzakarah – Menghafal Al-Quran

b. Mendengarkan ceramah, nasihat, khutbah, untaian hikmah atau dakwah melalui media

c. Menyibukkan diri dengan doa

Rasulullah saw bersabda:

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

“Doa adalah ibadah”

8. Agenda setelah terbenam matahari

a. Menjawab azan untuk shalat Maghrib

b. Menunaikan shalat Maghrib secara berjamaah di masjid (khususnya bagi laki-laki)

c. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Maghrib – 2 rakaat

d. Membaca dzikir sore

e. Mempersiapkan diri untuk shalat Isya lalu melangkahkan kaki menuju masjid

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً

“Barangsiapa yang bersuci/berwudhu kemudian berjalan menuju salah satu dari rumah-rumah Allah untuk menunaikan salah satu kewajiban dari kewajiban Allah, maka langkah-langkahnya akan menggugurkan kesalahan dan yang lainnya mengangkat derajatnya”. (Muslim)

9. Agenda pada waktu shalat Isya

a. Menjawab azan untuk shalat Isya kemudian menunaikan shalat Isya secara jamaah di masjid

b. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Isya – 2 rakaat

c. Duduk bersama keluarga/melakukan silaturahim

d. Mendengarkan ceramah, nasihat dan untaian hikmah di Masjid

e. Dakwah melalui media atau lainnya

f. Melakukan mudzakarah

g. Menghafal Al-Quran

Agenda prioritas

Membaca Al-Quran dengan berkomitmen sesuai dengan kemampuannya untuk:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan bacaan maka telah menuai kebaikan berlimpah insya Allah.


Apa yang kita jelaskan di sini merupakan contoh, sehingga tidak harus sama persis dengan yang kami sampaikan, kondisional tergantung masing-masing individu. Semoga ikhtiar ini bisa memandu kita untuk optimalisasi ibadah insya Allah. Allahu a’lam

Jazaakillah

Sedikit revisi dari : http://www.al-ikhwan.net/agenda-harian-ramadhan-menuju-bahagia-di-bulan-ramadhan-2989/

Isi Blog

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.