Oleh: Muhammad Nuh
dakwatuna.com – “Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya. Apabila melihat aib padanya, dia segera memperbaikinya.” (Al-Bukhari)
Indahnya nikmat keimanan. Hati yang semula gelap menjadi terang. Bahaya dan penyakit di sekitar diri yang sebelumnya tertutupi, bisa terlihat jelas. Kian tampak mana yang baik, dan yang buruk. Dalam hal apa pun. Termasuk, dalam pergaulan dan persaudaraan Islam.
Tak ada manusia yang serba sempurna
Saat ini tak ada manusia yang sempurna dalam segala hal. Selalu saja ada kekurangan. Boleh jadi ada yang bagus dalam rupa, tapi ada kekurangan dalam gaya bicara. Bagus dalam penguasaan ilmu, tapi tidak mampu menguasai emosi kalau ada singgungan. Kuat di satu sisi, tapi rentan di sudut yang lain.
Dari situlah seorang mukmin mesti cermat mengukur timbangan penilaian terhadap seseorang. Apa kekurangan dan kesalahannya. Kenapa bisa begitu. Dan seterusnya. Seperti apa pun orang yang sedang dinilai, keadilan tak boleh dilupakan. Walaupun terhadap orang yang tidak disukai. Yakinlah kalau di balik keburukan sifat seorang mukmin, pasti ada kebaikan di sisi yang lain. Tidak boleh main ‘pukul rata’: “Ah, orang seperti itu memang tidak pernah baik!”
Allah swt. meminta orang-orang beriman agar senantiasa bersikap adil. Firman-Nya dalam surah Al-Maidah ayat 8, “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah; menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dari timbangan yang adil itulah, penilaian jadi proporsional. Tidak serta-merta mencap bahwa orang itu pasti salah. Mungkin, ada sebab yang membuat ia lalai, lengah, dan kehilangan kendali. Bahkan boleh jadi, jika pada posisi dan situasi yang sama, kita pun tidak lebih bagus dari orang yang kita nilai.
Kekurangan diri seorang mukmin merupakan ujian mukmin yang lain
Sesama mukmin seperti satu tubuh. Ada keterkaitan yang begitu kuat. Sakit di salah satu bagian tubuh, berarti sakit pula di bagian yang lain. Cela pada diri seorang mukmin, berarti cela pula buat mukmin yang lain.
Setidaknya, ada dua ujian buat seorang mukmin ketika saudaranya tersangkut aib. Pertama, kesabaran untuk menanggung keburukan secara bersama. Siapa lagi yang layak memberi kritik dan arahan kalau bukan saudara sesama mukmin. Karena dialah yang lebih paham seperti apa daya tahan keimanan saudaranya sesama mukmin. Sabar untuk senantiasa menegur, mendekati, dan memberi solusi.
Kedua, kesabaran untuk tidak mengabarkan keburukan saudaranya kepada orang lain. Ini memang sulit. Karena lidah kerap usil. Selalu saja tergelitik untuk menyampaikan isu-isu baru yang menarik. Tapi sayangnya, sesuatu yang menarik buat orang lain kadang buruk buat objek yang dibicarakan. Di situlah ujian seorang mukmin untuk mampu memilih dan memilah. Mana yang perlu dikabarkan, dan mana yang tidak.
Rasulullah saw. bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang suka mendengar-dengar berita rahasia orang lain.” (Al-Bukhari)
Tataplah kekurangan diri sebelum menilai kekurangan orang lain
Ego manusia selalu mengatakan kalau ‘sayalah yang selalu baik. Dan yang lain buruk’. Dominasi ego seperti inilah yang kerap membuat timbangan penilaian jadi tidak adil. Kesalahan dan kekurangan orang lain begitu jelas, tapi kekurangan diri tak pernah terlihat. Padahal, kalau saja bukan karena anugerah Allah berupa tertutupnya aib diri, tentu orang lain pun akan secara jelas menemukan aib kita.
Sebelum memberi reaksi terhadap aib orang lain, lihatlah secara jernih seperti apa mutu diri sendiri. Lebih baikkah? Atau, jangan-jangan lebih buruk. Dari situlah ucapan syukur dan istighfar mengalir dari hati yang paling dalam. Syukur kalau diri ternyata lebih baik. Dan istighfar jika terlihat bahwa diri sendiri lebih buruk.
Tatap aib saudara mukmin lain dengan pandangan baik sangka. Mungkin ia terpaksa. Mungkin itulah pilihan buruk dari sekian yang terburuk. Mungkin langkah dia jauh lebih baik dari kita, jika berada pada situasi dan kondisi yang sama.
Membuka aib seorang mukmin berarti memperlihatkan aib sendiri
Seorang mukmin dengan mukmin lainnya adalah bersaudara. Sebuah persaudaraan yang jauh lebih sakral ketimbang satu ayah dan satu ibu. Karena Allah sendiri yang menyatakan kekuatan persaudaraan itu: “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara….” (Al-Hujurat: 10)
Ketika seorang mukmin membuka dan menyebarkan aib saudaranya, ada dua kesalahan yang dilakukan sekaligus. Pertama, ada citra keagungan orang-orang beriman yang terkotori. Dan reaksi yang muncul memojokkan umat Islam, “Yah, sama saja. Keimanan tidak bisa jadi jaminan!” Dan seterusnya.
Kedua, orang yang gemar menyebarkan aib saudaranya, sebenarnya tanpa sadar sedang memperlihatkan jati dirinya yang asli. Antara lain, tidak bisa memegang rahasia, lemah kesetiakawanan, dan penyebar berita bohong. Semakin banyak aib yang ia sebarkan, kian jelas keburukan diri si penyebar.
Benar apa yang dinasihatkan Rasulullah saw. bahwa diam adalah pilihan terbaik ketika tidak ada bahan ucapan yang baik. Simpanlah aib seorang teman dan saudara sesama mukmin, karena dengan begitu; kelak, Allah swt., akan menutup aib kita di hadapan manusia.
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/bercermin-dengan-aib-sendiri/
Share
Selasa, 15 November 2011
0 komentar:
Posting Komentar