Oleh: Fahmi Islam Jiwanto, MA

Kirim Print
Mungkin semua sepakat bahwa kekayaan adalah hal yang menarik, yang diinginkan dan didambakan oleh hampir semua orang. Akan tetapi siapa sangka bahwa ternyata tidak semua jenis dan kondisi kekayaan, kebercukupan, dan keberadaan adalah hal yang terpuji. Al-Qur’an ternyata menunjukkan bahwa Allah tidak selalu berpihak apalagi memuji orang kaya.

Dalam ayat al-Qur’an dan hadits Nabi saw kita temukan dua istilah yang berarti kekayaan. Ada istilah ghina (kaya) ada istilah tarof (mewah). Keduanya menunjukkan makna kekayaan, kebercukupan dan keberadaan. Tapi nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah punya sikap yang berbeda dengan kedua istilah tersebut.

Dalam al-Qur’an pemakaian akar kata ghina jarang dipakai untuk konteks mengecam. Al-Qur’an memakai kata ghaniyy untuk mengungkapkan sifat Allah Yang Maha Kaya. Sedangkan untuk manusia Allah memakai bentuk jamak (aghniya’) yaitu orang-orang kaya, seperti di surat al-Baqarah ayat 273, Ali Imran 181, dan at-Taubah 93 semuanya dalam bentuk nakirah (indefinite) dan dalam surat al-Hasyr ayat 7 dalam bentuk ma’rifah (definite). Dalam ayat-ayat tersebut Allah tidak menganggap kekayaan sebagai sesuatu hal yang tercela. Di Ali Imran 181 Allah swt mengecam orang-orang Yahudi mengaku kaya dan mengatakan Allah fakir, subhanallah!!! Kekayaan itu sendiri tidak dipermasalahkan tetapi kesombongan dan keangkuhan mereka yang Allah swt kecam. Di surat at-Taubah 93 Allah swt mengecam orang-orang yang tidak ingin berjihad padahal mereka berkecukupan dan mampu untuk berjihad. Kekayaan di sini justru menjadi sarana yang mengharuskan untuk berjuang. Selain kedua ayat tadi Allah swt menyebutkan kata aghniya’ dengan netral.

Kalau kita lihat hadits Nabi saw kita akan temukan sikap yang sama terhadap ghina dan akar katanya. Rasulullah saw bahkan memuji kondisi kaya dalam banyak hal misalnya dalam hadits riwayat imam Muslim:

خير الصدقة ما كان عن ظهر غنى ، واليد العليا خير من اليد السفلى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ

“Sedekah terbaik adalah yang dikeluarkan dalam keadaan cukup (kaya), dan tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah, dan mulailah dari keluargamu.” (HR Muslim)

Dalam hadits ini Rasulullah saw memuji kondisi kebercukupan dan bahwa sedekah sebaiknya dilakukan ketika seseorang dalam keadaan mampu. Lebih jauh lagi Rasulullah saw menyatakan bahwa yang memberi lebih baik dari yang hanya menerima. Dan itu adalah pujian bagi kondisi kaya.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Sa’d bin Abi Waqqash, Rasulullah saw bahkan mengatakan bahwa kondisi kaya bagi ahli waris lebih baik dari kondisi miskin tak berdaya. Rasulullah saw bersabda kepada Sa’d:

إنك إن تترك ورثتك أغنياء خير من أن تتركهم عالة يتكففون الناس

“Sesungguhnya jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik dari pada engkau tinggalkan mereka miskin meminta-minta kepada orang.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Meskipun juga Rasulullah saw tidak mengajarkan kita untuk menjadi materialistis, menganggap bahwa kekayaan materi adalah segalanya. Rasulullah saw berkata bahwa

ليس الغنى عن كثرة العرض ، إنما الغنى غنى النفس

“Kekayaan bukanlah dengan banyaknya materi tetapi kekayaan adalah kekayaan jiwa.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Rasulullah saw mengecam kekayaan ketika kekayaan mendorong orang untuk berbuat dan bersikap melebihi batas. Dalam hadits riwayat a-Turmudzi Rasulullah saw mencela ghinan muthghiyan yang berarti kekayaan yang membuat seseorang menjadi berlebih-lebihan.

Itu tadi tentang istilah ghina, bagaimana dengan istilah tarof? Kita temukan dalam al-Qur’an bahwa orang-orang yang mutrof (bermewah-mewahan) selalu dikecam.

Kata tarof dan akar katanya disebutkan tiga kali dalam al-Qur’an dan ternyata semua bernada mengecam.

Kita lihat bagaimana surat al-Waqi’ah berbicara tentang “golongan kiri” yang merupakan penduduk neraka. Di ayat 45 Allah menyebutkan sifat mereka:

“Sesungguhnya mereka sebelumnya (ketika di dunia) adalah orang yang bermewah-mewahan.” (QS. Al Waqi’ah: 45)

Secara kasat mata kita juga dapat melihat kebanyakan orang-orang yang tenggelam dengan dosa dan kemaksiatan adalah orang-orang yang terlena dengan kekayaan harta sehingga mereka lalai bahwa kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan akhirat.

Kita baca lagi surat al-Israa’, dalam ayat ke 16 Allah swt berfirman:

“Dan jika Kami ingin menghancurkan sebuah negeri, Kami perintahkan orang-orang yang bermewah-mewahan dari mereka sehingga mereka berbuat dosa di negeri itu, lalu mereka berhak mendapakan ketentuan (azab), dan Kami hancurkanlah negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS. al-Israa’: 16)

Ayat ini berbicara tentang sebuah sunnatullah, yang berlaku pada setiap kondisi yang analog. Bukan hanya pada kasus tertentu. Karena itu Allah swt memakai kata “Idza” (jika) yang berarti syarat dari sebuah proses sebab akibat.

Allah swt menyatakan bahwa proses kehancuran sebuah komunitas dimulai ketika elit masyarakatnya berbuat fasiq. Jika kefasikan bermula dari elitnya maka akan dengan mudah menyebar, ditiru atau ditularkan kepada seluruh masyarakat. Dan akhirnya merajalela kemaksiatan yang berakibat pada kehancuran komunal, tidak terbatas pada orang-orang tertentu saja.

Dalam surat Hud juga ditemukan bagaimana pengaruh orang-orang yang bermewah-mewahan itu. Allah swt berfirman pada ayat 116:

“Dan orang-orang yang zhalim mengikuti kemewahan yang ada pada mereka. Dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.” (QS. Hud: 116)

Ayat tersebut berbicara tentang perilaku orang-orang terdahulu di mana sulit ditemukan orang-orang yang mau melarang kemungkaran. Hal itu diperparah dengan kenyataan bahwa orang-orang kaya lebih suka memikirkan kekayaannya dan tenggelam dalam kemewahan dan kenikmatan duniawi sesaat.

Dari sini secara umum kita bisa melihat perbedaan antara kekayaan yang terpuji dan kesejahteraan yang layak diperjuangkan, dengan kemewahan dan kehidupan glamour yang tidak dipuji bahkan dikecam oleh al-Qur’an.

Layak untuk direnungkan bagi kita terutama bangsa Indonesia yang sedang berjuang meraih kesejahteraan agar menyadari bahwa capaian materi yang diajarkan oleh Islam bukanlah kehidupan yang glamour dan berfoya-foya. Al-Qur’an membedakan antara kekayaan yang terpuji dengan kemewahan yang tercela.

Lantas apa makna pembedaan itu? Mengapa perlu dibedakan?

Maknanya adalah Allah swt membolehkan bahkan mendorong adanya kekayaan bukan untuk dinikmati didunia ini semata-mata. Tetapi untuk diberikan kepada yang berhak, diinfakkan pada hal-hal yang bermanfaat bagi kepentingan umum, untuk membela agama dan negara, serta tujuan-tujuan mulia lainnya. Sedangkan kekayaan yang hanya digunakan untuk berfoya-foya dan bahkan untuk menyombongkan diri, adalah bencana yang hanya mencelakakan sang pemiliknya saja.


Perilaku-perilaku Tarof

Al-Qur’an juga memberikan beberapa ilustrasi tentang perilaku yang Allah swt benci dalam bersikap terhadap harta.

Pertama, Menganggap Kekayaan sebagai Simbol Kemuliaan

Di antara perilaku yang Allah swt kecam dalam berinteraksi dengan harta adalah menganggap bahwa harta yang banyak berarti kemuliaan di sisi Allah. Allah swt berfirman dalam surat al-Fajr:

“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimulaikan-Nya dan diberi-Nya kenikmatan maka dia berkata, “Tuhanku telah memuliakanku. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu dibatasi rejekinya maka dia berkata, ‘Tuhanku telah menghinakanku’. Sekali-kali tidak (demikian)!” (QS al-Fajr: 15-17)

Allah swt secara tegas menyalahkan persangkaan orang bahwa harta adalah ukuran kemuliaan. Karena memiliki sesuatu tidak berarti apa-apa, jika tidak bermanfaat bagi orang lain. Kepemilikan itu bukanlah kepemilikan hakiki, hanya sekedar titipan yang harus diberikan kepada yang berhak.

Kedua, Bangga dengan Konsumerisme Yang Berlebihan

Di antara perilaku tarof yang Allah swt kecam adalah berbangga dengan tingkat konsumsi yang tinggi. Allah swt menyindir orang yang seperti ini di dalam surat al-Balad: 6.

“Dia mengatakan, ‘Aku telah menghabiskan harta yang banyak.” (QS al-Balad: 6)

Kita banyak temukan sikap-sikap seperti ini pada orang-orang yang menganggap bahwa prestise dan image positif dibentuk dengan fasilitas-fasilitas yang mewah, tingkat konsumsi yang tinggi, dan penampilan yang wah. Padahal harta dalam pandangan Allah swt adalah cobaan yang akan dipertanggung jawabkan nanti di akhirat, dari mana mendapatkannya dan untuk apa dipergunakannya. Tidak ada sama sekali pertanyaan berapa kamu menghasilkan harta?

Ketiga, Merendahkan Orang Miskin

Di antara sikap-sikap tercela mengenai kekayaan adalah bukan hanya berbangga dengan kekayaan diri bahkan juga menganggap rendah orang yang lebih sedikit harta. Dalam surat al-Kahfi Allah swt bercerita tentang dua sahabat yang berbeda tingkat ekonominya. Allah swt berfirman:

“Dan berikanlah untuk mereka perumpamaan dua orang yang Kami berikan kepada salah seorang dari mereka dua kebun anggur dan Kami kelilingi dua kebun itu dengan pohon-pohon korma dan Kami jadikan di antara dua kebun itu ladang. Kedua kebun itu menghasilkan buahnya dan kebun itu tidak berkurang hasilnya sedikitpun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah kebun itu. Dan dia mempunyai hasil yang besar, lalu berkatalah dia kepada kawannya ketika bercakap-cakap dengannya, ‘Hartaku lebih banyak dari hartamu, dan orang-orangku lebih kuat.’ (QS al-Kahfi: 32-34).

Keempat, Tidak Berusaha Menolong Orang Miskin

Perilaku buruk lain yang sering dikecam al-Qur’an adalah ketidakpedulian terhadap orang-orang miskin. Kita bisa temukan kecaman al-Qur’an dalam hal ini misalnya pada surat al-Haqqah ayat 34, al-Ma’un ayat 3, al-Fajr ayat 17, an-Nisa ayat 37, al-Hadid 24.

Kelima, Memamerkan Kekayaan di Hadapan Orang Miskin

Di antara perilaku orang kaya yang dicela al-Qur’an adalah memamerkan kekayaan dan membanggakan penampilan materi, sebagaimana Allah swt ceritakan tingkah Qarun dalam surat al-Qashash dari ayat 79. Di dalam ayat-ayat tersebut Allah swt menggambarkan betapa Qarun yang begitu kaya raya itu bertingkah sombong dan pamer kekayaan.

Keenam, Menyandarkan Kekayaan kepada Kemampuan Pribadi

Perilaku lain yang dikecam al-Qur’an terkait kekayaan adalah mengkalim bahwa kekayaan dihasilkan semata-mata karena kemampuan pribadi. Sebagaimana Qarun dengan congkak mengatakan bahwa kekayaannya adalah karena ilmu yang ada padanya (QS. al-Qashash ayat 78). Juga dalam surat az-Zumar Allah swt menegur manusia yang jika diberi nikmat dia mengatakan bahwa hal itu semata dikarenakan karena kelebihan yang ada pada dirinya. Sikap yang benar yang harus dilakukan manusia adalah sikap yang dicontohkan oleh Nabi Sulaiman as yang mengatakan ketika mendapatkan nikmat, beliau mengatakan, ”Hadza min fadhli rabbi liyabluwani a’asykuru am akfur. Ini adalah karunia Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau ingkar.” QS. An Naml : 40.

Harta pada hakekatnya hanyalah cobaan yang harus dipertanggung jawabkan, bukan kebanggaan yang harus dikejar. Allahu A’lam.[]

Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/kekayaan-antara-yang-terpuji-dan-tercela/



Share

0 komentar:

Agenda Harian

Semoga kita senantiasa terpacu untuk mengukir prestasi amal yang akan memperberat timbangan kebaikan di yaumil akhir, berikut rangkaian yang bisa dilakukan

1. Agenda pada sepertiga malam akhir

a. Menunaikan shalat tahajjud dengan memanjangkan waktu pada saat ruku’ dan sujud di dalamnya,

b. Menunaikan shalat witir

c. Duduk untuk berdoa dan memohon ampun kepada Allah hingga azan subuh

Rasulullah saw bersabda:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

“Sesungguhnya Allah SWT selalu turun pada setiap malam menuju langit dunia saat 1/3 malam terakhir, dan Dia berkata: “Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku maka akan Aku kabulkan, dan barangsiapa yang meminta kepada-Ku maka akan Aku berikan, dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku maka akan Aku ampuni”. (HR. Bukhari Muslim)


2. Agenda Setelah Terbit Fajar

a. Menjawab seruan azan untuk shalat subuh

” الَّلهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِي وَعَدْتَهُ “

“Ya Allah, Tuhan pemilik seruan yang sempurna ini, shalat yang telah dikumandangkan, berikanlah kepada Nabi Muhammad wasilah dan karunia, dan bangkitkanlah dia pada tempat yang terpuji seperti yang telah Engkau janjikan. (Ditashih oleh Al-Albani)

b. Menunaikan shalat sunnah fajar di rumah dua rakaat

Rasulullah saw bersabda:

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا

“Dua rakaat sunnah fajar lebih baik dari dunia dan segala isinya”. (Muslim)

وَ قَدْ قَرَأَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِي رَكْعَتَي الْفَجْرِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدَ

“Nabi saw pada dua rakaat sunnah fajar membaca surat “Qul ya ayyuhal kafirun” dan “Qul huwallahu ahad”.

c. Menunaikan shalat subuh berjamaah di masjid –khususnya- bagi laki-laki.

Rasulullah saw bersabda:

وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الْعَتْمَةِ وَالصُّبْحِ لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

“Sekiranya manusia tahu apa yang ada dalam kegelapan dan subuh maka mereka akan mendatanginya walau dalam keadaan tergopoh-gopoh” (Muttafaqun alaih)

بَشِّرِ الْمَشَّائِيْنَ فِي الظّلَمِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِالنُّوْرِ التَّامِّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Berikanlah kabar gembira kepada para pejalan di kegelapan menuju masjid dengan cahaya yang sempurna pada hari kiamat”. (Tirmidzi dan ibnu Majah)

d. Menyibukkan diri dengan doa, dzikir atau tilawah Al-Quran hingga waktu iqamat shalat

Rasulullah saw bersabda:

الدُّعَاءُ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ

“Doa antara adzan dan iqamat tidak akan ditolak” (Ahmad dan Tirmidzi dan Abu Daud)

e. Duduk di masjid bagi laki-laki /mushalla bagi wanita untuk berdzikir dan membaca dzikir waktu pagi

Dalam hadits nabi disebutkan:

كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إَذَا صَلَّى الْفَجْرَ تَرَبَّعَ فِي مَجْلِسِهِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ الْحَسَنَاءُ

” Nabi saw jika selesai shalat fajar duduk di tempat duduknya hingga terbit matahari yang ke kuning-kuningan”. (Muslim)

Agenda prioritas

Membaca Al-Quran.

Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya waktu fajar itu disaksikan (malaikat). (Al-Isra : 78) Dan memiliki komitmen sesuai kemampuannya untuk selalu:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah lebih banyak dari itu semua, maka akan menuai kebaikan berlimpah insya Allah.

3. Menunaikan shalat Dhuha walau hanya dua rakaat

Rasulullah saw bersabda:

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى

“Setiap ruas tulang tubuh manusia wajib dikeluarkan sedekahnya, setiap hari ketika matahari terbit. Mendamaikan antara dua orang yang berselisih adalah sedekah, menolong orang dengan membantunya menaiki kendaraan atau mengangkat kan barang ke atas kendaraannya adalah sedekah, kata-kata yang baik adalah sedekah, tiap-tiap langkahmu untuk mengerjakan shalat adalah sedekah, dan membersihkan rintangan dari jalan adalah sedekah”. (Bukhari dan Muslim)

4. Berangkat kerja atau belajar dengan berharap karena Allah

Rasulullah saw bersabda:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمِلِ يَدِهِ، وَكَانَ دَاوُدُ لا يَأْكُلُ إِلا مِنْ عَمِلِ يَدِهِ

“Tidaklah seseorang memakan makanan, lebih baik dari yang didapat oleh tangannya sendiri, dan bahwa nabi Daud makan dari hasil tangannya sendiri”. (Bukhari)

Dalam hadits lainnya nabi juga bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang berjalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga”. (Muslim)

d. Menyibukkan diri dengan dzikir sepanjang hari

Allah berfirman :

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ketahuilah dengan berdzikir kepada Allah maka hati akan menjadi tenang” (Ra’ad : 28)

Rasulullah saw bersabda:

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهَ أَنْ تَمُوْتَ ولسانُك رَطْبٌ من ذِكْرِ الله

“Sebaik-baik perbuatan kepada Allah adalah saat engkau mati sementara lidahmu basah dari berdzikir kepada Allah” (Thabrani dan Ibnu Hibban) .

5. Agenda saat shalat Zhuhur

a. Menjawab azan untuk shalat Zhuhur, lalu menunaikan shalat Zhuhur berjamaah di Masjid khususnya bagi laki-laki

b. Menunaikan sunnah rawatib sebelum Zhuhur 4 rakaat dan 2 rakaat setelah Zhuhur

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang shalat 12 rakaat pada siang dan malam hari maka Allah akan membangunkan baginya dengannya rumah di surga”. (Muslim).

6. Agenda saat dan setelah shalat Ashar

a. Menjawab azan untuk shalat Ashar, kemudian dilanjutkan dengan menunaikan shalat Ashar secara berjamaah di masjid

b. Mendengarkan nasihat di masjid (jika ada)

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ لا يُرِيدُ إِلا أَنْ يَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ يَعْلَمَهُ، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ حَاجٍّ تَامًّا حِجَّتُهُ

“Barangsiapa yang pergi ke masjid tidak menginginkan yang lain kecuali belajar kebaikan atau mengajarkannya, maka baginya ganjaran haji secara sempurna”. (Thabrani – hasan shahih)

c. Istirahat sejenak dengan niat yang karena Allah

Rasulullah saw bersabda:

وَإِنَّ لِبَدَنِكَ عَلَيْكَ حَقٌّ

“Sesungguhnya bagi setiap tubuh atasmu ada haknya”.

Agenda prioritas:

Membaca Al-Quran dan berkomitmen semampunya untuk:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan, maka akan menuai kebaikan yang berlimpah insya Allah.

7. Agenda sebelum Maghrib

a. Memperhatikan urusan rumah tangga – melakukan mudzakarah – Menghafal Al-Quran

b. Mendengarkan ceramah, nasihat, khutbah, untaian hikmah atau dakwah melalui media

c. Menyibukkan diri dengan doa

Rasulullah saw bersabda:

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

“Doa adalah ibadah”

8. Agenda setelah terbenam matahari

a. Menjawab azan untuk shalat Maghrib

b. Menunaikan shalat Maghrib secara berjamaah di masjid (khususnya bagi laki-laki)

c. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Maghrib – 2 rakaat

d. Membaca dzikir sore

e. Mempersiapkan diri untuk shalat Isya lalu melangkahkan kaki menuju masjid

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً

“Barangsiapa yang bersuci/berwudhu kemudian berjalan menuju salah satu dari rumah-rumah Allah untuk menunaikan salah satu kewajiban dari kewajiban Allah, maka langkah-langkahnya akan menggugurkan kesalahan dan yang lainnya mengangkat derajatnya”. (Muslim)

9. Agenda pada waktu shalat Isya

a. Menjawab azan untuk shalat Isya kemudian menunaikan shalat Isya secara jamaah di masjid

b. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Isya – 2 rakaat

c. Duduk bersama keluarga/melakukan silaturahim

d. Mendengarkan ceramah, nasihat dan untaian hikmah di Masjid

e. Dakwah melalui media atau lainnya

f. Melakukan mudzakarah

g. Menghafal Al-Quran

Agenda prioritas

Membaca Al-Quran dengan berkomitmen sesuai dengan kemampuannya untuk:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan bacaan maka telah menuai kebaikan berlimpah insya Allah.


Apa yang kita jelaskan di sini merupakan contoh, sehingga tidak harus sama persis dengan yang kami sampaikan, kondisional tergantung masing-masing individu. Semoga ikhtiar ini bisa memandu kita untuk optimalisasi ibadah insya Allah. Allahu a’lam

Jazaakillah

Sedikit revisi dari : http://www.al-ikhwan.net/agenda-harian-ramadhan-menuju-bahagia-di-bulan-ramadhan-2989/

Isi Blog

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.