REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG - Tak ada mimpi bukan pula ajakan dari seseorang. Namun dalam lubuk hati terdalam, Faustino begitu tertarik dengan Islam. Perkenalan Muhammad Ilyas, demikian nama baru Faustino, dengan Islam terbilang biasa-biasa saja. Bahkan, dia sempat beradu mulut dengan seorang Muslim yang kala itu tengah membangun sebuah mushala.
Ia tersinggung, si Muslim menganggap remeh peringatannya soal kemungkinan banjir. Apalagi, diskusi berubah menjadi saling memojokkan ajaran agama masing-masing. Ia mengambil batu, melempari mushala itu.
Namun, setelah amarah reda, ia membenarkan si Muslim tentang materi perdebatan itu. Dia pun mulai banyak membaca buku dan berdiskusi. Dia pun tahu, fakta yang dibicarakan si Muslim dalam perdebatan sengit itu ternyata benar.
Singkat cerita, Ilyas pun berinisiatif mendatangi mushala untuk bertemu sang kakak yang telah menjadi penganut Islam. Saat itu, usai jajak pendapat, suasana Timor Leste sangat mencekam. Muslim dimusuhi.
Saat itu, lepas tengah malam. "Mengapa kau ke sini," tanya sang kakak, seperti ditirukan Faustino. Ia wawswas, di belakang adiknya ada orang lain yang akan menyeretnya keluar, bahkan membunuhnya.
Melihat kondisi aman, sang kakak mengatakan agar ia besok pagi datang lagi, bertemu Pak haji, ketua takmir mushala.
Pagi, pukul 09.00 di bulan Februari 2008, Faustino mengikrakan dua kalimat syahadat.
***
Usai memeluk Islam, ia memutuskan untuk pergi ke Dili untuk belajar Islam. "Sudah masuk Islam tapi tidak tahu apa-apa. Akhirnya saya lari ke Dili, ibukota Timor Leste, saya belajar disana,” katanya.
Selama belajar di Dili, kemampuan Faustino tidak berubah. Ia labil. Dalam kondisi ini, seorang temannya yang telah lebih dulu menganut islam, mengiriminya satu keeping CD dialog Ustadz Nababan dengan seorang Nasrani. Dalam CD tersebut, diceritakan bagaimana Ustad Nababan berhasil mematahkan setiap dalil dari kitab suci lamanya. Dari CD itu, keimanan Ilyas yang labil segera naik kembali.
“Saya makin mantap memilih Islam sebagai jalan kehidupan," ungkap pria yang kini sehari-hari dipanggil Ilyas itu.
Ilyas pun memutuskan untuk hijrah ke Jepara pada tahun 2008. Di pondok itu, Ilyas harus belajar dengan anak kecil. “ Saya di pondok itu, ada dua teman dari Timor Leste, kami yang tertua. Dan kami sama sekali tidak bisa membaca huruf Arab, tapi Alhamdulillah, dengan belajar, saya pun bisa,” kenang dia.
Selepas dari pesantren di Jepara, Ilyas pun ingin melanjutkan pendidikan di Jakarta. Ternyata, mencari pendidikan Islam di Jakarta begitu sulit bagi Ilyas. Sejumlah tempat dia sambangi. Dia bahkan sempat mengunjungi masjid Kubah Emas. Di masjid itu, Ilyas mendapat diarahkan untuk mengunjungi pesantren AJ-Jamiah.
Namun sayang, pesantren tersebut sudah penuh. Terasa patah arang, Ilyas mengunjungi rumah ustadz Arifin Ilham. Lagi-lagi, Ilyas harus menerima kenyataan pahit; yayasan hanya menerima anak yatim dan piatu.
Beruntung, ada yang menuntunnya bertemu Ustadz Nababan. Akhirnya, ia belajar di pesantren Pembinaan Muallaf Annaba’ Center, Tangerang Selatan.
Sayangnya, cita-cita Ilyas di sekolah formal kandas. Rahasia keislamannya yang semula ditutup rapat, bocor pada orang tuanya. Biaya pendidikan pun terhenti.
“Orang tua saya hanya tahu kalau saya kuliah di Jawa. Mereka tidak tahu kalau saya sudah memeluk Islam,” kata dia. Kini, komunikasi antara Ilyas dan keluarganya terputus. Tiga bulan lalu, Ilyas coba mengontak keluarganya. Namun, tidak jua mendapatkan balasan.
Kuliahnya terhenti, karena tak ada biaya lagi.
Dia berharap, suatu saat bisa meneruskan kuliah. Sambil terus menekuni jalan dakwah. "Insya Allah, saya mantap dengan Islam," katanya.
Redaktur: Siwi Tri Puji B
Reporter: Agung Sasongko
0 komentar:
Posting Komentar