www.sufinews.com
Syeikh Abu Nashr As-Sarraj
Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— berkata:
Adapun tingkatan mereka yang memilih sama’ (mendengar) bait- bait syair, maka argumentasi mereka secara lahiriah adalah sabda Rasulullah Saw, “Sungguh di antara bait-bait syair terdapat hikmah.”(H.r. Bukhari-Muslim), dan sabda Nabi pula, “Hikmah adalah barang orang mukmin yang hilang.”
Kelompok ini mengatakan, bahwa al-Qur’an adalah Kalam Allah, sedangkan Kalam-Nya adalah juga Sifat-Nya. Sehingga hal itu adalah al-Haq, ketika Ia tampak maka manusia tidak mampu menguasai-Nya, karena Ia bukan makhluk yang bisa dijangkau oleh sifat-sifat makhluk. Dengan demikian, tidak dimungkinkan bagian yang satu bisa lebih baik daripada yang lain, dan tidak bisa diperindah dengan senandung atau lagu-lagu ciptaan makhluk, tapi justru sebaliknya, al-Qur’anlah yang memperindah segala sesuatu dan Ia adalah sesuatu yang terbaik serta dengan keindahannya, segala keindahan bisa dianggap baik. Allah Swt. berfirman:
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan a!-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (Q.s. al-Qamar: 22).
Dan juga firman-Nya, “Kalau sekiranya Kami menurunkan Qur’an ini kepada gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perurnpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir.” (Q.s. al-Hasyr: 21).
Maka demikian pula jika Allah menurunkannya ke dalam hati disertai dengan hakikat-hakikatnya, lalu hati tersebut disingkapkan bagian paling kecil dan keagungan dan rasa takut karena hormat ketika ia sedang membacanya, tentu hati akan gemetar dan tersungkur.
Ketika mereka memperhatikan hal-hal yang biasa berlaku di kalangan umat manusia, bahwa ada seorang yang mengkhatamkan al-Qur’an berkali-kali tapi ketika membacanya juga tidak menemukan kelembutan dalam hatinya, maka ketika membacanya disertai dengan suara yang merdu atau dengan lagu yang indah tentu akan mendapatkan kelembutan di hati dan merasakan nikmat ketika mendengarnya. Kemudian jika suara yang merdu dan lagu yang indah itu diterapkan pada selain al-Qur’an, mereka juga akan memperoleh kelembutan, kenikmatan dan ketenangan, maka mereka tahu, bahwa kelembutan, ketenangan, kenikmatan dan perasaaan cinta yang mendalam itu bermuara dari al-Qur’an. Sehingga orang-orang yang selalu membacanya akan senantiasa mendapatkan hal-hal yang demikian.
Sementara itu lagu-lagu yang indah akan sesuai dengan tabiat manusia, dan sinkronisasinya adalah pada kesenangan, bukan sinkronisasi pada kebenaran. Sedangkan al-Qur’an adalah Kalam Allah Swt. yang sinkronisasinya pada kebenaran, dan bukan pada kesenangan. Sementara bait-bait syair dari kasidah-kasidah sinkronisasinya juga pada kesenangan, bukan pada kebenaran (al-haq). Sedangkan ritual sama’ ini, sekalipun para pelakunya berbeda-beda dalam tingkat dan kekhususan masing-masing, tapi di dalamnya terdapat kecocokan terhadap watak manusia, kesenangan bagi jiwa dan kenikmatan bagi ruh, karena memiliki format dan kemasan yang sesuai dengan kelembutan yang terdapat dalam suara yang merdu dan lagu-lagu yang indah. Demikian pula bait- bait syair, di dalamnya juga tersimpan makna yang sangat tinggi, kelembutan, kefasihan dan isyarat-isyarat. Dan apabila suara-suara yang merdu dan lagu-lagu yang indah diterapkan dalam bait-bait syair, maka bagian yang satu akan membentuk keserasian dengan yang lain, dan menjadikannya lebih dekat pada kesenangan, lebih meringankan beban hati serta mengurangi bahaya yang diakibatkan persamaan antara makhluk yang satu dengan yang lain.
Maka orang yang lebih memilih mendengarkan (sama’) kasidah-kasidah daripada al-Qur’an adalah karena ia menghormati kesucian al-Qur’an dan keagungan derajatnya, sebab al-Qur’an adalah kebenaran (haq). Sementara jiwa akan bersembunyi ketika mendengar suara yang merdu dan gerakannya akan mati, bahkan akan fana dari kesenangan dan kenikmatannya ketika diawasi oleh Cahaya-cahaya kebenaran dan menampakkan makna-maknanya.
Lebih lanjut mereka memberikan alasan dengan mengatakan, “Selama sifat-sifat manusiawi masih tetap ada, sementara kita dalam menikmati keindahan lagu-lagu yang mendayu dan suara-suara yang indah itu tetap dengan sifat-sifat manusiawi, kesenangan dan ruh kita, maka kebahagiaan kita dengan tetap menyaksikan kesenangan-kesenangan yang tertuju pada kasidah-kasidah tersebut lebih baik daripada kebahagiaan kita terhadap Kalam Allah Azza wajalla dengan cara yang sama. Sementara itu Kalam Allah adalah juga Sifat-Nya, dimana Kalam itu bersumber dari-Nya dan juga kembali kepada-Nya.”
Sementara itu ada kelompok ulama yang tidak suka membaca al-Qur’an dengan bersenandung. Sehingga mereka melarang untuk melagukan bacaan-bacaan al-Qur’an. Allah Swt. berfirman, “Dan bacalah al-Qur ‘an itu dengan perlahan-lahan (tartil).” (Q.s. al-Muzzammil: 4).
Sesungguhnya hal itu dilakukan oleh orang, sebab watak manusia tidak suka membaca dan mendengar bacaan al-Qur’an, sebab al-Qur’an adalah kebenaran (haq). Kemudian mereka menghiasi bacaan al-Qur’an dengan suara-suara indah yang sengaja diciptakan supaya dapat menarik watak manusia secara umum untuk mendengar bacaan al-Qur’an. Kalau sekiranya mereka memiliki hati yang khusyu’, waktu yang selalu dipenuhi dengan ibadah, hati yang suci, jiwa yang terdidik dan tabiat kemanusiaan yang tersembunyi, maka mereka tidak lagi membutuhkan pembaca al-Qur’an dengan bersenandung.
Selasa, 05 Juli 2011
0 komentar:
Posting Komentar