Prasangka Boleh atau Terlarang?
Dalil tidak bolehnya persangkaan:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمُُ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari sangkaan (supaya kamu tidak menyangka sangkaan yang dilarang) kerana sesungguhnya sebahagian dari sangkaan itu adalah dosa ...” QS al-Hujurat:12.
Ayat ini menunjukkan perintah untuk menjauhi kebanyakan sangkaan karena sebagian sangkaan itu dosa. Mafhumnya ada di sana sangkaan yang tidak berdosa dan tidak diperintahkan untuk menjauhinya. Kita lihat tafsir para ulama tentang hal ini:
Ibnu Katsir: “ALLAH Ta’ala berfirman dalam rangka melarang hamba-hambanya yang beriman terhadap kebanyakan prasangka yakni tuduhan dan tuduhan khianat tidak pada tempatnya terhadap keluarga, kerabat dan manusia. Karena sebagian (prasangka) itu hanyalah dosa maka hendaknya menjauhi kebanyakan darinya (prasangka) dalam rangka berhati-hati.”
Beliau menafsirkan prasangka yang dimaksud dengan tuduhan dan tuduhan khianat. Sebagai contoh ketika ada orang dimintai sumbangan tidak memberi terus kita tuduh bakhil. Orang yang menasihati kita kita tuduh dengki. Orang yang memperingatkan kesalahan seseorang kita tuduh ghibah, buruk sangka dan lain sebagainya.
al-Qurthubi berkata: “Ulama kami berkata, prasangka di sini dan di dalam ayat ini adalah tuduhan. Sisi peringatan dan pelarangan (dalam ayat ini) hanyalah tuduhan tanpa sebab yang mewajibkannya (menunjukkannya) sebagaimana orang yang dituduh berbuat keji atau minum khamr –misalnya-- padahal tidak nampak atasnya apa yang menunjukkan hal tersebut.”
Ibnu Jauzi menukil pendapat az-Zujaj tentang ayat ini: “Yaitu berprasangka kepada orang yang baik dengan kejelekan, sedangkan orang yang buruk dan fasik maka bagi kita berprasangka sama dengan apa yang nampak dari mereka”.
Sehingga berprasangka buruk kepada orang-orang yang menampakkan keburukannya tidak termasuk prasangka yang dilarang. Contohnya adalah hadis:
Datang seseorang minta izin kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka beliau berkata: "Sejelek-jelek saudara kerabat(kabilah)!", ketika orang itu duduk beliau berseri-seri wajahnya dan ramah kepadanya...." (HR Bukhari dan Muslim)
Tidaklah yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut prasangka yang diharamkan.
Bahkan di dalam syari’at Islam banyak hal yang didasarkan persangkaan:
Ketika seorang Qadhi atau Hakim menghukum seseorang yang berbuat kejahatan, tidak mungkin dia lepas dari persangkaan sebab bukti-bukti serta saksi saksi tidaklah sampai ke derajat yakin. Kalau persangkaan Hakim berdasar bukti-bukti serta saksi yang ada bahwa si penjahat bersalah lebih kuat dari sangkaan bahwa si penjahat tidak bersalah, maka Qadhi atau Hakim boleh menjatuhkan hukuman, jika sebaliknya maka tidak boleh. Tidak perlu harus sampai kepada derajat yakin atau pasti.
Bahkan si Hakim pun boleh menolak persaksian seseorang berdasar persangkaan melalui data-data yang ada walaupun tidak sampai ke level yakin atau pasti.
Begitu pula mengamalkan hadis-hadis yang shahih walaupun hanya dari satu jalur riwayat tentu tidak lepas dari persangkaan.
So janganlah kita mudah menuduh orang lain yang tidak sejalan dengan kita dengan label-label : buruk sangka kepada saudaranya. Sebab menuduh orang lain tanpa bukti itu adalah salah satu dari persangkaan yang dilarang.
ALLAH A’lam
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمُُ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari sangkaan (supaya kamu tidak menyangka sangkaan yang dilarang) kerana sesungguhnya sebahagian dari sangkaan itu adalah dosa ...” QS al-Hujurat:12.
Ayat ini menunjukkan perintah untuk menjauhi kebanyakan sangkaan karena sebagian sangkaan itu dosa. Mafhumnya ada di sana sangkaan yang tidak berdosa dan tidak diperintahkan untuk menjauhinya. Kita lihat tafsir para ulama tentang hal ini:
Ibnu Katsir: “ALLAH Ta’ala berfirman dalam rangka melarang hamba-hambanya yang beriman terhadap kebanyakan prasangka yakni tuduhan dan tuduhan khianat tidak pada tempatnya terhadap keluarga, kerabat dan manusia. Karena sebagian (prasangka) itu hanyalah dosa maka hendaknya menjauhi kebanyakan darinya (prasangka) dalam rangka berhati-hati.”
Beliau menafsirkan prasangka yang dimaksud dengan tuduhan dan tuduhan khianat. Sebagai contoh ketika ada orang dimintai sumbangan tidak memberi terus kita tuduh bakhil. Orang yang menasihati kita kita tuduh dengki. Orang yang memperingatkan kesalahan seseorang kita tuduh ghibah, buruk sangka dan lain sebagainya.
al-Qurthubi berkata: “Ulama kami berkata, prasangka di sini dan di dalam ayat ini adalah tuduhan. Sisi peringatan dan pelarangan (dalam ayat ini) hanyalah tuduhan tanpa sebab yang mewajibkannya (menunjukkannya) sebagaimana orang yang dituduh berbuat keji atau minum khamr –misalnya-- padahal tidak nampak atasnya apa yang menunjukkan hal tersebut.”
Ibnu Jauzi menukil pendapat az-Zujaj tentang ayat ini: “Yaitu berprasangka kepada orang yang baik dengan kejelekan, sedangkan orang yang buruk dan fasik maka bagi kita berprasangka sama dengan apa yang nampak dari mereka”.
Sehingga berprasangka buruk kepada orang-orang yang menampakkan keburukannya tidak termasuk prasangka yang dilarang. Contohnya adalah hadis:
Datang seseorang minta izin kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka beliau berkata: "Sejelek-jelek saudara kerabat(kabilah)!", ketika orang itu duduk beliau berseri-seri wajahnya dan ramah kepadanya...." (HR Bukhari dan Muslim)
Tidaklah yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut prasangka yang diharamkan.
Bahkan di dalam syari’at Islam banyak hal yang didasarkan persangkaan:
Ketika seorang Qadhi atau Hakim menghukum seseorang yang berbuat kejahatan, tidak mungkin dia lepas dari persangkaan sebab bukti-bukti serta saksi saksi tidaklah sampai ke derajat yakin. Kalau persangkaan Hakim berdasar bukti-bukti serta saksi yang ada bahwa si penjahat bersalah lebih kuat dari sangkaan bahwa si penjahat tidak bersalah, maka Qadhi atau Hakim boleh menjatuhkan hukuman, jika sebaliknya maka tidak boleh. Tidak perlu harus sampai kepada derajat yakin atau pasti.
Bahkan si Hakim pun boleh menolak persaksian seseorang berdasar persangkaan melalui data-data yang ada walaupun tidak sampai ke level yakin atau pasti.
Begitu pula mengamalkan hadis-hadis yang shahih walaupun hanya dari satu jalur riwayat tentu tidak lepas dari persangkaan.
So janganlah kita mudah menuduh orang lain yang tidak sejalan dengan kita dengan label-label : buruk sangka kepada saudaranya. Sebab menuduh orang lain tanpa bukti itu adalah salah satu dari persangkaan yang dilarang.
ALLAH A’lam
0 komentar:
Posting Komentar