Sejak berita wafatnya Osama bin Laden, berita-berita dan diskusi-diskusi pada beberapa mailist Islam ramai membahas apakah Osama seorang Syahid ataukah seorang teroris yang mengatasnamakan Islam untuk menjustikasi kejahatan atas kemanusiaan. Bahkan beberapa orang/kelompok secara simplistik berpendapat terlalu jauh dengan menyebut Osama sebagai orang yang pasti masuk surga atau sebaliknya sebagai seorang yang akan dilaknat Allah, suatu wilayah yang seharusnya menjadi hak prerogatif Allah.
Sebenarnya saya termasuk orang yang menghindari diskusi-diskusi yang mencampuradukkan agama dengan politik, mencampuradukkan kebenaran abadi dan universal dengan kebenaran temporal dan lokal, mencampuradukkan hal-hal yang hitam-putih dengan hal-hal yang memasuki wilayah abu-abu; wilayah diskusi yang seringkali tidak menambah keimanan dan ketaqwaan, bahkan justru dapat mengotori hati dan mengisinya dengan kebencian. Nabi SAW mengajarkan umat Islam untuk "mengatakan yang baik-baik, atau diam".
Tetapi saya pikir tidak ada salahnya pula berbicara pepesan kosong sekedar untuk menambah wawasan dan mendiskusikan tema-tema politik secara santai tanpa menjustifikasi sesama Muslim sebagai kafir, teroris, dsb.
Dalam beberapa posting ke depan, blog Lintas Islam akan menyajikan (terjemahan) dari hasil-hasil riset oleh lembaga-lembaga independent dan pendapat para cendekiawan mengenai akar permasalahan tersebut. Bila ada hal baik dari tulisan-tulisan tersebut, silakan diambil pelajaran; tetapi bila tidak berkenan di hati, silakan ditolak dengan lapang dada karena memang tidak mudah membedakan antara fakta, mitos dan propaganda. Berikut ini adalah prolog dari tema tersebut.
Jihad: untuk Allah atau untuk Amerika?
Tidak banyak Muslim yang mengetahui bahwa jihad yang berkembang di negara-negara ex-komunis pada era Perang Dingin seperti di Afghanistan dan negara-negara Balkan adalah pabrikasi (buatan) intelijen CIA. CIA memproduksi buku-buku pelajaran anak-anak sekolah di Afghanistan dengan isi indoktrinasi jihad, mempromosikan jihad ke seluruh dunia Muslim, melakukan perekrutan mujahid dari seluruh dunia Muslim, dan memberikan bantuan persenjataan dan pelatihan militer. Hasil dari jihad tersebut adalah berdirinya republik Islam baru di negara eks komunis Afghanistan dan negara-negara Balkan (Bosnia, Kosovo, dan Cechnya).
Pada masa itu, kepentingan AS bertemu dengan kepentingan Muslim untuk menjadikan Soviet komunis sebagai musuh bersama. Bukan rahasia umum lagi bahwa perseteruan AS dengan Soviet adalah karena oil politik (politik minyak). Setiap kali negara komunis berhasil didirikan, pada saat itu pula sumber daya minyak & mineral di negara tersebut dimonopoli dan aksesnya tertutup bagi kehadiran perusahaan-perusahaan kapitalis. Warga negara Amerika mulai menyadari kebusukan politisi mereka ini pada saat perang Vietnam. Pada saat itu, masyarakat Amerika berdemonstrasi menuntut dihentikannya perang Vietnam dan mengatakan bahwa itu "bukan perang kami", suatu ungkapan kekesalan bahwa mereka mengirimkan anak, saudara dan keluarga untuk wajib militer demi memuaskan keserakahan para kapitalis minyak. Jihad di Afghanistan dan negara-negara eks komunis adalah siasat politisi Amerika untuk menggunakan manusia-manusia non American citizen untuk berperang melawan Soviet dan seruan jihad tersebut disambut oleh para sukarelawan jihad dari berbagai negara Muslim.
Di sisi lain, ideologi komunis di lingkungan lokal telah menciptakan konflik dengan tokoh-tokoh agama lokal. Ideologi komunis yang atheis, tidak bertuhan, penyerangan dan penculikan-penculikan tokoh agama lokal, menjadikan ideologi komunis sebagai musuh agama. Perlawanan-perlawanan terhadap ideologi komunis terjadi di banyak negara Muslim, termasuk di Indonesia. Sesuai kultur mereka untuk membuka operasi intelijen ke publik setelah 25 tahun, Amerika secara terbuka telah mengakui bahwa CIA menjadi sponsor dalam pemusnahan komunis di Indonesia pada sekitar peristiwa G30S PKI, dengan bantuan Angkatan Darat dan Islam.
Ketika kekalahan Soviet telah nyata, nasib pemerintahan baru di negeri-negeri republik Islam yang baru menjadi tergantung pada pilihan mereka, apakah akan berkolaborasi dengan kekuatan kapitalis dalam urusan minyak, ataukah menutup akses mereka. Bila pilihan kedua yang diambil, maka mereka harus bersiap-siap untuk menerima konsekuensi: di-embargo atau digelar operasi militer di negara tersebut.
Sosialisme vs Komunisme vs Kapitalisme
Sosialisme adalah anak kandung kapitalisme. Ia lahir akibat kemajuan yang dicapai oleh kapitalisme setelah Revolusi Industri, menyebabkan kesenjangan ekonomi dan sosial di mana kekayaan terakumulasi di tangan segelintir kapitalis dan menciptakan kemiskinan yang meluas di kalangan kelas pekerja. Sosialisme adalah suatu cita-cita utopia yang memimpikan terciptanya masyarakat yang adil dan kekayaan terdistribusi merata ke semua kelas. Banyak versi mengenai bagaimana seharusnya Sosialisme diimplementasikan.
Sosialisme menemukan bentuknya yang agresif dan radikal, setelah munculnya interpretasi Sosialisme versi Karl Marx yang populer disebut sebagai Komunisme. Marx berpendapat bahwa para kapitalis dan kelas atas tidak akan mau secara sukarela mendistribusikan kekayaan mereka kepada kelas di bawahnya. Maka kekayaan tersebut harus direbut secara paksa dari mereka. Dalam masyarakat komunis, orang-orang kelas atas akan ditarik ke bawah dan orang-orang kelas bawah ditarik ke atas, sehingga nantinya hanya ada masyarakat satu kelas, yaitu masyarakat kelas menengah. Marx juga berpendapat bahwa "agama adalah candu", yang membuat masyarakat miskin pasrah kepada nasib dan mengharapkan belas kasihan orang-orang kaya lewat sedekah.
Melihat esensinya, jelas terlihat dan nyata faktanya pada sejarah Soviet, bahwa ideologi Komunis berpotensi menciptakan konflik di tengah masyarakat. Karakter radikalis dan fasis pada ideologi ini menjadikan ciri-ciri mereka yang dominan: tidak bertuhan (atheis), tidak demokratis (diktator), tidak humanis (banyak terjadi pelanggaran HAM), dan dominasi negara atas individu.
Hampir semua negara yang berjuang untuk kemerdekaannya dari penjajahan oleh negara-negara kapitalis pada era kolonialisme Eropa mengadopsi sistem sosialis (atau bahkan komunis), termasuk Indonesia. Sila kelima Pancasila "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" menjadi indikasi bahwa tujuan ekonomi yang dicita-citakan para pendiri negara adalah cita-cita sosialis. Sedangkan sila-sila lainnya menjelaskan bahwa sosialisme Indonesia bukanlah sosialisme versi komunis, karena sosialisme Indonesia adalah sosialisme yang ber-Ketuhanan, humanis, demokratis, dan dilakukan secara gotong-royong. Tetapi pada prakteknya setelah masa orde baru, praktek-praktek ekonomi Indonesia lebih condong ke kapitalisme daripada sosialisme. Soemitro yang pada jaman Sukarno dibuang ke Singapura karena paham kapitalisme-nya, di masa orde baru justru menjadi arsitek ekonomi Indonesia bersama dengan kawan-kawannya.
Saat ini di seluruh dunia, tidak ada negara yang menerapkan sistem murni kapitalisme atau murni sosialisme, tetapi merupakan ekonomi campuran dari kapitalisme dan sosialisme.
Sosialisme vs Kapitalisme vs Negara Islam
Di dalam Islam ada konsep Sosialisme dalam hal distribusi kekayaan berupa zakat. Islam sebagaimana Kapitalisme juga mengakui hak milik pribadi (swasta) dan hukum waris. Negara tidak berhak mengambil begitu saja kekayaan dari tangan pribadi-pribadi, tetapi diperbolehkan sebatas jumlah yang diperbolehkan oleh syariat.
Di era modern ini, para pelaku ekonomi tidak lagi dihadapkan kepada permasalahan apakah ingin menggunakan sistem kapitalisme, sosialisme atau Islam. Tetapi konsep apa yang cocok digunakan untuk troubleshooting terhadap masalah-masalah kontemporer yang muncul, tidak peduli apakah ia berasal dari kapitalis, sosialis, komunis, Islam, Hindu, Budha, Kristen, dll. Dalam prakteknya, tidak ada sistem yang menyediakan solusi "one fit all" - tidak seperti yang dipropagandakan oleh aktivis khilafah islamiyah yang mengatakan bahwa sistem ekonomi Islam adalah sempurna, sehingga tidak diperlukan sistem thagut lainnya. Para penggagas ekonomi syariah menghasilkan bank Islam atau bank syariah, sementara bank sendiri adalah produk yang dilahirkan oleh sistem kapitalis. Sudah seringkali kita menemukan orang-orang yang menganut paham seperti ini - sebagaimana radikalis komunis yang anti produk kapitalis - tetapi kita temukan produk-produk kapitalis di rumah dan keseharian mereka. Mereka anti kapitalis, tetapi pada saat yang sama tidak mampu menolak berkah dari kapitalis seperti bank, uang kertas, komputer, TV dll - menjadikan mereka makhluk hipokrit dan akan mencari-cari jawaban untuk membenarkan kehipokritan mereka dalam menggunakan produk-produk kapitalis. Tawaran solusi dari berbagai konsep dan isme diperlukan untuk menjawab tantangan kontemporer seperti: semakin langkanya sumber daya dibandingkan demand akibat jumlah penduduk yang terus meningkat, cadangan minyak (energi) yang semakin menipis, pencarian sumber daya baru, isu kelangkaan pangan, penyediaan lapangan kerja, penyediaan perumahan rakyat, distribusi kekayaan dan kesempatan, isu lingkungan dan pemanasan global, dll.
Islam dan Globalisasi
Tidak diragukan lagi (walaupun masih diperdebatkan), bahwa ide globalisasi saat ini didominasi oleh negara-negara Eropa kapitalis. Standar global yang akan diterapkan ke seluruh negara adalah kapitalisme global dan demokrasi. Yang dikhawatirkan adalah, sebagaimana sejarah kapitalisme di Eropa, kapitalisme global akan menciptakan kemiskinan global dan terakumulasinya kekayaan pada segelintir kaum kapitalis global.
Tetapi ada tool kedua, yaitu demokrasi. Terakumulasinya kekayaan pada sekelompok elit hanya dapat terjadi di negara dengan sistem diktatorship. Dengan demokrasi diharapkan seluruh lapisan masyarakat dapat berpartisipasi dalam menentukan kebijakan negara, dan juga dalam pendistribusian kekayaan melalui mekanisme pajak dan subsidi. Distribusi kekayaan melalui subsidi adalah ide sosialisme yang saat ini diimplementasikan pula di banyak negara-negara kapitalis.
Kekayaan alam di suatu negara tidak harus dimonopoli dan ditutup aksesnya bagi perusahaan asing, tetapi boleh saja diusahakan oleh kapitalis global asal prosesnya harus melalui tender "terbuka" dan "fair". Masyarakat harus mengetahui apa alasan suatu ladang minyak diberikan konsesinya kepada Unocal, Chevron, Conoco, BP, Total, Aramco, atau CNOOC dll. Pengelolaan kekayaan alam harus benar-benar dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada masyarakat sesuai dengan yang diamanatkan UUD 45, bukan hanya sebagai sumber akumulasi kekayaan di tangan segelintir orang seperti hanya berputar di sekelompok kecil konglomerat di era Orde Baru.
Selain wacana ekonomi, masih banyak lagi wacana lain yang akan terpengaruh oleh globalisasi; seperti apakah identitas Islam akan hilang terkikis oleh budaya global? Hukum-hukum agama yang dulu sudah mapan, saat ini dipertanyakan apakah sudah ketinggalan jaman dan diperlukan pemahaman (fatwa) baru dalam menyikapi modernitas seperti dalam hukum poligami, kawin sirri, kawin muda (kawin melulu ya?), toleransi, pluralisme, perkawinan beda agama (kawin lagi) dll. Memang benar, bahwa pertanyaan besar di barat berkaitan dengan globalisasi (modernitas) saat ini adalah apakah hukum Islam - khususnya yang mengatur urusan perempuan kompatibel dengan modernitas, di samping pertanyaan-pertanyaan besar lainnya. Bila hukum-hukum agama seperti ini terus-menerus diserang oleh pihak yang pro modernitas versi barat, maka perlawanan dari kelompok tradisionalis agama terhadap modernitas semakin menguat sehingga Islam seolah-olah anti modernitas. Reaksi perlawanan seperti ini bukan hanya akan menjadi monopoli Islam tradisionalis, tetapi akan dialami pula oleh budaya-budaya lokal yang dipaksa untuk menerima modernitas versi barat. Yang mereka lawan sesungguhnya bukanlah modernitas, tetapi dominasi budaya barat atas budaya lokal. Modernitas dan globalisasi akan lebih mudah diterima bila budaya lokal diberi kesempatan untuk mengatur dirinya sendiri dan semua pihak dapat memahami dan menerima perbedaan, dan tidak menilai budaya lokal menggunakan nilai-nilai luar (baca: versi barat).
Siapakah yang bersedia memberikan jawaban?
TD
***************
Temukan artikel-artikel tentang Islam lainnya di http://lintas-islam.blogspot.com
Sebenarnya saya termasuk orang yang menghindari diskusi-diskusi yang mencampuradukkan agama dengan politik, mencampuradukkan kebenaran abadi dan universal dengan kebenaran temporal dan lokal, mencampuradukkan hal-hal yang hitam-putih dengan hal-hal yang memasuki wilayah abu-abu; wilayah diskusi yang seringkali tidak menambah keimanan dan ketaqwaan, bahkan justru dapat mengotori hati dan mengisinya dengan kebencian. Nabi SAW mengajarkan umat Islam untuk "mengatakan yang baik-baik, atau diam".
Tetapi saya pikir tidak ada salahnya pula berbicara pepesan kosong sekedar untuk menambah wawasan dan mendiskusikan tema-tema politik secara santai tanpa menjustifikasi sesama Muslim sebagai kafir, teroris, dsb.
Dalam beberapa posting ke depan, blog Lintas Islam akan menyajikan (terjemahan) dari hasil-hasil riset oleh lembaga-lembaga independent dan pendapat para cendekiawan mengenai akar permasalahan tersebut. Bila ada hal baik dari tulisan-tulisan tersebut, silakan diambil pelajaran; tetapi bila tidak berkenan di hati, silakan ditolak dengan lapang dada karena memang tidak mudah membedakan antara fakta, mitos dan propaganda. Berikut ini adalah prolog dari tema tersebut.
Jihad: untuk Allah atau untuk Amerika?
Tidak banyak Muslim yang mengetahui bahwa jihad yang berkembang di negara-negara ex-komunis pada era Perang Dingin seperti di Afghanistan dan negara-negara Balkan adalah pabrikasi (buatan) intelijen CIA. CIA memproduksi buku-buku pelajaran anak-anak sekolah di Afghanistan dengan isi indoktrinasi jihad, mempromosikan jihad ke seluruh dunia Muslim, melakukan perekrutan mujahid dari seluruh dunia Muslim, dan memberikan bantuan persenjataan dan pelatihan militer. Hasil dari jihad tersebut adalah berdirinya republik Islam baru di negara eks komunis Afghanistan dan negara-negara Balkan (Bosnia, Kosovo, dan Cechnya).
Pada masa itu, kepentingan AS bertemu dengan kepentingan Muslim untuk menjadikan Soviet komunis sebagai musuh bersama. Bukan rahasia umum lagi bahwa perseteruan AS dengan Soviet adalah karena oil politik (politik minyak). Setiap kali negara komunis berhasil didirikan, pada saat itu pula sumber daya minyak & mineral di negara tersebut dimonopoli dan aksesnya tertutup bagi kehadiran perusahaan-perusahaan kapitalis. Warga negara Amerika mulai menyadari kebusukan politisi mereka ini pada saat perang Vietnam. Pada saat itu, masyarakat Amerika berdemonstrasi menuntut dihentikannya perang Vietnam dan mengatakan bahwa itu "bukan perang kami", suatu ungkapan kekesalan bahwa mereka mengirimkan anak, saudara dan keluarga untuk wajib militer demi memuaskan keserakahan para kapitalis minyak. Jihad di Afghanistan dan negara-negara eks komunis adalah siasat politisi Amerika untuk menggunakan manusia-manusia non American citizen untuk berperang melawan Soviet dan seruan jihad tersebut disambut oleh para sukarelawan jihad dari berbagai negara Muslim.
Di sisi lain, ideologi komunis di lingkungan lokal telah menciptakan konflik dengan tokoh-tokoh agama lokal. Ideologi komunis yang atheis, tidak bertuhan, penyerangan dan penculikan-penculikan tokoh agama lokal, menjadikan ideologi komunis sebagai musuh agama. Perlawanan-perlawanan terhadap ideologi komunis terjadi di banyak negara Muslim, termasuk di Indonesia. Sesuai kultur mereka untuk membuka operasi intelijen ke publik setelah 25 tahun, Amerika secara terbuka telah mengakui bahwa CIA menjadi sponsor dalam pemusnahan komunis di Indonesia pada sekitar peristiwa G30S PKI, dengan bantuan Angkatan Darat dan Islam.
Ketika kekalahan Soviet telah nyata, nasib pemerintahan baru di negeri-negeri republik Islam yang baru menjadi tergantung pada pilihan mereka, apakah akan berkolaborasi dengan kekuatan kapitalis dalam urusan minyak, ataukah menutup akses mereka. Bila pilihan kedua yang diambil, maka mereka harus bersiap-siap untuk menerima konsekuensi: di-embargo atau digelar operasi militer di negara tersebut.
Sosialisme vs Komunisme vs Kapitalisme
Sosialisme adalah anak kandung kapitalisme. Ia lahir akibat kemajuan yang dicapai oleh kapitalisme setelah Revolusi Industri, menyebabkan kesenjangan ekonomi dan sosial di mana kekayaan terakumulasi di tangan segelintir kapitalis dan menciptakan kemiskinan yang meluas di kalangan kelas pekerja. Sosialisme adalah suatu cita-cita utopia yang memimpikan terciptanya masyarakat yang adil dan kekayaan terdistribusi merata ke semua kelas. Banyak versi mengenai bagaimana seharusnya Sosialisme diimplementasikan.
Sosialisme menemukan bentuknya yang agresif dan radikal, setelah munculnya interpretasi Sosialisme versi Karl Marx yang populer disebut sebagai Komunisme. Marx berpendapat bahwa para kapitalis dan kelas atas tidak akan mau secara sukarela mendistribusikan kekayaan mereka kepada kelas di bawahnya. Maka kekayaan tersebut harus direbut secara paksa dari mereka. Dalam masyarakat komunis, orang-orang kelas atas akan ditarik ke bawah dan orang-orang kelas bawah ditarik ke atas, sehingga nantinya hanya ada masyarakat satu kelas, yaitu masyarakat kelas menengah. Marx juga berpendapat bahwa "agama adalah candu", yang membuat masyarakat miskin pasrah kepada nasib dan mengharapkan belas kasihan orang-orang kaya lewat sedekah.
Melihat esensinya, jelas terlihat dan nyata faktanya pada sejarah Soviet, bahwa ideologi Komunis berpotensi menciptakan konflik di tengah masyarakat. Karakter radikalis dan fasis pada ideologi ini menjadikan ciri-ciri mereka yang dominan: tidak bertuhan (atheis), tidak demokratis (diktator), tidak humanis (banyak terjadi pelanggaran HAM), dan dominasi negara atas individu.
Hampir semua negara yang berjuang untuk kemerdekaannya dari penjajahan oleh negara-negara kapitalis pada era kolonialisme Eropa mengadopsi sistem sosialis (atau bahkan komunis), termasuk Indonesia. Sila kelima Pancasila "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" menjadi indikasi bahwa tujuan ekonomi yang dicita-citakan para pendiri negara adalah cita-cita sosialis. Sedangkan sila-sila lainnya menjelaskan bahwa sosialisme Indonesia bukanlah sosialisme versi komunis, karena sosialisme Indonesia adalah sosialisme yang ber-Ketuhanan, humanis, demokratis, dan dilakukan secara gotong-royong. Tetapi pada prakteknya setelah masa orde baru, praktek-praktek ekonomi Indonesia lebih condong ke kapitalisme daripada sosialisme. Soemitro yang pada jaman Sukarno dibuang ke Singapura karena paham kapitalisme-nya, di masa orde baru justru menjadi arsitek ekonomi Indonesia bersama dengan kawan-kawannya.
Saat ini di seluruh dunia, tidak ada negara yang menerapkan sistem murni kapitalisme atau murni sosialisme, tetapi merupakan ekonomi campuran dari kapitalisme dan sosialisme.
Sosialisme vs Kapitalisme vs Negara Islam
Di dalam Islam ada konsep Sosialisme dalam hal distribusi kekayaan berupa zakat. Islam sebagaimana Kapitalisme juga mengakui hak milik pribadi (swasta) dan hukum waris. Negara tidak berhak mengambil begitu saja kekayaan dari tangan pribadi-pribadi, tetapi diperbolehkan sebatas jumlah yang diperbolehkan oleh syariat.
Di era modern ini, para pelaku ekonomi tidak lagi dihadapkan kepada permasalahan apakah ingin menggunakan sistem kapitalisme, sosialisme atau Islam. Tetapi konsep apa yang cocok digunakan untuk troubleshooting terhadap masalah-masalah kontemporer yang muncul, tidak peduli apakah ia berasal dari kapitalis, sosialis, komunis, Islam, Hindu, Budha, Kristen, dll. Dalam prakteknya, tidak ada sistem yang menyediakan solusi "one fit all" - tidak seperti yang dipropagandakan oleh aktivis khilafah islamiyah yang mengatakan bahwa sistem ekonomi Islam adalah sempurna, sehingga tidak diperlukan sistem thagut lainnya. Para penggagas ekonomi syariah menghasilkan bank Islam atau bank syariah, sementara bank sendiri adalah produk yang dilahirkan oleh sistem kapitalis. Sudah seringkali kita menemukan orang-orang yang menganut paham seperti ini - sebagaimana radikalis komunis yang anti produk kapitalis - tetapi kita temukan produk-produk kapitalis di rumah dan keseharian mereka. Mereka anti kapitalis, tetapi pada saat yang sama tidak mampu menolak berkah dari kapitalis seperti bank, uang kertas, komputer, TV dll - menjadikan mereka makhluk hipokrit dan akan mencari-cari jawaban untuk membenarkan kehipokritan mereka dalam menggunakan produk-produk kapitalis. Tawaran solusi dari berbagai konsep dan isme diperlukan untuk menjawab tantangan kontemporer seperti: semakin langkanya sumber daya dibandingkan demand akibat jumlah penduduk yang terus meningkat, cadangan minyak (energi) yang semakin menipis, pencarian sumber daya baru, isu kelangkaan pangan, penyediaan lapangan kerja, penyediaan perumahan rakyat, distribusi kekayaan dan kesempatan, isu lingkungan dan pemanasan global, dll.
Islam dan Globalisasi
Tidak diragukan lagi (walaupun masih diperdebatkan), bahwa ide globalisasi saat ini didominasi oleh negara-negara Eropa kapitalis. Standar global yang akan diterapkan ke seluruh negara adalah kapitalisme global dan demokrasi. Yang dikhawatirkan adalah, sebagaimana sejarah kapitalisme di Eropa, kapitalisme global akan menciptakan kemiskinan global dan terakumulasinya kekayaan pada segelintir kaum kapitalis global.
Tetapi ada tool kedua, yaitu demokrasi. Terakumulasinya kekayaan pada sekelompok elit hanya dapat terjadi di negara dengan sistem diktatorship. Dengan demokrasi diharapkan seluruh lapisan masyarakat dapat berpartisipasi dalam menentukan kebijakan negara, dan juga dalam pendistribusian kekayaan melalui mekanisme pajak dan subsidi. Distribusi kekayaan melalui subsidi adalah ide sosialisme yang saat ini diimplementasikan pula di banyak negara-negara kapitalis.
Kekayaan alam di suatu negara tidak harus dimonopoli dan ditutup aksesnya bagi perusahaan asing, tetapi boleh saja diusahakan oleh kapitalis global asal prosesnya harus melalui tender "terbuka" dan "fair". Masyarakat harus mengetahui apa alasan suatu ladang minyak diberikan konsesinya kepada Unocal, Chevron, Conoco, BP, Total, Aramco, atau CNOOC dll. Pengelolaan kekayaan alam harus benar-benar dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada masyarakat sesuai dengan yang diamanatkan UUD 45, bukan hanya sebagai sumber akumulasi kekayaan di tangan segelintir orang seperti hanya berputar di sekelompok kecil konglomerat di era Orde Baru.
Selain wacana ekonomi, masih banyak lagi wacana lain yang akan terpengaruh oleh globalisasi; seperti apakah identitas Islam akan hilang terkikis oleh budaya global? Hukum-hukum agama yang dulu sudah mapan, saat ini dipertanyakan apakah sudah ketinggalan jaman dan diperlukan pemahaman (fatwa) baru dalam menyikapi modernitas seperti dalam hukum poligami, kawin sirri, kawin muda (kawin melulu ya?), toleransi, pluralisme, perkawinan beda agama (kawin lagi) dll. Memang benar, bahwa pertanyaan besar di barat berkaitan dengan globalisasi (modernitas) saat ini adalah apakah hukum Islam - khususnya yang mengatur urusan perempuan kompatibel dengan modernitas, di samping pertanyaan-pertanyaan besar lainnya. Bila hukum-hukum agama seperti ini terus-menerus diserang oleh pihak yang pro modernitas versi barat, maka perlawanan dari kelompok tradisionalis agama terhadap modernitas semakin menguat sehingga Islam seolah-olah anti modernitas. Reaksi perlawanan seperti ini bukan hanya akan menjadi monopoli Islam tradisionalis, tetapi akan dialami pula oleh budaya-budaya lokal yang dipaksa untuk menerima modernitas versi barat. Yang mereka lawan sesungguhnya bukanlah modernitas, tetapi dominasi budaya barat atas budaya lokal. Modernitas dan globalisasi akan lebih mudah diterima bila budaya lokal diberi kesempatan untuk mengatur dirinya sendiri dan semua pihak dapat memahami dan menerima perbedaan, dan tidak menilai budaya lokal menggunakan nilai-nilai luar (baca: versi barat).
Siapakah yang bersedia memberikan jawaban?
TD
***************
Temukan artikel-artikel tentang Islam lainnya di http://lintas-islam.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar