Dr. KH. Said Aqil Siraj
Saat ini, agaknya dirasakan baik dalam teoritis maupun praktis, membuncahnya pola pemikiran yang cenderung bersifat sporadis, hiperspesialis, sektarian, dan skismatis.
Akibatnya, kenyataan yang terpampang terlihat “miris” dan tak rentan dari bentuk-bentuk sikap dan perilaku yang afinitatif dan bahkan konfliktual. Tentu saja, ini amat jauh dari kerinduan abadi (gharizah) bagi setiap individu untuk mencitakan kehidupan yang harmonis, rukun-sejahtera, dan penuh dengan cinta kasih.
Kondisi skismatis tersebut rasanya sudah merata dari hulu ke hilir. Dalam dunia akademis pun, dirasakan belum terwujudnya suatu kerangka pikir yang integratif-holistik. Betapa pun, banyak disiplin ilmu di dunia akademis yang diajarkan, ternyata belum mampu membawa para terdidiknya untuk bisa memahami indahnya berhubungan secara lintas disiplin ilmu (interdisipliner). Yang terpampang adalah kenyataan saling merasa superior (istihqar) dengan disiplin ilmunya.
Para filsuf muslim seperti al-Kindi, Ibnu Sina, al-Farabi, Ibnu Rusyd, Ibnu Bajjah atau Ibnu Thufail adalah para ‘generalis’ yang menguasai berbagai disiplin keilmuan. Mereka tekun dan berdedikasi tinggi terhadap ilmu dan praksis kemasyarakatan. Pola pemikiran yang mereka bangun bersifat integral dengan menyatukan berbagai ilmu. Usaha yang mereka lakukan itu akhirnya membuahkan kesadaran bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah kemanusiaan dan ketuhanan.
Pada sisi lain, dalam soal perkembangannya, iptek dewasa ini telah memunculkan berbagai reaksi keilmuan dengan ikhtiar melakukan upaya integralisme. Ilmu pengetahuan dipandang telah berjalan sendiri-sendiri. Munculnya gerakan Holisme yang dieksponeni oleh Fritjof Capra misalnya membuktikan kenyataan saling silang antarilmu. Gerakan ini malah memasukkan unsur-unsur pemikiran Timur dan hikmah kaum sufi dalam formulasi ilmu pengetahuan.
Berkaca Pada Kaum Sufi
Kaum sufi telah mengungkapkan suatu pola pikir, sikap, dan perilaku yang amat konstruktif bagi penataan dan pengembangan aspek kemanusiaan dan keilahiaan. Kaum sufi senantiasa melakukan formulasi kedirian melalui wilayah privat yang kemudian mampu memberikan dampak eksternal yang luar biasa pada wilayah publik. Kehadiran tasawuf di tengah-tengah kehidupan sosial dan kultural masyarakat senantiasa menampilkan sebagai suatu kekuatan bagi "revolusi spiritual" (tsaurah al-ruhiyah). Suatu kekuatan yang sangat eksplosif dalam meretas segala bentuk penyimpangan moral dan sosial, sekaligus sebagai pemicu bagi ghirah kebangkitan pengetahuan.
Dalam tasawuf, pengolahan pengetahuan dihampiri secara esoteris (bathini). Sebab, pengetahuan esoteris ini dipandang sebagai basis bagi pengembangan keilmuan yang eksoteris (dzahiri). Dalam merengkuh pengetahuan diperlukan suatu kejernihan batin, sehingga akan memancarkan cahaya bening dalam menangkap berbagai pernik kenyataan. Apa yang diberikan dalam tasawuf seperti latihan fisik (riyadhah) dan latihan batin (mujahadah) sesungguhnya merupakan perangkat bagi pengembangan kedirian yang punya kebertautan dengan aspek penataan moral dan pengembangan pengetahuan.
Para sufi tidaklah membedakan secara ekstrim antara metoda akal atau batin. Para sufi hendak menunjukkan bahwa akal hanya mempunyai fungsi yang terbatas, sehingga tidak bisa digunakan untuk menangkap kedalaman realitas. Karena itu, hatilah yang layak digunakan dalam memahami realitas tersembunyi. Bagi kaum sufi, realitas tidak hanya terpancang pada segala hal yang bersifat empirik, melainkan yang metafisis dan spiritual. Dan justru realitas spiritual inilah yang sesungguhnya merupakan hakikat dari kenyataan itu sendiri yang akan menghasilkan pemahaman yang jernih, jauh hari distorsi sosial dan moral.
Dalam kenyataannya kesufian telah menjadi sifat dan lelaku yang interen dalam diri ilmuwan muslim. Jabir bin Hayyan, al-Farabi, Sufyan al-Tsauri, al-Ghazali atau Ibnu Sina yang merupakan figur ilmuwan yang menguasai berbagai bidang ilmu, ternyata juga menunjukkan diri sebagai sosok sufi.
Di sini, menunjukkan bahwa kesufian tidaklah menghalangi keinginan untuk melakukan eksplorasi dan eksperimentasi dalam wilayah keilmuan. Sebaliknya, justru menyibakkan betapa basis kesufian ini telah menjadi pemicu bagi keinginan yang menyala (sense of curiousity) dalam membangun formulasi ilmu pengetahuan. Dan terlihat pula, para ilmuwan dan filsuf muslim pada akhir perjalanan intelektualnya justru menjadikan taSawuf sebagai terminal puncaknya.
Dalam sejarah peradaban Islam kita mengenal istilah zawiyah dan khanaqah yang merupakan pusat pertemuan kaum sufi, tempat mereka melakukan berbagai latihan spiritual. Lembaga sufi ini berfungsi sebagai pusat belajar untuk mengkaji dan menginsyafi bentuk tertinggi ilmu (gnosis/ma'rifat) yang pencapaiannya menuntut penyucian jiwa dan pikiran (tazkiyah al-nafs). Ia adalah pengajaran sains dalam Islam yang bersifat esensial yang pegang peranan signifikan sebagai satu dari lembaga utama yang bertanggung jawab dalam pembinaan dan penyebaran sains dalam Islam.
Maka jelaslah bahwa tasawuf tidaklah sama sekali berlawanan dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan memerlukan upaya untuk secara kontinyu melakukan penelitian (istiqra'). Sementara, upaya tersebut memerlukan pula basis penataan diri untuk membangun sikap konsistensi. Dalam tasawuf, sikap konsistensi (istiqamah) merupakan prasyarat fundamental dalam melakukan perjalaan spiritual (rihlah al-ruhiyah).
TaSawuf sendiri sesungguhnya merupakan 'tajribah al-ruhiyah', yakni proses eksperimentasi diri guna menghasilkan derajat kemanusiaan (martabat insaniyah) yang memangku secara kokoh derajat ilahiyah (martabat ilahiyah).
Metode "tajribah al-ruhiyah" ini bisa dimaknai secara lebih luas, tidak hanya terpaku pada pola-pola ritual kesufian, tetapi bertaut pula dengan pemacuan ghirah keilmuan. Namun, yang harus diperhatikan bahwa pola eksperimentasi kesufian ini harus ditempatkan dalam posisi sebagai basis pelatihan kedirian. Di sini, mutlak diperlukan pemahaman bahwa apa pun bentuk pengembangan keilmuan demi menggayuh kemajuan peradaban harus berporos pada pelatihan jiwa-batini.
Dengan demikian, tidak saja berguna bagi eskalasi pengembangan keilmuan, tetapi juga penataan moralitas. Saat ini, disadari kian pentingnya pengembalian keilmuan dalam cagar etika. Dunia ilmu memerlukan arahan secara etik, agar tidak melaju tanpa nilai. Sebab, bagaimanapun, kemajuan ilmu pengetahuan adalah demi peningkatan kenyamanan dan kesejahteraan material dan spiritual bagi manusia. Tentu saja, diharapkan pengajaran ilmu pengetahuan tidak akan membawa mentalitas dehumanisasi, yang memojokkan manusia pada jaring-jaring otomatisasi yang bisa menghilangkan kesadaran transendental.
*) Ketua Umum PBNU dan Ketua Umum Masyarakat TaSawuf Indonesia (MATIN)
www.sufinews.com
Selasa, 31 Mei 2011
0 komentar:
Posting Komentar