Dalam kehidupan rumah tangga, ekspresi cinta memang dapat tersalurkan dengan baik lewat perjumpaan dan kebersamaan. Namun bukan berarti ekspresi tersebut menjadi beku ketika harus berpisah atau menjadi layu ketika tak dapat bersama. Perpisahan memang sering menciptakan suasana mendung menggelayut di relung-relung hati. Namun, seperti uangkapan sebuah bait… tak selamanya mendung itu kelabu.
Bagaikan sakit yang dapat mengingatkan seseorang tentang mahal dan berharganya kesehatan, maka perpisahan pun dapat mengingatkan seseorang betapa indahnya kebersamaan dan betapa berharganya perjumpaan. Karenanya, dalam batas tertentu, perpisahan justeru dibutuhkan untuk mengasah ketajaman cinta, memperhalus rasa dan latihan bagi jiwa. Karena ketika itu, ekspresinya lebih mengandalkan ketusan hati ketimbang emosi, lebih membutuhkan kejernihan pikiran ketimbang selubung perasaan.
Ketika sebagian orang menjadikan perpisahan sebagai kesempatan mencuri pandangan atau mengalihkan perhatian, justeru ketika itulah sebenarnya saat yang paling tepat baginya untuk mengevaluasi dan meningkatkan kualitas cintanya kepada sang pilihan. Sebab, kini dia dapat mengungkapkan perasaannya lebih dalam dan lebih berisi dari sebelumnya, bahkan bisa jadi lebih puitis dari sang pujangga. Tidak hanya itu, dengan kebersihan hati, kerinduannya akan mengantarkannya pada doa-doa tulus di penghujung malam atau dalam keheningan.
Ekspresi cinta Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada isteri pertamanya; Khadijah radhiallahu anha, justeru baru dapat ditangkap, berdasarkan berbagai riwayat yang ada, setelah sang isteri tercinta telah tiada dan tidak lagi bersamanya. Hal mana membuat Aisyah radhiallahu anha merasa sangat cemburu dengan Khadijah walau tak dia pernah bersua. Sehingga dia selalu menanyakan alasan dan latar belakang mengapa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam begitu mencintainya. Sekali waktu beliau menyebutkan latar belakangnya terkait dengan peran dan sumbangsih Khadijah atau karena kemuliaan akhlaknya. Namun ketika alasan-alasan tersebut serasa tak dapat mewakili ekspresi cinta beliau yang sedemikian besar kepada sang isteri, beliau hanya berucap;
إِنِّي رُزِقْتُ حُبَّهَا
"Sungguh aku telah diberi karunia berupa cinta kepadanya." (Muttafaq alaih)
Cinta model ini, mestinya telah melampaui batas-batas fisik, tempat dan waktu. Cinta sejati yang sulit diuraikan dan dibahasakan, kecuali bahwa dirinya telah memilikinya dan merasakannya.
Pada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, kita tidak hanya dapat belajar tentang ruku dan sujud panjang membelah malam, tapi juga tentang bagaimana menyimpan cinta di dasar hati yang paling dalam…
Di sana, seusai akad pernikahan, seorang ustadz berdoa lirih diaminkan dengan khusyu kedua pengantin dan para hadirin….
Allahumma allif bainahuma kama allafta baina Rasulillah wa Khadiijatal Kubra…
(Yaa Allah, satukanlah hati mereka berdua sebagaimana engkau menyatukan hati Rasulullah dengan Khadijah Al-Kubra…)
-Ust. Abdullah Khaidir, Lc-
0 komentar:
Posting Komentar