Iman tidak sempurna tanpa moralitas. Iman adalah suatu kekuatan yang membuat manusia jauh dari atribut rendah dan bertindak tak terkendali, dan mendorong dia untuk mencapai atribut yang tinggi dan moral yang bersih. Itu sebabnya setiap kali Allah memanggil hamba-Nya ke arah kebajikan atau kapanpun Ia menginginkan mereka membenci kejahatan, Ia menyatakannya sebagai syarat penting dari Iman dalam hati mereka. Misalnya ketika Ia, dalam Surah Taubah, memerintahkan manusia untuk mengikuti kebenaran dan untuk berbicara kebenaran, Ia berbicara kepada mereka seperti ''Hai kalian yang memiliki iman" (atau "Hai kalian yang beriman"): "Hai kalian, yang memiliki iman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar." (Taubah: 119)
Nabi Allah telah menjelaskan dengan baik bahwa bila iman kokoh dan keyakinan kuat, maka moral yang kuat dan tahan lama akan terbangun, dan jika karakter moral rendah, maka iman akan ikut menjadi lemah.
Seorang pria, yang tidak beradab dan berkelakuan buruk dan mengikuti kebiasaan buruk tanpa peduli orang lain, adalah seperti orang yang dikatakan oleh nabi SAW:
"Moral dan iman adalah saudara kembar. Bila yang satu hilang maka kita pasti akan kehilangan yang lainnya pula"
Nabi melewati orang Anshar yang sedang memarahi saudaranya akibat moralnya yang buruk. Nabi menyarankannya untuk membiarkannya pergi karena moral adalah cabang dari iman.
Seorang pria yang melecehkan sesamanya dan membuatnya menderita segala jenis kerusakan dikatakan kejam dan berhati batu oleh agama. Dalam hubungan ini bersabda Nabi SAW:
"Demi Allah, ia bukanlah seorang Mukmin; Demi Allah, ia bukanlah seorang Mukmin; Demi Allah, ia bukanlah seorang Mukmin." Sahabat bertanya: 'Siapakah ia?" Beliau menjawab: "Dia yang tetangganya tidak aman dari kejahatannya". (Bukhari)
Nabi SAW menyarankan para sahabatnya untuk menjauhkan diri dari pembicaraan tidak berguna, tindakan yang jahat, dan perbuatan yang tidak masuk akal. Dia mengatakan:
"Seseorang yang percaya kepada Allah dan akhirat harus berbicara tentang hal-hal yang baik atau diam." (Bukhari)
Dengan cara ini melalui kebenaran iman, melalui kualitas kesempurnaan yang mulia, yang dipelihara dan dikembangkan, mereka akan dijaga dan tetap menjaganya sampai mereka menghasilkan buah.
Jiwa terganggu, hati sedih, doa hambar. Namun, Anda juga akan menemukan orang-orang yang menyebut diri mereka Muslim, namun mereka malas dalam mengerjakan shalat wajib, dan berlagak di depan umum seolah-olah mereka sangat tertarik untuk mendirikan shalat. Tetapi pada waktu yang sama mereka tidak akan tertinggal di belakang dalam bertindak sedemikian rupa yang bertentangan dengan tuntutan akhlak mulia dan iman yang sempurna. Orang-orang seperti ini telah diperingatkan oleh Nabi SAW dan Ummat telah diminta untuk berhati-hati terhadap mereka.
Seorang manusia yang melakukan kesalahan dalam melakukan berbagai bentuk ibadah tanpa memahami makna, mereka hanya bisa menjadi orang yang tidak memahami semangat hamba yang telah berhasil naik ke standar itu.
Sering kali bahkan seorang anak dapat meniru semua gerakan shalat dan mampu mengulangi apa yang dibaca selama shalat. Kadang-kadang seorang aktor juga mengerjakan shalat dengan segala kerendahan hati dan khusyu', dan melakukan semua ritual yang diperlukan.
Tetapi jenis gerakan ini tidak menguntungkan keyakinan atau memenuhi tujuan. Hanya ada satu cara untuk mengerjakan shalat dengan cara yang terbaik atau melakukan bentuk-bentuk ibadah lainnya yang tidak akan pernah membawa hasil yang salah, dan itu adalah: karakter moral yang tinggi. Setiap orang yang memiliki atribut ini dalam dirinya, shalatnya berguna. Tetapi begitu tercabut dari atribut ini, menyembah-Nya tidaklah berguna.
Hal ini diriwayatkan oleh Imam Ahmed: "Seseorang bertanya kepada Nabi: Wahai Rasulullah, seorang wanita sangat terkenal akan shalat, puasa dan banyak sedekahnya, tetapi dia berbicara kasar dengan tetangganya. Katakan padaku, apa yang akan menjadi takdirnya? " Beliau menjawab bahwa ia akan pergi ke neraka. Lalu orang itu bertanya, "Wahai Rasulullah! Wanita yang lain tidak melakukan banyak shalat dan puasa; memberikan potongan keju sebagai sedekah dan tidak merugikan tetangganya". Beliau menjawab: "Tempatnya di surga."
Jawaban ini memberikan gambaran dari nilai tinggi yang dilekatkan pada akhlak yang baik. Hal ini juga menunjukkan bahwa sedekah adalah shalat kolektif yang manfaatnya mencapai masyarakat. Untuk alasan ini tidak ada ruang untuk pengurangan di dalamnya. Sedangkan shalat dan puasa adalah bentuk ibadah individual, sedikit relaksasi - untuk mengembangkannya sedikit - diperbolehkan selama tidak membuat pengaturan tentang mereka menjadi sangat rumit.
Nabi SAW tidak hanya menjawab pertanyaan umum yang menjelaskan hubungan antara moralitas dan agama, menunjukkan hubungannya dengan bentuk ibadah yang benar, dan membentuk dasar dari reformasi dan kemajuan di dunia dan keselamatan di dunia berikutnya.
Masalah moralitas jauh lebih penting. Diperlukan bahwa ia harus terus-menerus memberikan bimbingan kepada para pengikutnya. Ia harus bertahan dalam memberikan nasihat yang baik kepada mereka sehingga berakar dalam pikiran dan hati dan menjadi cukup jelas bahwa iman, kebaikan dan moralitas semua saling bergantung satu sama lain. Mereka terhubung satu sama lain dan tak ada yang bisa memisahkan mereka.
Siapa yang disebut orang miskin? Suatu hari Nabi bertanya kepada sahabatnya apakah mereka tahu siapa yang disebut orang miskin. Mereka menjawab bahwa orang miskin adalah orang yang tidak memiliki dirham atau dinar (uang). Beliau berkata:
"Dalam umatku, orang miskin adalah orang yang akan muncul pada Hari Penghakiman kepada Allah, ia telah mengerjakan shalat, ia telah membayar zakat, ia telah menjalani puasa, tetapi ia telah menyakiti seseorang, ia melontarkan tuduhan palsu; ia mengambil property orang lain secara tidak syah, ia membunuh seseorang; memukul seseorang. Semua pahalanya akan diberikan kepada korbannya. Jika pahalanya habis sebelum kejahatannya selesai, maka dosa-dosa korban akan diberikan kepadanya dan ia akan dilemparkan ke dalam neraka.'' (Muslim)
Dia itu adalah sebenar-benarnya orang miskin. Kondisinya seperti pedagang yang memiliki barang berharga satu juta rupiah tetapi ia memiliki hutang sebanyak dua juta rupiah. Bagaimana orang seperti itu bisa disebut kaya?
Seorang pria religius yang mengerjakan shalat atau melakukan beberapa bentuk ibadah lainnya, tetapi setelah itu melakukan perbuatan jahat, bersikap kasar kepada orang-orang, dan memperlakukan orang miskin dan tak berdaya secara kejam, bagaimana orang seperti itu dapat disebut sebagai orang yang benar?
Nabi SAW telah menjelaskan dengan mengutip satu contoh. Dia mengatakan bahwa karakter moral yang tinggi melelehkan kesalahan manusia seperti air dan moral yang buruk merusak kebaikan manusia seperti cuka merusak madu.
Tanda-tanda orang munafik. Ketika kejahatan dipelihara dalam diri, dan keburukan yang disebabkan oleh hal itu telah menjadi nyata dan bahaya telah meningkat, maka manusia keluar dari agamanya seperti seorang yang bugil keluar dari jubahnya. Pada waktu itu klaimnya tentang kebenaran atau iman adalah palsu.
Apa yang akan menjadi nilai religiusitas tanpa moralitas yang baik? Bagaimana mungkin bahwa seorang pria seharusnya menjadi milik Allah dan pada saat yang sama ia menjadi seorang koruptor?
Hubungan antara iman dan moralitas jelas ditunjukkan di dalam hadits dari Nabi SAW:
"Orang yang memiliki ketiga kebiasaan adalah munafik bahkan jika ia menjalankan puasa, mengerjakan shalat, melakukan umroh (haji), dan menyebut dirinya seorang Muslim: ketika ia berbicara ia berbicara bohong, ketika dia membuat sebuah janji ia tidak menepatinya, dan ketika ia diberikan suatu amanah, ia mengkhianatinya." (Muslim).
Dalam hadis lain, beliau mengatakan:
"Ada tiga tanda-tanda munafik: bila ia berbicara ia berbicara bohong, ketika ia membuat janji ia tidak menepatinya, dan ketika ia membuat kontrak ia menipu, walaupun ia mungkin mengerjakan shalat, menjalani puasa dan menyebut dirinya sebagai Muslim. "
Beliau juga mengatakan:
"Ada empat kebiasaan, pada siapa pun mereka ditemukan, maka ia akan menjadi munafik lengkap. Jika salah satu dari kebiasaan tersebut ditemukan pada seorang manusia, ia akan memiliki satu kebiasaan munafik sampai ia meninggalkannya, yaitu ketika ia diberikan amanah ia khianat, ketika ia berbicara ia mengatakan kebohongan, ketika ia membuat kontrak ia menyesatkan, dan ketika ia berselisih ia berbuat curang". - (HR Bukhari).
Oleh Syekh Muhammad Al Ghazali
From "A Muslim's Character"
Temukan artikel-artikel tentang Islam lainnya di: http://lintas-islam.blogspot.com
Nabi Allah telah menjelaskan dengan baik bahwa bila iman kokoh dan keyakinan kuat, maka moral yang kuat dan tahan lama akan terbangun, dan jika karakter moral rendah, maka iman akan ikut menjadi lemah.
Seorang pria, yang tidak beradab dan berkelakuan buruk dan mengikuti kebiasaan buruk tanpa peduli orang lain, adalah seperti orang yang dikatakan oleh nabi SAW:
"Moral dan iman adalah saudara kembar. Bila yang satu hilang maka kita pasti akan kehilangan yang lainnya pula"
Nabi melewati orang Anshar yang sedang memarahi saudaranya akibat moralnya yang buruk. Nabi menyarankannya untuk membiarkannya pergi karena moral adalah cabang dari iman.
Seorang pria yang melecehkan sesamanya dan membuatnya menderita segala jenis kerusakan dikatakan kejam dan berhati batu oleh agama. Dalam hubungan ini bersabda Nabi SAW:
"Demi Allah, ia bukanlah seorang Mukmin; Demi Allah, ia bukanlah seorang Mukmin; Demi Allah, ia bukanlah seorang Mukmin." Sahabat bertanya: 'Siapakah ia?" Beliau menjawab: "Dia yang tetangganya tidak aman dari kejahatannya". (Bukhari)
Nabi SAW menyarankan para sahabatnya untuk menjauhkan diri dari pembicaraan tidak berguna, tindakan yang jahat, dan perbuatan yang tidak masuk akal. Dia mengatakan:
"Seseorang yang percaya kepada Allah dan akhirat harus berbicara tentang hal-hal yang baik atau diam." (Bukhari)
Dengan cara ini melalui kebenaran iman, melalui kualitas kesempurnaan yang mulia, yang dipelihara dan dikembangkan, mereka akan dijaga dan tetap menjaganya sampai mereka menghasilkan buah.
Jiwa terganggu, hati sedih, doa hambar. Namun, Anda juga akan menemukan orang-orang yang menyebut diri mereka Muslim, namun mereka malas dalam mengerjakan shalat wajib, dan berlagak di depan umum seolah-olah mereka sangat tertarik untuk mendirikan shalat. Tetapi pada waktu yang sama mereka tidak akan tertinggal di belakang dalam bertindak sedemikian rupa yang bertentangan dengan tuntutan akhlak mulia dan iman yang sempurna. Orang-orang seperti ini telah diperingatkan oleh Nabi SAW dan Ummat telah diminta untuk berhati-hati terhadap mereka.
Seorang manusia yang melakukan kesalahan dalam melakukan berbagai bentuk ibadah tanpa memahami makna, mereka hanya bisa menjadi orang yang tidak memahami semangat hamba yang telah berhasil naik ke standar itu.
Sering kali bahkan seorang anak dapat meniru semua gerakan shalat dan mampu mengulangi apa yang dibaca selama shalat. Kadang-kadang seorang aktor juga mengerjakan shalat dengan segala kerendahan hati dan khusyu', dan melakukan semua ritual yang diperlukan.
Tetapi jenis gerakan ini tidak menguntungkan keyakinan atau memenuhi tujuan. Hanya ada satu cara untuk mengerjakan shalat dengan cara yang terbaik atau melakukan bentuk-bentuk ibadah lainnya yang tidak akan pernah membawa hasil yang salah, dan itu adalah: karakter moral yang tinggi. Setiap orang yang memiliki atribut ini dalam dirinya, shalatnya berguna. Tetapi begitu tercabut dari atribut ini, menyembah-Nya tidaklah berguna.
Hal ini diriwayatkan oleh Imam Ahmed: "Seseorang bertanya kepada Nabi: Wahai Rasulullah, seorang wanita sangat terkenal akan shalat, puasa dan banyak sedekahnya, tetapi dia berbicara kasar dengan tetangganya. Katakan padaku, apa yang akan menjadi takdirnya? " Beliau menjawab bahwa ia akan pergi ke neraka. Lalu orang itu bertanya, "Wahai Rasulullah! Wanita yang lain tidak melakukan banyak shalat dan puasa; memberikan potongan keju sebagai sedekah dan tidak merugikan tetangganya". Beliau menjawab: "Tempatnya di surga."
Jawaban ini memberikan gambaran dari nilai tinggi yang dilekatkan pada akhlak yang baik. Hal ini juga menunjukkan bahwa sedekah adalah shalat kolektif yang manfaatnya mencapai masyarakat. Untuk alasan ini tidak ada ruang untuk pengurangan di dalamnya. Sedangkan shalat dan puasa adalah bentuk ibadah individual, sedikit relaksasi - untuk mengembangkannya sedikit - diperbolehkan selama tidak membuat pengaturan tentang mereka menjadi sangat rumit.
Nabi SAW tidak hanya menjawab pertanyaan umum yang menjelaskan hubungan antara moralitas dan agama, menunjukkan hubungannya dengan bentuk ibadah yang benar, dan membentuk dasar dari reformasi dan kemajuan di dunia dan keselamatan di dunia berikutnya.
Masalah moralitas jauh lebih penting. Diperlukan bahwa ia harus terus-menerus memberikan bimbingan kepada para pengikutnya. Ia harus bertahan dalam memberikan nasihat yang baik kepada mereka sehingga berakar dalam pikiran dan hati dan menjadi cukup jelas bahwa iman, kebaikan dan moralitas semua saling bergantung satu sama lain. Mereka terhubung satu sama lain dan tak ada yang bisa memisahkan mereka.
Siapa yang disebut orang miskin? Suatu hari Nabi bertanya kepada sahabatnya apakah mereka tahu siapa yang disebut orang miskin. Mereka menjawab bahwa orang miskin adalah orang yang tidak memiliki dirham atau dinar (uang). Beliau berkata:
"Dalam umatku, orang miskin adalah orang yang akan muncul pada Hari Penghakiman kepada Allah, ia telah mengerjakan shalat, ia telah membayar zakat, ia telah menjalani puasa, tetapi ia telah menyakiti seseorang, ia melontarkan tuduhan palsu; ia mengambil property orang lain secara tidak syah, ia membunuh seseorang; memukul seseorang. Semua pahalanya akan diberikan kepada korbannya. Jika pahalanya habis sebelum kejahatannya selesai, maka dosa-dosa korban akan diberikan kepadanya dan ia akan dilemparkan ke dalam neraka.'' (Muslim)
Dia itu adalah sebenar-benarnya orang miskin. Kondisinya seperti pedagang yang memiliki barang berharga satu juta rupiah tetapi ia memiliki hutang sebanyak dua juta rupiah. Bagaimana orang seperti itu bisa disebut kaya?
Seorang pria religius yang mengerjakan shalat atau melakukan beberapa bentuk ibadah lainnya, tetapi setelah itu melakukan perbuatan jahat, bersikap kasar kepada orang-orang, dan memperlakukan orang miskin dan tak berdaya secara kejam, bagaimana orang seperti itu dapat disebut sebagai orang yang benar?
Nabi SAW telah menjelaskan dengan mengutip satu contoh. Dia mengatakan bahwa karakter moral yang tinggi melelehkan kesalahan manusia seperti air dan moral yang buruk merusak kebaikan manusia seperti cuka merusak madu.
Tanda-tanda orang munafik. Ketika kejahatan dipelihara dalam diri, dan keburukan yang disebabkan oleh hal itu telah menjadi nyata dan bahaya telah meningkat, maka manusia keluar dari agamanya seperti seorang yang bugil keluar dari jubahnya. Pada waktu itu klaimnya tentang kebenaran atau iman adalah palsu.
Apa yang akan menjadi nilai religiusitas tanpa moralitas yang baik? Bagaimana mungkin bahwa seorang pria seharusnya menjadi milik Allah dan pada saat yang sama ia menjadi seorang koruptor?
Hubungan antara iman dan moralitas jelas ditunjukkan di dalam hadits dari Nabi SAW:
"Orang yang memiliki ketiga kebiasaan adalah munafik bahkan jika ia menjalankan puasa, mengerjakan shalat, melakukan umroh (haji), dan menyebut dirinya seorang Muslim: ketika ia berbicara ia berbicara bohong, ketika dia membuat sebuah janji ia tidak menepatinya, dan ketika ia diberikan suatu amanah, ia mengkhianatinya." (Muslim).
Dalam hadis lain, beliau mengatakan:
"Ada tiga tanda-tanda munafik: bila ia berbicara ia berbicara bohong, ketika ia membuat janji ia tidak menepatinya, dan ketika ia membuat kontrak ia menipu, walaupun ia mungkin mengerjakan shalat, menjalani puasa dan menyebut dirinya sebagai Muslim. "
Beliau juga mengatakan:
"Ada empat kebiasaan, pada siapa pun mereka ditemukan, maka ia akan menjadi munafik lengkap. Jika salah satu dari kebiasaan tersebut ditemukan pada seorang manusia, ia akan memiliki satu kebiasaan munafik sampai ia meninggalkannya, yaitu ketika ia diberikan amanah ia khianat, ketika ia berbicara ia mengatakan kebohongan, ketika ia membuat kontrak ia menyesatkan, dan ketika ia berselisih ia berbuat curang". - (HR Bukhari).
Oleh Syekh Muhammad Al Ghazali
From "A Muslim's Character"
Temukan artikel-artikel tentang Islam lainnya di: http://lintas-islam.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar