"Pembaharuan terus-menerus merupakan inti dari hukum Islam. Mereka yang mengatakan bahwa Islam seharusnya mereformasi diri sendiri telah salah paham terhadap istilah tersebut", kata Mohammad seddon.
Muslim sering ditanya mengapa iman mereka tidak mengalami modernisasi atau liberalisasi. Pertanyaan seperti itu menunjukkan kesalahpahaman tentang Islam dan hubungannya dengan modernitas.
Sebagai fenomena utama dari dunia Kristen, modernitas tidak mempengaruhi dunia Muslim pada tingkat yang sama. Dampak Pencerahan di Eropa berpuncak pada pemisahan antara iman dan akal. Sekularisasi publik ditinggikan dan agama diserahkan ke dunia swasta.
Pertumbuhan penduduk muslim yang cukup besar di seluruh Eropa telah melahirkan wacana baru pada modernitas dan Islam. Namun, pertanyaan baru ini sering melampaui tentang bagaimana Muslim mengkontekstualisasi (menyesuaikan dengan keadaan, waktu, dan ruang) iman dan budaya mereka dalam federalisme yang berkembang dari Eropa yang baru. Hal ini tidak mengisolasi muslim Eropa dari umat Islam lainnya (masyarakat Muslim di seluruh dunia).
Muslim di Eropa sebagian besar dinilai oleh pengalaman generasi migran pertama mereka, yang menempatkan mereka sebagai diasporik (sekelompok umat yang jauh dari negara asalnya-pen): sementara ini mungkin benar, pengalaman keturunan generasi kedua dan ketiga mereka yang lahir di Inggris atau Eropa berbeda jauh dari orang tuanya. Muslim kelahiran Inggris banyak yang telah berhasil menegosiasikan identitas mereka: agama, etnis dan kebangsaan, dan berakulturasi, beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda.
Penelitian terbaru berusaha untuk mendapatkan gambaran global untuk mencoba memahami pengaruh yang mendasari komunitas baru ini. Mereka mencatat bahwa banyak Muslim muda kelahiran Inggris yang mendapatkan pendidikan dan kesempatan kerja yang buruk sedang tertarik pada radikalisme keagamaan.
Bagi Muslim yang mengalami migrasi, kelanggengan identitas keagamaan selalu mendahului kelanggengan identitas budaya dan etnis. Hal ini karena, sementara agama Islam adalah global dalam esensinya, tetapi tidak monolitik (solid, tidak mudah hancur - pen) dalam prakteknya atau manifestasi budayanya. Oleh karena itu, identitas etnis dan budaya bisa diadopsi dan berevolusi.
Asumsi asimilasi yang pada awalnya mengatakan bahwa imigran Muslim generasi pertama telah ter-Eropanisasi adalah terlalu disederhanakan. Studi yang dilakukan oleh ilmuwan sosial seperti Philip Lewis dan Jessica Jacobson pada komunitas Muslim Inggris telah mengungkapkan bahwa, sementara identitas budaya dan etnik mungkin berubah, Muslim tetap kokoh dalam mempertahankan identitas keagamaan mereka. Namun komentator lain, teolog Jorgen Neilson dan sosiolog Ziauddin Sardar misalnya, menyatakan bahwa masalah membangun sebuah identitas Islam-Eropa pada dasarnya merupakan suatu pertikaian antara teologi dengan modernitas.
Para pengamat menganjurkan untuk mengulang apa yang telah dilakukan teolog Kristen modern dengan Alkitab. Mereka menyarankan bahwa Muslim harus melakukan reformasi "teologis", yang harus dimulai dengan pemikiran ulang tentang sifat wahyu, yang dengan itu interpretasi ulang dari teks dapat terungkap. Namun, pengamat yang menyarankan agar Muslim memikirkan kembali hal-hal seperti itu secara fundamental telah gagal untuk memahami konsep Tuhan, kenabian dan wahyu ilahi dalam Islam.
SYARIAH (hukum Islam) tidak seperti yang sering diasumsikan, mengatur setiap aspek keagamaan dan kehidupan pribadi Muslim. Juga tidak memberlakukan undang-undang statis bagi negara Muslim. Sebaliknya, ia menyediakan prinsip-prinsip universal dan pedoman (bukan seperti ten commandement) di mana kontekstualisasi hukum Islam (Fiqh) berasal dari "ruang-dan-waktu".
Penyusunan hukum Islam memiliki sejumlah prinsip yang ditetapkan secara tradisional dan diikuti oleh para ahli hukum Islam. Ini mencakup berbagai tingkatan perbuatan yang diperbolehkan (Halal) dan dilarang (Haram), dan juga mempertimbangkan adat istiadat dan praktek setempat ('urf). Hasilnya adalah bentuk ekspresi Islam lokal, berbeda dari satu geo-budaya waktu dan tempat dengan tempat lainnya. Ini bertentangan dengan desakan saat ini oleh sekelompok Muslim yang ingin membentuk negara Islam homogen monolitik.
Contoh lebih lanjut dari kontekstualisasi dari Syariah adalah masalah perdebatan tentang hukuman. Hukuman ditentukan untuk kejahatan tertentu: ini secara tradisional ditemukan dalam hukum Hudud, yang benar-benar bergantung kepada keadaan - setiap kasus dinilai pada kemampuannya sendiri. Jadi, seperti hukuman mati di beberapa negara bagian Amerika Serikat, tidak semua orang secara otomatis menerima hukuman yang ditentukan.
Gagasan yang populer bahwa hukum Islam tidak berubah sejak zaman abad pertengahan adalah tidak otentik. Kesalahpahaman ini melanggengkan pernyataan bahwa Islam, seperti Kristen, harus menjalani "reformasi". Ini hanyalah sebuah pencangkokan pandangan dunia sekuler Barat terhadap Islam.
Muslim sering ditanya mengapa iman mereka tidak mengalami modernisasi atau liberalisasi. Pertanyaan seperti itu menunjukkan kesalahpahaman tentang Islam dan hubungannya dengan modernitas.
Sebagai fenomena utama dari dunia Kristen, modernitas tidak mempengaruhi dunia Muslim pada tingkat yang sama. Dampak Pencerahan di Eropa berpuncak pada pemisahan antara iman dan akal. Sekularisasi publik ditinggikan dan agama diserahkan ke dunia swasta.
Pertumbuhan penduduk muslim yang cukup besar di seluruh Eropa telah melahirkan wacana baru pada modernitas dan Islam. Namun, pertanyaan baru ini sering melampaui tentang bagaimana Muslim mengkontekstualisasi (menyesuaikan dengan keadaan, waktu, dan ruang) iman dan budaya mereka dalam federalisme yang berkembang dari Eropa yang baru. Hal ini tidak mengisolasi muslim Eropa dari umat Islam lainnya (masyarakat Muslim di seluruh dunia).
Muslim di Eropa sebagian besar dinilai oleh pengalaman generasi migran pertama mereka, yang menempatkan mereka sebagai diasporik (sekelompok umat yang jauh dari negara asalnya-pen): sementara ini mungkin benar, pengalaman keturunan generasi kedua dan ketiga mereka yang lahir di Inggris atau Eropa berbeda jauh dari orang tuanya. Muslim kelahiran Inggris banyak yang telah berhasil menegosiasikan identitas mereka: agama, etnis dan kebangsaan, dan berakulturasi, beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda.
Penelitian terbaru berusaha untuk mendapatkan gambaran global untuk mencoba memahami pengaruh yang mendasari komunitas baru ini. Mereka mencatat bahwa banyak Muslim muda kelahiran Inggris yang mendapatkan pendidikan dan kesempatan kerja yang buruk sedang tertarik pada radikalisme keagamaan.
Bagi Muslim yang mengalami migrasi, kelanggengan identitas keagamaan selalu mendahului kelanggengan identitas budaya dan etnis. Hal ini karena, sementara agama Islam adalah global dalam esensinya, tetapi tidak monolitik (solid, tidak mudah hancur - pen) dalam prakteknya atau manifestasi budayanya. Oleh karena itu, identitas etnis dan budaya bisa diadopsi dan berevolusi.
Asumsi asimilasi yang pada awalnya mengatakan bahwa imigran Muslim generasi pertama telah ter-Eropanisasi adalah terlalu disederhanakan. Studi yang dilakukan oleh ilmuwan sosial seperti Philip Lewis dan Jessica Jacobson pada komunitas Muslim Inggris telah mengungkapkan bahwa, sementara identitas budaya dan etnik mungkin berubah, Muslim tetap kokoh dalam mempertahankan identitas keagamaan mereka. Namun komentator lain, teolog Jorgen Neilson dan sosiolog Ziauddin Sardar misalnya, menyatakan bahwa masalah membangun sebuah identitas Islam-Eropa pada dasarnya merupakan suatu pertikaian antara teologi dengan modernitas.
Para pengamat menganjurkan untuk mengulang apa yang telah dilakukan teolog Kristen modern dengan Alkitab. Mereka menyarankan bahwa Muslim harus melakukan reformasi "teologis", yang harus dimulai dengan pemikiran ulang tentang sifat wahyu, yang dengan itu interpretasi ulang dari teks dapat terungkap. Namun, pengamat yang menyarankan agar Muslim memikirkan kembali hal-hal seperti itu secara fundamental telah gagal untuk memahami konsep Tuhan, kenabian dan wahyu ilahi dalam Islam.
SYARIAH (hukum Islam) tidak seperti yang sering diasumsikan, mengatur setiap aspek keagamaan dan kehidupan pribadi Muslim. Juga tidak memberlakukan undang-undang statis bagi negara Muslim. Sebaliknya, ia menyediakan prinsip-prinsip universal dan pedoman (bukan seperti ten commandement) di mana kontekstualisasi hukum Islam (Fiqh) berasal dari "ruang-dan-waktu".
Penyusunan hukum Islam memiliki sejumlah prinsip yang ditetapkan secara tradisional dan diikuti oleh para ahli hukum Islam. Ini mencakup berbagai tingkatan perbuatan yang diperbolehkan (Halal) dan dilarang (Haram), dan juga mempertimbangkan adat istiadat dan praktek setempat ('urf). Hasilnya adalah bentuk ekspresi Islam lokal, berbeda dari satu geo-budaya waktu dan tempat dengan tempat lainnya. Ini bertentangan dengan desakan saat ini oleh sekelompok Muslim yang ingin membentuk negara Islam homogen monolitik.
Contoh lebih lanjut dari kontekstualisasi dari Syariah adalah masalah perdebatan tentang hukuman. Hukuman ditentukan untuk kejahatan tertentu: ini secara tradisional ditemukan dalam hukum Hudud, yang benar-benar bergantung kepada keadaan - setiap kasus dinilai pada kemampuannya sendiri. Jadi, seperti hukuman mati di beberapa negara bagian Amerika Serikat, tidak semua orang secara otomatis menerima hukuman yang ditentukan.
Gagasan yang populer bahwa hukum Islam tidak berubah sejak zaman abad pertengahan adalah tidak otentik. Kesalahpahaman ini melanggengkan pernyataan bahwa Islam, seperti Kristen, harus menjalani "reformasi". Ini hanyalah sebuah pencangkokan pandangan dunia sekuler Barat terhadap Islam.
Konsep pembaharuan terus menerus adalah inti penyusunan hukum Islam. Ijtihad hukum (pembaharuan) telah menempatkan hukum dalam waktu dan ruang tertentu, sebuah interpretasi ulang hukum berdasarkan konteks sosial baru. Ini telah menjadi keistimewaan tetap hukum Islam di dunia Muslim dari periode awal abad pertengahan, melalui Renaissance sampai munculnya liberalisme sekuler modern (liberalisasi sekuler sendiri merupakan pemaksaan hegemoni Barat baru-baru ini).
Perlawanan di dunia Muslim atas pemaksaan seperti sekularisme dan liberalisme telah mengakibatkan kenaikan konservatisme ultra-agama. Respon ini menyebabkan kemunduran, dan sering meninggalkan sedikit ruang untuk perintah Alquran: "Dan sesungguhnya Kami telah menetapkan kalian sebagai umat yang pertengahan (moderat)" (2,143). Namun, "kebangkitan Islam", sebuah fenomena pasca-kolonial, bergerak menuju pelembagaan dari Ijtihad (pembaharuan hukum) menjadi alat "Islamisasi".
Iran, misalnya, yang telah menyatakan dirinya sebuah "Republik Islam" pada tahun 1979, telah berkembang menjadi negara Muslim moderat, dan saat ini sedang mengalami proses liberalisasi. Ini tidak berarti bahwa negara dipisahkan dengan agama. Sebaliknya, ia adalah interpretasi hukum Islam tentang negara yang lebih realistis mencerminkan dunia modern.
Mohammad Siddique seddon adalah seorang peneliti di Yayasan Islam Leicester, Inggris.
Perlawanan di dunia Muslim atas pemaksaan seperti sekularisme dan liberalisme telah mengakibatkan kenaikan konservatisme ultra-agama. Respon ini menyebabkan kemunduran, dan sering meninggalkan sedikit ruang untuk perintah Alquran: "Dan sesungguhnya Kami telah menetapkan kalian sebagai umat yang pertengahan (moderat)" (2,143). Namun, "kebangkitan Islam", sebuah fenomena pasca-kolonial, bergerak menuju pelembagaan dari Ijtihad (pembaharuan hukum) menjadi alat "Islamisasi".
Iran, misalnya, yang telah menyatakan dirinya sebuah "Republik Islam" pada tahun 1979, telah berkembang menjadi negara Muslim moderat, dan saat ini sedang mengalami proses liberalisasi. Ini tidak berarti bahwa negara dipisahkan dengan agama. Sebaliknya, ia adalah interpretasi hukum Islam tentang negara yang lebih realistis mencerminkan dunia modern.
Mohammad Siddique seddon adalah seorang peneliti di Yayasan Islam Leicester, Inggris.
0 komentar:
Posting Komentar