REPUBLIKA.CO.ID, CALIFORNIA--Tiap Natal, Kari Ansari seolah tengah memutar ingatan masa silam. Ia menikmati Natal sekadar sebagai: rumah dihiasi dengan suasana musim dingin kendati di luar suhu tak sedang dingin, nyanyian sepanjang hari, dan makanan lezat. Tak ada ritual apapun yang dilakukan keluarganya.
Ia menemukan semangat Natal, justru setelah menjadi Muslim. Tafsir surat Maryam ayat 45-47, menjelaskan semuanya. Natal baginya adalah penyemangat untuk memperbaharui iman. "Ketabahan Mariam menerima takdir Allah, sungguh luar biasa," ujarnya.
Menurutnya, surat Maryam dalam Alquran mempunyai arti tersendiri baginya. "Jika ada pihak yang menanyakan bagaimana penghargaan Islam akan wanita, lihatlah surat itu. Agama mana yang menjadikan nama perempuan sebagai bab tersendiri dalam kitab sucinya," ujarnya.
Kari Ansari adalah salah satu jurnalis dan kolumnis di Amerika Serikat yang cukup diperhitungkan. Opininya banyak dimuat di surat kabar ternama AS. Ia juga merupakan salah satu pendiri majalah Muslim Family.
Kari dibesarkan di California Selatan dalam keluarga Kristen yang ia sebut non-praktisi. "Saya hanya hafal lagu Holy Night. Beberapa kali kami pergi ke gereja pada hari Minggu atau saat Paskah, namun kami lebih sering memanggang steak saja pada hari-hari itu," ujarnya.
Tuhan yang dikenalnya, lebih digunakan sebagai "momok" ketimbang untuk dipuja. "Ketika saya melakukan sesuatu kesalahantanpa sepengetahuan orang tua saya, mereka akan membentak saya untuk mengaku dengan mengatakan, 'Yesus tahu apa yang kau lakukan'. Kalimat 'Yesus tahu' menjadi makin samar di udara ketika saya tumbuh dewasa," ujarnya.
Ia mengaku tahu tentang agama dan nabi-nabi, dari selebaran dan leaflet. "Saya membaca semua kisah mereka, tapi apa yang menurut saya kurang adalah konteks dan relevansi dari hidup mereka untuk saya," ujarnya.
Tumbuh dewasa, ia memutuskan tak memilih agama apapun. "Selama aku menjadi orang yang baik dan menjalani kehidupan beretika, Tuhan akan mencintaiku," demikian ia menguatkan batinnya.
Ia mengambang selama bertahun-tahun. "Saya kemudian menikah, berumah tangga, memiliki karir yang sukses, dan memulai sebuah keluarga dengan kelahiran anak saya yang sangat berharga, tetapi tetap tidak membawa kepuasan batin," ujarnya. Hingga akhirnya di usia 30 tahun, ia memutuskan bercerai dan menjadi orang tua tunggal.
Dalam kekosongan batin, ia menemukan Ahmed, seorang seniman asal Bombay. Dia seorang Muslim, namun tak pernah memaksanya untuk turut menjadi Muslim. Pun ketika dia meminangnya. "Saya tak punya niat menjadi Muslimah setelah diperistri Ahmed," ujarnya. Namun mereka sudah berkomitmen, jika mempunyai anak, maka anak-anaknya akan mengikuti agama ayahnya.
Dari Ahmed, ia melihat kelembutan Islam, jauh dari yang digambarkan Barat tentang agama yang sebelumnya asing baginya itu. "Saya seperti mempunyai jendela yang berbeda tentang Islam melalui dia, dan saya setuju untuk menikah dengannya," tambahnya.
Tahun-tahun awal pernikahan, ia kerap diam-diam mengintip suaminya shalat. Sang suami juga tidak rewel tentang makanan saat ia menjalani puasa Ramadhan, bahkan dilakukan tanpa ia menyadari sang suami tengah menjalankan perintah agamanya.
Ia mulai mempertanyakan konsep yang dianutnya: bahwa Tuhan akan sayang padanya jika dia berbuat baik. "Saya menyadari bahwa bagaimana Tuhan akan baik pada saya kalau saya tidak ada hubungan dengan Allah. Tapi saya masih takut Islam."
Beberapa tahun kemudian ia melahirkan bayi perempuan. Ahmed membisikkan adzan, hanya sesaat setelah bayinya lahir. "Itu kali pertama saya menangis: ya, dia akan menjadi seorang Muslim," ujarnya.
Sesuai komitmen mereka, sang anak akan dibesarkan dengan cara Islam. "Tapi bagaimana saya bisa mendidiknya dengan baik jika saya tak tahu secuilpun tentang islam," ujarnya.
Maka ia belajar membaca Alquran. Namun makin banyak ayat yang ia baca, makin ia jatuh hati pada Islam. "Saya mendapatkan penjelasan tentang Ibrahim, Musa, Yusuf dan Isa secara jelas dan masuk akal justru dalam Quran," katanya.
Tambah jatuh hati, ketika ia membaca riwayat Nabi Muhammad SAW. "Muhammad bukan Tuhan dan tak pernah diklaim umatnya sebagai Tuhan. Ia tertawa, menangis, menunjukkan ketidaksenangan, dan frustrasi. Ia lembut, tapi tegas, dan ia kuat namun juga rentan. Saya terinspirasi dan tergerak ," ujarnya.
Setelah sekitar satu tahun membaca dan berpikir, ia mantap berislam, tepatnya di suatu hari di Bulan Desember, 13 tahun lalu. "Saya merasa Tuhan berbicara kepada saya melalui Quran dan kehidupan ini. Aku harus berangkat untuk membimbing anak saya dalam Islam. Ya, saya kini menemukan Allah, dan Islam menemukan saya."
Red: Siwi Tri Puji B
Sumber: Berbagai Sumber
0 komentar:
Posting Komentar