Keluhuran moralitas seseorang ternyata tidak hanya tercermin pada kemampuan penerapan perintah-perintah Allah tetapi juga kemampuan penghindaran dirinya dari segala sesuatu yang diharamkan agama. Bahkan dalam keluruhan itu juga harus tercermin dalam kemampuan penghindaran dirinya dari segala sesuatu yang dikategorikan syubhat dan dari segala bentuk ketidakpatutan..
Syubhat yang harus dihindari, seperti dikemukakan seorang lexigraf kelasik al-Jurjani, adalah sesuatu yang belum dibuktikan secara meyakinkan tentang kehalalan dan keharamannya. Sedangkkan ketidakpatutan adalah segala perbuatan yang menurut ukuran etik tidak patut dilakukan. Penghindaran diri dari kedua hal tersebut selain dapat meningkatkan kemajuan spiritualitas juga meningkatkan keluhuran moralitas.
Dalam kitab Tazkiyatu al-Nufus Ahmad Farid menyebut tentang dua senjata yang biasa digunakan oleh syaithan dalam upaya menyesatkan manusia, yaitu syubhat dan syahwat. Menurutnya, keduanya merupakan penyakit yang dapat menyerang hati manusia dan merusakkan persepsi seseorang yang berakibat rusak pula sikap dan perilakunya.
Jika seseorang tak memiliki kemampaun menghindari penyakit syubhat yang bisa menyerang hati manusia ini maka persepsi dan pandangannya tentang sesuatu bisa menjadi jungkir balik. Konsep ma’ruf yang semula amat jelas kemudian menjadi samar dengan kemungkaran. Akibatnya merasa kesukaran untuk membedakan antara yang ma’ruf dan yang munkar. Dalam banyak kasus bahkan tidak bisa mengingkari kemungkaran dan melaksanakan yang ma’ruf.
Demikian pula jika seseorang tidak memiliki kemampaun mengekang syahwatnya yang berkobar serta membiarkannya merasuki hatinya, maka ia akan kesulitan untuk tidak terjerumus ke dalam kubangan maksiat yang memerosotkan keluhuran kemanusiaannya. Pada gilirannya kemaksiatan akan menjadi budaya yang mengakar di dalam diri dan masyarakatnya.
Sedangkan fitnah syahwat yang diperturutkan dapat membahayakan harkat dan martabat kemanusiaan seseorang. Salah satu wujud watak orang yang menurutkan syahwatnya ialan ketidakberdayaannya dalam mengendalikannya sehingga mengikuti apa saja yang disenangi nafsu meskipun keluar dari batasan syari’at. Hal itu dapat membuat kerusakan niat, kehendak, dan perbuatan.
Penyakit syahwat yang paling banyak diidap oleh para politisi dan pejabat negara antara lain rakus terhadap harta, tamak terhadap kekuasaan, ingin popular dan ambisius, riya` dan ingin dipuji, korupsi, zina, dan berbagai kemaksiatan lainnya.
Bahkan jika kedua penyakit itu sampai ke tingkat mendominasi sehingga menyakini yang ma’ruf sebagai kemungkaran dan yang munkar sebagai yang ma’ruf, yang sunnah sebagai bid’ah, yang bid’ah sebagai sunnah, al-haq sebagai kebatilan, dan yang batil sebagai yang haq, maka kehancuran di segala bidanglah yang akan terjadi.
Dalam kaitan masalah tersebut Rasulullah Saw bersabda, ”Sesungguhnya di antara yang aku takutkan atas kamu adalah syahwat mengikuti nafsu pada perut kamu dan pada kemaluan kamu serta fitnah-fitnah yang menyesatkan.” (HR. Ahmad).
Oleh karena itu kaum Salafu al-Shalih, seperti dijelaskan dalam Iqtidha’ Shirathil Mustaqim, tahqiq Syeikh Khalid Abdul Lathif As-Sab’ Al-‘Alami, menyatakan, “Waspadalah kamu dari dua jenis manusia: Pengikut hawa-nafsu yang telah disesatkan oleh hawa-nafsunya, pemburu dunia yang telah dibutakan oleh dunianya”. Mereka juga menyatakan: “Waspadailah kesesatan orang ‘alim (ahli ilmu) yang durhaka, dan kesesatan ‘abid (ahli ibadah) yang bodoh, karena kesesatan keduanya itu merupakan kesesatan tiap-tiap orang yang tersesat.” Wallau A’lam
Jumat, 03 Desember 2010
Label:Renungan
0 komentar:
Posting Komentar