Wali Allah Menurut Hakim At-Tirmidzi

Hakim at-Tirmidzi lahir di Tirmidz, Uzbekistan, Asia Tengah pada tahun 205 H/820 M. Nama lengkapnya adalah Abu Abd Allah Muhammad bin Ali bin Hasan al-Hakim at-Tirmidzi. Ia berasal dari keluarga ilmuwan ahli fiqih dan hadits.

Ia mendefinisikan Wali Allah adalah seorang yang demikian kokoh di dalam peringkat kedekatannya kepada Allah (fi martabtih), memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu seperti bersikap shidq (jujur dan benar) dalam perilakunya, sabar dalam ketaatan kepada Allah, menunaikan segala kewajiban, menjaga hukum dan perundang-undangan (al-hudud) Allah, mempertahankan posisi kedekatannya kepada Allah. Dalam keadaan ini, menurut at-Tirmidzi, seorang wali mengalami kenaikan peringkat sehingga berada pada posisi yang demikian dekat dengan Allah, kemudian ia berada di hadapan-Nya, da n menyibukkan diri dengan Allah sehingga lupa dari segala sesuatu selain Allah.

Karena kedekatannya dengan Allah, seorang wali memperoleh `ishmah (pemeliharaan) dan karamah (kemuliaan) dari Allah. menurutnya, ada tiga jenis `ishmah dalam Islam.
Pertama, `ishmah al-anbiya' (ishmah para Nabi) merupakan sesuatu yang wajib; baik berdasarkan argumentasi `aqliyyah seperti dikemukakan Mu'tazilah maupun berdasarkan argumentasi sam`iyyah.
Kedua, `ishmah al-awliya' (merupakan sesuatu yang mungkin); tidak ada keharusan untuk menetapkan `ishmah bagi para wali dan tidak berdosa untuk menafikannya dari diri mereka, tidak juga termasuk ke dalam keyakinan agama (`aqa'id al-din); melainkan merupakan karamah dari Allah kepada mereka. Allah melimpahkan `ishmah ke dalam hati siapa saja yang dikehendaki- Nya di antara mereka.
Ketiga, `ishmah al-`ammah, `ishmah secara umum , melalui jalan al-asbab, sebab-sebab tertentu yang menjadikan seseorang terpelihara dari perbuatan maksiat.

'I shmah yang dimiliki para wali dan orang-orang beriman, menurut at-Tirmidzi, bertingkat-tingkat. Bagi umumnya orang-orang yang beriman, `ishmah berarti terpelihara dari kekufuran dan dari terus menerus berbuat dosa; sedangkan bagi para wali ishmah berarti terjaga (mahfuzh) dari kesalahan sesuai dengan derajat, jenjang, dan maqamat mereka. Masing-masing mereka mendapatkan `ishmah sesuai dengan peringkat kewaliannya.

Inti pengertian 'ishmah al-awliya' terletak pada makna al-hirasah (pengawasan) , berupa cahaya `ishmah (anwar al-ishmah) yang menyinari relung jiwa (hanaya al-nafs) dan berbagai gejala yang muncul dari kedalaman al-nafs, tempat persembunyian al-nafs (makamin al-nafs), sehingga al-nafs tidak menemukan jalan untuk mengambil bagian dalam aktivitas seorang wali. Ia dalam keadaan suci dan tidak tercemari berbagai kotoran al-nafs ( adnas al-nafs ).

Adapun yang dimaksud karamah al-awliya' tiada lain, kemuliaan, kehormatan,( al-ikram) ; penghargaan (al-taqdir); dan p ersahabatan (al-wala) yang dimiliki para wali Allah berkat penghargaan, kecintaan dan pertolongan Allah kepada mereka. Karamah al-awliya itu, dalam pandangan Hakim at-Tirmidzi, merupakan salah satu ciri para wali secara lahiriah (`alamat al-awliya' fi al-zhahir) yang juga dinamakannya al-ayat atau tanda-tanda.

Hakim at-Tirmidzi membagi karamat al-awliya ke dalam dua bagian. Pertama, karamah yang bersifat ma`nawi atau al-karamat al-ma`nawiyyah. Karamah yang pertama merupakan sesuatu yang bertentangan dengan adat kebiasaan secara fisik-inderawi, seperti kemampuan seseorang unrtuk berjalan di atas air atau berjalan di udara. Sedangkan karamah yang kedua merupakan ke-istiqamah- an seorang hamba di dalam menjalin hubungan dengan Allah, baik secara lahiriah maupun secara batiniah yang menyebabkan hijab tersingkap dari kalbunya hingga ia mengenal kekasihnya, serta merasa ketentraman dengan Allah. At-Tirmidzi memaparkan karamah yang kedua sebagai yang berikut:

Kemudian Tuhan memandang wali Allah dengan pandangan rahmat. Maka Tuhan pun dari perbendaharaan rububiyyah menaburkan karamah yang bersifat khusus kepadanya sehingga ia (wali Allah) itu berada pada maqam hakikat kehambaan (al-haqiqah al-ubudiyyah) . Kemudian Tuhan pun mendekatkan kepada-Nya, memanggil nya, menghormati dan meninggikannya. Menyayanginya dan menyerunya. Maka wali pun menghampiri Tuhan ketika ia mendengar seru-Nya. Mengokohkan (posisi)-nya dan menguatkannya; memelihara dan menolongnya; sehingga ia meresponi dan menyambut seruan-Nya.Dalam kesunyian ia memanggil-Nya. Setiap saat ia munajat kepada-Nya. Ia pun memanggil kekasihnya. Ia tidak mengenal Tuhan selain Allah.

Orang yang menolak karamah al-awliya', menurut at-Tirmidzi, disebabkan mereka tidak mengetahui persoalan ini kecuali kulitnya saja. Mereka tidak mengetahui perlakuan Allah terhadap para wali. Sekiranya orang tersebut mengetahui hal-ihwal para wali dan perlakuan Allah terhadap mereka; niscaya mereka tida k akan menolaknya. Penolakan mereka terhadap karamah al-awliya', menurut at-Tirmidzi, disebabkan oleh kadar akses mereka terhadap Allah hanya sebatas menegaskan-Nya; bersungguh-sungguh di dalam mewujudkan kejujuran (al-shidq); bersikap benar dalam mewujudkan kesungguhan sehingga meraih posisi al-qurbah (dekat dengan Allah).

Sementara mereka buta terhadap karunia dan akses Allah kepada hamba-hamba pilihan-Nya. Demikian juga buta terhadap cinta (mahabbah) dan kelembutan (ra'fah) Allah kepada para wali. Apabila mereka mendengar sedikit tentang hal ini, mereka bingung dan menolaknya.

Adapun derajat kewalian, dalam pandangan al-Tirmidzi, dapat diraih dengan terpadunya dua aspek penting, yakni karsa Allah kepada seorang hamba dan kesungguhan pengabdian seorang kepada Allah. Aspek pertama merupakan wewenang Allah secara mutlak; sedangkan aspek kedua merupakan perjuangan seorang hamba dalam mendekatkan diri kepada Allah. Menurut at-Tirmidzi, ada dua jalur yang biasa ditempuh oleh seorang sufi guna meraih derajat kewalian.

Jalur pertama disebut thariqah al-minnah (jalan golongan yang mendapat anugerah) sedangkan jalur kedua disebut thariq ashhab al-shidq (jalan golongan yang benar dalam beribadah). Melalui jalur pertama, seorang sufi meraih derajat kewalian di hadapan Allah semata-mata karena karunia Allah yang diberi kan kepada siapa saja yang dikendaki Allah di antara hamba-hamba- Nya. Sedangkan melalui jalur kedua, seorang sufi meraih derajat kewalian berkat keikhlasan dan kesungguhannya di dalam beribadah kepada Allah. Seseorang yang meraih derajat kewalian melalui jalur kedua disebut wali haqq Allah atau awliya' huquq Allah dalam bentuk jamak.

Menurut at-Tirmidzi derajat kewalian yang diraih melalui jalur kedua diperoleh setelah seorang sufi bertaubat dari segala dosa dan bertekad bulat untuk membuktikan sesungguhan taubatnya dengan konsisten di dalam menunaikan segala yang diwajibkan; menjaga al-hudud (hukum dan perundang-undangan Al lah) dan mengurangi al-mubahat (hal-hal yang dibolehkan); kemudian memperhatikan aspek batin dan menjaga kesuciannya dengan seksama.

Seorang sufi yang meraih derajat kewalian (al-walayah) melalui jalur kedua desebut wali haqq Allah, karena sufi itu telah mencurahkan seluruh perhatian dan usahanya untuk menjaga hak Allah. Perjuangan yang demikian berat ini telah menambah kesucian hati sufi tersebut. Hatinya menjadi terformat sedemikian rupa dengan sifat Allah al-Haqq sehingga al-Haqq menjadi salah satu sifatnya yang mendominasi perasaannya yang terdalam (al-wujdan) dan membimbing seluruh perilakunya.

Tidaklah seorang sufi itu mengucapkan sesuatu kecuali melalui Allah al-Haqq; tidaklah melakukan sesuatu kecuali menuju Allah al-Haqq; dan tidaklah dia diam kecuali bersama Allah al-Haqq. Maka al-Haqq senantiasa bersama-Nya dalam berbagai keadaan. Para wali yang memiliki kualifikasi ini disebut juga al-awliya al-shadiqin.

Sementara itu, memperoleh derajat al-walayah mel alui jalur pertama, thariqah al-Minnah, terbagi kedalam dua proses. Pertama, anugerah kewalian itu diperoleh dengan tanpa usaha sebelumnya. Melalui proses ini orang yang menerima anugerah al-walayah merasakan adanya kekuatan yang menarik dirinya kepada kualitas al-walayah tersebut. Para sufi yang meraih derajat kewalian melalui proses ini disebut al-mujtabun (yang diangkat) atau al-mujzubun (yang ditarik). Kedua, anugerah kewalian itu diperoleh karena ada prakondisi sebelumnya.

Derajat al-walayah yang diberikan melalui proses kedua ini mengandung pengertian bahwa anugerah al-walayah itu diberikan oleh Allah kepada seseorang yang telah berada di dalam maqam al-shidq, suatu kedudukan terhormat di hadapan Allah yang hanya bisa ditempati oleh para sufi yang telah memiliki kualifikasi wali di antara al-awliya al-shadiqin. Hal ini terjadi semata-mata karena kasih sayang Allah kepadanya.

Derajat kewalian dan kenabian, menurut at-Tirmidzi, merupakan anugerah Allah. Allah tela h memilih di antara hamba-hamba- Nya menjadi al-anbiya (Nabi-Nabi) dan awliya (para wali). Kemudian Allah melebihkan derajat sebagian al-anbiya atas sebagian yang lain. Sebagaimana Allah melebihkan sebagian derajat al-awliya atas sebagian yang lain. Kelebihan Nabi Muhammad SAW. atas para Nabi yang lain adalah kedudukannya sebagai khatam al-nubuwwah yang merupa kan hujjat Allah bagi makhluk-Nya pada hari kiamat, karena tiada seorang pun di antara al-anbiya yang mendapat kedudukan setinggi ini.

Hujjat Allah yang menjadi inti khatam al-nubuwwah tersebut tiada lain, qadam shidq, yakni kesaksian Allah bahwa Nabi Muhammad SAW. memiliki shidq al-`ubudiyyah (kesungguhan dalam kehambaan). Dengan qadam shidq tersebut Nabi Muhammad SAW. mendahului barisan para Nabi dan Rasul. Kemudian Allah menyambutnya dan menempatkannya di dalam al-maqam al-mahmud pada al-kursi. Dengan demikian para Nabi mengetahui bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah orang yamg paling mengenal Allah. Beliau diberi bendera pujian (liwa al-hamd) dan kunci kemulian (mafatih al-karam). Oleh sebab itu, khatam al-anbiyyin, menurut at-Tirmidzi, bukan karena Nabi Muhammad SAW. paling akhir diutus; melainkan karena al-nubuwwah telah sempurna secara total pada diri Nabi Muhammad SAW. sehingga dia menjadi jantung kenabian (qalb al-nubuwwah) karena kesempurnaannya; kemudian al-nubuwwah ditutup (pada diri beliau).

Bertitik tolak dari pandangannya tentang al-anbiya dan al-awliya, at-Tirmidzi memandang bahwa khatam al-awliya (pamungkas para wali) adalah al-wali al-majdzub yang memegang kepemimpinan (al-imamah) atas para wali. Di tangannya terdapat bendera kewalian (liwa al-walayah). Para wali seluruhnya membutuhkan syafa'at dari padanya; sebagaimana para Nabi membutuhkan syafa'at dari Nabi Muhammad SAW. Ia memperoleh bagian kenabian yang paling sempurna; sehingga ia dekat dengan al-anbiya; bahkan hampir mendahuluinya; sebagaimana tergambar pada hadits yang berikut:

"Sesungguhnya diantara hamba-hamba Allah, ada orang yang bukan Nabi dan bukan syuhada; namun, banyak Nabi dan syuhada yang ingin seperti mereka, karena derajat mereka disisi Allah `Azza wa jalla." Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah mereka? Beliau bersabda: "Mereka adalah suatu kaum yang saling mencintai dengan motivasi karena Allah; padahal bukan di antara kerabat mereka, juga bukan karena harta yang saling mereka berikan. Demi Allah, wajah mereka niscaya laksana cahaya, mereka berada di atas cahaya. Mereka tidak merasa sedih, ketika orang-orang bersedih. Kemudian beliau membacakan satu ayat:
(Q.S. Yunus: 62).

Maqam-nya (dihadapan Allah) berada pada peringkat tertinggi para wali (fi a`ala manazil al-awliya). Ia adalah pengikut Nabi Muhammad SAW. Maka sebagaimana Nabi Muhammad SAW. menjadi hujjah bagi para Nabi; wali ini pun menjadi hujjah bagi para wali(al-awliya)

Kecuali itu, al-Hakim at-Tirmidzi menghubungkan konsep khatam al-awliya dengan konsep manusia sempurna. Menurutnya, khatam al-awliya ialah manusia yang telah mencapai ma`rifah yang sempurna tentang Tuhan. Dengan demikian, ia pun mendapatkan cahaya dari Tuhan, bahkan mendapatkan quwwah ilahiyyah (daya Ilahi). Menurut at-Tirmidzi, ada empat puluh orang dari kalangan umat Nabi Muhammad SAW. yang mendapat kedudukan sebagai wali, satu di antara empat puluh itu disebut khatam al-awliya sebagaimana Nabi Muhammad SAW. menjadi khatam al-anbiya.

Sementara itu, Abu Yazid al-Busthami (w.264H/877M. ) memperkenalkan konsep al-wali al-kamil (wali yang sempurna). Menurutnya, wali yang sempurna ialah orang yang telah mencapai ma`rifah yang sempurna tentang Tuhan, ia telah terbakar oleh api Tuhannya. Ma`rifah yang sempurna akan membawa seorang wali fana' dalam sifat-sifat ketuhanan. Wali yang fana' dalam nama Allah, al-zhahir (yang nyata), akan dapat menyaksikan qudrah Tuhan ; wali yang fana' dalam nama-Nya, al-bathin (yang tersembunyi) akan dapat menyaksikan rahasia-rahasia alam; wali yang fana' dalam nama-Nya, al-akhir (yang akhir), akan menyaksi kan masa depan.

Kedudukan khatam al-awliya merupakan anugerah Allah. Allah memberikan al-khatm (penutupan [kewalian]) kepadanya agar pada hari kiamat hati Nabi Muhammad SAW. merasa tenteram. Para wali pun mengakui kelebihan wali ini atas mereka. Ia muncul menjelang terjadinya kiamat dan menjadi hujjat Allah bagi seluruh penganut paham monoteisme (al-muwahhidin) yang datang sesudahnya.

Pemikiran al-Hikam at-Tirmidzi tentang khatm al-walayah lebih jauh dikembangkan oleh Ibnu Arabi. Menurut Ibnu Arabi, konsep al-khatm (penutupan) mengandung dua pengertian. Pertama, al-khatm berarti Allah telah menutup kewalian secara umum (al-walayah al-ammah). Kedua, al-khatm dalam pengertian Allah telah menutup kewalian umat Nabi Muhammad SAW. (al-walayah al-muhammadiyah) .

Khatm al-walayah dalam pengertian yang pertama berada pada diri Nabi Isa as. Beliau adalah wali dengan kenabian mutlak (al-nubuwwah al-muthlaqah) yang muncul pada zaman ummat (Nabi Muhammad) ini. Kewalian Nabi Isa terputus dari nubuwwat al-tasyri', yakni kenabian khusus dengan kewenangan menetapkan syari'at agama dan kerasulannya. Nabi Isa turun di akhir zaman sebagai pewaris (Nabi Muhammad SAW.). Dan khatam [al-walayah] (pamungkas kewalian).

Tidak ada wali sesudahnya dengan kenabian mutlak sekalipun, sebagaimana Nabi Muhammad SAW. sebagai khatam al-nubuwwah (pamungkas kenabian) tidak ada Nabi sesudah beliau dengan nubuwwat al-tasyri'. Sedangkan khatam al-walayah dalam pengertian yang kedua berada pada diri seorang laki-laki dari kalangan orang-orang terhormat.

Pengetahuan tentang syari'at (al-ilm al-syari'i) – yang menjadi dasar nubuwwat al-tasyri' diwahyukan kepada seorang Rasul melalui malaikat. Sedangkan pengetahuan batin (al-`ilm al-bathini) yang dimiliki wali, baik dalam kapa sitasnya sebagai Rasul, Nabi, maupun wali saja; bersifat pancaran dari seorang khatam al-awliya. Adapun khatam al-awliya mendapat kan secara menyeluruh dari sumber pancaran ruhaniah (manba`al-faydl al-ruhi); yakni ruh Muhammad atau al-haqiqah al-Muhammadiyah.

Ibnu Arabi menghubungkan konsepsi khatam al-awliya dengan kemampuan menangkap al-`athaya (pemberian dan anugerah) Allah. Menurut Ibnu Arabi, ada dua jenis al-`athaya (pemberian) yakni yang bersifat dzatiyyah dan yang bersifat asma'iyyah. Adapun al-`athaya al-dzatiyyah tidak terjadi kecuali melalui tajalli ilahi; sedangkan tajalli merupakan pengetahuan tertinggi tentang Tuhan. Pengetahuan ini tidak diberikan kecuali kepada khatam al-rusul (pamungkas para utusan) dan khatam al-awliya (pamungkas para wali).

Tiada seorang pun di antara al-anbiya dan al-rusul dapat mengalami tajalli al-dzat kecuali melalui misykah, teropong, khatam al-rusul; dan tiada seorang pun al-awliya mengalami tajalli al-dzat kecuali melal ui misykah, teropong, khatam al-awliya bahkan al-anbiya dan al-rusul pun tidak dapat mengalami tajalli al-dzat kecuali melalui misykat al-khatam al-awliya'; meskipun khatam al-awliya merupa kan pengikut khatam al-rusul dalam syari'at yang dibawanya.

Dalam pandangan Ibnu Arabi, khatam al-anbiya mempunyai kedudukan yang sebanding dengan khatam al-awliya. Menurutnya setiap Nabi sejak zaman Nabi Adam hingga Nabi terakhir; tiada seorang pun di antara mereka, kecuali mengambil dari misykat (teropong) khatam al-nabiyyin; meskipun khatam al-nabiyyin tersebut secara historis muncul terakhir. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW.: Aku sudah menjadi Nabi; sedangkan Adam di antara air dan tanah. Sedangkan para Nabi selain Nabi Muhammad SAW. menjadi Nabi setelah mereka diutus (ke dunia).

Demikian juga khatam al-awliya telah menjadi wali, ketika Adam masih berada di antara air dan tanah; sedangkan para wali yang lain menjadi wali setelah mereka memperoleh syarat-sya rat kewalian (al-walayah) , yakni setelah diri mereka tersifati oleh al-akhlaq al-ilahiyyah atau akhlak Tuhan, terutama berkenaan dengan pernyataan Allah sendiri yang menyebut diri-Nya al-wali al-hamid (Wali yang Maha Terpuji).

[Dikutip dari milis Daarut Tauhiid]

0 komentar:

Agenda Harian

Semoga kita senantiasa terpacu untuk mengukir prestasi amal yang akan memperberat timbangan kebaikan di yaumil akhir, berikut rangkaian yang bisa dilakukan

1. Agenda pada sepertiga malam akhir

a. Menunaikan shalat tahajjud dengan memanjangkan waktu pada saat ruku’ dan sujud di dalamnya,

b. Menunaikan shalat witir

c. Duduk untuk berdoa dan memohon ampun kepada Allah hingga azan subuh

Rasulullah saw bersabda:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

“Sesungguhnya Allah SWT selalu turun pada setiap malam menuju langit dunia saat 1/3 malam terakhir, dan Dia berkata: “Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku maka akan Aku kabulkan, dan barangsiapa yang meminta kepada-Ku maka akan Aku berikan, dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku maka akan Aku ampuni”. (HR. Bukhari Muslim)


2. Agenda Setelah Terbit Fajar

a. Menjawab seruan azan untuk shalat subuh

” الَّلهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِي وَعَدْتَهُ “

“Ya Allah, Tuhan pemilik seruan yang sempurna ini, shalat yang telah dikumandangkan, berikanlah kepada Nabi Muhammad wasilah dan karunia, dan bangkitkanlah dia pada tempat yang terpuji seperti yang telah Engkau janjikan. (Ditashih oleh Al-Albani)

b. Menunaikan shalat sunnah fajar di rumah dua rakaat

Rasulullah saw bersabda:

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا

“Dua rakaat sunnah fajar lebih baik dari dunia dan segala isinya”. (Muslim)

وَ قَدْ قَرَأَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِي رَكْعَتَي الْفَجْرِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدَ

“Nabi saw pada dua rakaat sunnah fajar membaca surat “Qul ya ayyuhal kafirun” dan “Qul huwallahu ahad”.

c. Menunaikan shalat subuh berjamaah di masjid –khususnya- bagi laki-laki.

Rasulullah saw bersabda:

وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الْعَتْمَةِ وَالصُّبْحِ لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

“Sekiranya manusia tahu apa yang ada dalam kegelapan dan subuh maka mereka akan mendatanginya walau dalam keadaan tergopoh-gopoh” (Muttafaqun alaih)

بَشِّرِ الْمَشَّائِيْنَ فِي الظّلَمِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِالنُّوْرِ التَّامِّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Berikanlah kabar gembira kepada para pejalan di kegelapan menuju masjid dengan cahaya yang sempurna pada hari kiamat”. (Tirmidzi dan ibnu Majah)

d. Menyibukkan diri dengan doa, dzikir atau tilawah Al-Quran hingga waktu iqamat shalat

Rasulullah saw bersabda:

الدُّعَاءُ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ

“Doa antara adzan dan iqamat tidak akan ditolak” (Ahmad dan Tirmidzi dan Abu Daud)

e. Duduk di masjid bagi laki-laki /mushalla bagi wanita untuk berdzikir dan membaca dzikir waktu pagi

Dalam hadits nabi disebutkan:

كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إَذَا صَلَّى الْفَجْرَ تَرَبَّعَ فِي مَجْلِسِهِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ الْحَسَنَاءُ

” Nabi saw jika selesai shalat fajar duduk di tempat duduknya hingga terbit matahari yang ke kuning-kuningan”. (Muslim)

Agenda prioritas

Membaca Al-Quran.

Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya waktu fajar itu disaksikan (malaikat). (Al-Isra : 78) Dan memiliki komitmen sesuai kemampuannya untuk selalu:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah lebih banyak dari itu semua, maka akan menuai kebaikan berlimpah insya Allah.

3. Menunaikan shalat Dhuha walau hanya dua rakaat

Rasulullah saw bersabda:

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى

“Setiap ruas tulang tubuh manusia wajib dikeluarkan sedekahnya, setiap hari ketika matahari terbit. Mendamaikan antara dua orang yang berselisih adalah sedekah, menolong orang dengan membantunya menaiki kendaraan atau mengangkat kan barang ke atas kendaraannya adalah sedekah, kata-kata yang baik adalah sedekah, tiap-tiap langkahmu untuk mengerjakan shalat adalah sedekah, dan membersihkan rintangan dari jalan adalah sedekah”. (Bukhari dan Muslim)

4. Berangkat kerja atau belajar dengan berharap karena Allah

Rasulullah saw bersabda:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمِلِ يَدِهِ، وَكَانَ دَاوُدُ لا يَأْكُلُ إِلا مِنْ عَمِلِ يَدِهِ

“Tidaklah seseorang memakan makanan, lebih baik dari yang didapat oleh tangannya sendiri, dan bahwa nabi Daud makan dari hasil tangannya sendiri”. (Bukhari)

Dalam hadits lainnya nabi juga bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang berjalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga”. (Muslim)

d. Menyibukkan diri dengan dzikir sepanjang hari

Allah berfirman :

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ketahuilah dengan berdzikir kepada Allah maka hati akan menjadi tenang” (Ra’ad : 28)

Rasulullah saw bersabda:

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهَ أَنْ تَمُوْتَ ولسانُك رَطْبٌ من ذِكْرِ الله

“Sebaik-baik perbuatan kepada Allah adalah saat engkau mati sementara lidahmu basah dari berdzikir kepada Allah” (Thabrani dan Ibnu Hibban) .

5. Agenda saat shalat Zhuhur

a. Menjawab azan untuk shalat Zhuhur, lalu menunaikan shalat Zhuhur berjamaah di Masjid khususnya bagi laki-laki

b. Menunaikan sunnah rawatib sebelum Zhuhur 4 rakaat dan 2 rakaat setelah Zhuhur

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang shalat 12 rakaat pada siang dan malam hari maka Allah akan membangunkan baginya dengannya rumah di surga”. (Muslim).

6. Agenda saat dan setelah shalat Ashar

a. Menjawab azan untuk shalat Ashar, kemudian dilanjutkan dengan menunaikan shalat Ashar secara berjamaah di masjid

b. Mendengarkan nasihat di masjid (jika ada)

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ لا يُرِيدُ إِلا أَنْ يَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ يَعْلَمَهُ، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ حَاجٍّ تَامًّا حِجَّتُهُ

“Barangsiapa yang pergi ke masjid tidak menginginkan yang lain kecuali belajar kebaikan atau mengajarkannya, maka baginya ganjaran haji secara sempurna”. (Thabrani – hasan shahih)

c. Istirahat sejenak dengan niat yang karena Allah

Rasulullah saw bersabda:

وَإِنَّ لِبَدَنِكَ عَلَيْكَ حَقٌّ

“Sesungguhnya bagi setiap tubuh atasmu ada haknya”.

Agenda prioritas:

Membaca Al-Quran dan berkomitmen semampunya untuk:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan, maka akan menuai kebaikan yang berlimpah insya Allah.

7. Agenda sebelum Maghrib

a. Memperhatikan urusan rumah tangga – melakukan mudzakarah – Menghafal Al-Quran

b. Mendengarkan ceramah, nasihat, khutbah, untaian hikmah atau dakwah melalui media

c. Menyibukkan diri dengan doa

Rasulullah saw bersabda:

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

“Doa adalah ibadah”

8. Agenda setelah terbenam matahari

a. Menjawab azan untuk shalat Maghrib

b. Menunaikan shalat Maghrib secara berjamaah di masjid (khususnya bagi laki-laki)

c. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Maghrib – 2 rakaat

d. Membaca dzikir sore

e. Mempersiapkan diri untuk shalat Isya lalu melangkahkan kaki menuju masjid

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً

“Barangsiapa yang bersuci/berwudhu kemudian berjalan menuju salah satu dari rumah-rumah Allah untuk menunaikan salah satu kewajiban dari kewajiban Allah, maka langkah-langkahnya akan menggugurkan kesalahan dan yang lainnya mengangkat derajatnya”. (Muslim)

9. Agenda pada waktu shalat Isya

a. Menjawab azan untuk shalat Isya kemudian menunaikan shalat Isya secara jamaah di masjid

b. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Isya – 2 rakaat

c. Duduk bersama keluarga/melakukan silaturahim

d. Mendengarkan ceramah, nasihat dan untaian hikmah di Masjid

e. Dakwah melalui media atau lainnya

f. Melakukan mudzakarah

g. Menghafal Al-Quran

Agenda prioritas

Membaca Al-Quran dengan berkomitmen sesuai dengan kemampuannya untuk:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan bacaan maka telah menuai kebaikan berlimpah insya Allah.


Apa yang kita jelaskan di sini merupakan contoh, sehingga tidak harus sama persis dengan yang kami sampaikan, kondisional tergantung masing-masing individu. Semoga ikhtiar ini bisa memandu kita untuk optimalisasi ibadah insya Allah. Allahu a’lam

Jazaakillah

Sedikit revisi dari : http://www.al-ikhwan.net/agenda-harian-ramadhan-menuju-bahagia-di-bulan-ramadhan-2989/

Isi Blog

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.