Harapan identik dengan adanya keinginan. Orang yang menginginkan suatu hal pastilah ia memiliki harapan agar hal tersebut bisa segera terengkuhnya. Sebaliknya, untuk mendapatkan sesuatu tentunya seseorang harus ada pengorbanan, baik pengorbanan secara fisik maupun perasaan. Pengorbanan juga identik dengan persembahan.
Berbicara masalah harapan dan persembahan, kali ini akan diorientasikan pada harapan dan persembahan Syu’aib AS. Syu’aib AS merupakan salah satu dari sekian banyak nabi dan rasul yang diutus tuhan untuk menjadi perantara memberi pencerahan kepada umat manusia yang berjalan dalam lembah kesesatan. Ia diutus untuk kaum Madyan yang cenderung berbuat kemungkaran, kemaksiatan, dan tipu-menipu dalam kehidupan sehari-hari. Yang paling jelas melekat pada kepribadian mereka adalah kecurangan dan penghianatan dalam hubungan dagang, seperti pemalsuan barang, pencurian dalam takaran dan timbangan.
……Berdo’alah, menangislah di waktu malam, sampai terdengar suara yang dahsyat dari langit memecah gendang telingamu…… (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz).
Ungkapan pertama, yaitu “Berdo’alah, menangislah di waktu malam, sampai terdengar suara yang dahsyat dari langit memecah gendang telingamu”, ini merupakan himbauan dan anjuran dari seorang Rumi. Dalam sajaknya, ia menghimbau kepada siapa saja yang hendak menuju tuhan agar senantiasa bermunajat pada suasana yang hening dan juga penuh dengan ketenangan. Suasana itu tidak lain adalah saat malam telah tiba. Tepatnya pada sepertiga malam karena saat itulah segala bentuk aktifitas manusia yang berkaitan dengan urusan keduniawian telah berhenti sejenak. Jadi momen itulah yang cocok untuk bermunajat kepada tuhan.
Mengapa waktu tersebut merupakan waktu yang cocok untuk bermunajat? Hal tersebut berdasar pada hadits nabi yang berbunyi: sesungguhnya setiap malam, disepertiga akhir malam, Allah turun ke langit dunia, Dia berkata: adakah yang bisa aku Bantu? Adakah yang bisa aku Bantu?
Perlu dijadikan catatan bahwa ungkapan Allah turun ke langit dunia, bukan merujuk pada eksistensi Dzat-tillah yang turun ke dunia. Dalam fenomena, Tuhan sebelumnya berada jauh dari tempat dan jangkauan manusia. Hal tersebut bertolak belakang dengan firman Allah yang artinya “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat dari pada urat lehernya.” (QS. Qaf, ayat 16).
Berdasarkan ayat tersebut, keberadaan tuhan begitu dekat dengan diri pribadi seorang manusia. Ia bahkan lebih dekat dari urat leher manusia. Yang menjadi orientasi makna konotasi ungkapan Allah turun ke langit dunia, adalah rahmat dan hidayah Tuhan diberikan kepada seorang manusia, apabila ia berkenan bermunajat pada waktu itu, sebab Tuhan saat itu menawarkan rahmat dan hidayah-Nya kepada siapa saja yang sedang bermunajat atau memohon kepada-Nya.
Dalam karya ini, Rumi mengambil percontohan munajat yang dilakukan oleh Syu’aib AS. Kisah munajat Syu’aib ini tampaknya Rumi ambil dari karya Attar, yang berjudul Ilehinama. Hal itu mengisahkan bahwa Syu’aib ketika bermunajat mendapatkan bisikan gaib yang datang dari langit. Bisikan itu mempertanyakan perihal munajatnya. Saat itu Syu’aib AS bertaubat akan segala dosa yang pernah dilakukanya.
Katika suasan khusuk melingkupinya, terdengar seruan kepadanya bahwa segala dosanya akan diampuni. Selain itu, seruan itu juga menawarkan kepada Syu’aib AS perihal kenikmatan surga dan memerintahkan dia untuk segera mengakhiri munajatnya.
……“Jika kau orang yang bergelimang dosa, akan kumaafkan kau dan kuampuni dosa-dosamu. Surgakah yang kau ingin raih? Lihatlah, kuberi sekarang, diam dan akhiri permintaanmu itu!” …… (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)
Saat mendengar bisikan semacam itu, Syu’aib AS tidak serta-merta memperoleh kepuasan diri serta kebahagiaan hati. Ia tidak menghentikan munajatnya. Ia justru semakin khusuk dan bahkan menolak tawaran surga yang dijanjikan kepadanya. Ia tetap berdiri kokoh dengan harapan dan juga keinginan utamanya yaitu bertemu dan bersanding dengan Tuhan, sebab hanya Dia-lah Dzat yang sepatutnya dijadikan tujuan peribadatan dan penghambaan, bukan surga, neraka maupun yang lainya. Sebagaimana Al Qahthani menjelaskan bahwa Allah (Tuhan) adalah Dzat yang diibadahi dan dijadikan tujuan penghambaan, yang memiliki hak penghambaan serta peribadatan makhluk-makhlu-Nya.
Tidak hanya itu, Syu’aib bahkan meneguhkan hati bahwa ia akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk bisa bertemu dan bersanding bersama tuhan, walaupun seluruh samudra telah menjadi api. Jika di tempat itu ia bisa bertemu dan bersanding dengan tuhan, ia akan rela menghanguskan diri ke dalamnya.
……Syu’aib menjawab, “ Tak kuminta ini ataupun itu. yang kuminta hanyalah menatap wajah tugan semata. Walaupun tujuh samudra seluruhnya menjadi kobaran api yang mematikan, akan kuhanguskan diriku jika disitu aku dapat menyatu dengan-Nya!”……(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)
Bagi pecinta sejati, yaitu orang-orang yang benar-benar mengoroientasikan hidupnya hanya kepada tuhan semata, hal tersebut tidaklah aneh. Baginya, segala sesuatu yang bersifat kebendaan dan kemakhlukan berada dalam kekuasaan Tuhan. Sesungguhnya ia tidak memiliki suatu daya dan kekuatan kecuali atas kehendak dan kuasa Tuhan, sehingga ia tidak perlu ditakuti.
Api adalah benda dan makhluk sebab ia termasuk barang baru yang merupakan salah satu dari sekian banyak ciptaan Tuhan. Jika Tuhan berada di dalam kobaran api, bagi pecinta sejati, semua itu tidaklah menjadi sebuah penghalang untuk segera bertemu dan bersanding dengan-Nya. Ia tidak akan ragu dan takut akan sengatan panasnya, sebab ketika Tuhan telah bersamanya, panas api tidak akan ada artinya. Semua akan tunduk bersama kuasa-Nya. Sebagaimana kisah Ibrahim AS yang dilemparkan Namrut ke dalam tungku api yang begitu besar. Saat itu panas api bukan membakar tapi berubah menjadi kenikmatan dan juga rahmat. Firman tuhan yang berbunyi: Hai api menjadi dinginlah dan jadilah keselamatan bagi Ibrahim (QS. Al-Ambiyaa’:69).
Berbeda dengan orang-orang yang hanya berorientasi pada aspek keduniawian, ini sungguh aneh dan mustahil untuk dilakukanya. Jangankan ia berani menghanguskan diri ke dalam lautan api, ia baru melihat nyala api dari sebuah rumah yang terbakar, sudah lari terbirit-birit.
Bukan sekedar itu, dalam munajatnya, Syu’aib AS kembali mengujarkan harapanya secara lebih khusuk. Ia berkata bahwa munajat yang dilakukanya tidak akan berhenti sebelum ia mendapatkan pengabulan harapanya. Ia akan terus memohon dengan linangan air mata agar bisa bertemu dan bersanding dengan tuhan. Ia tidak mendambakan apapun selain tuhan. Ia bahkan rela berada di dalam neraka asalkan di tempat itu ia bisa bertemu dan bersanding dengan tuhan. Surga bukan jadi orientasinya lagi dan bukan tempat yang layak ia huni ketika di sana ia tidak menemukan tuhan.
Sungguh peneguhan hati yang luar biasa. Ia telah lepas dari keterikatan eksistensi surga dan neraka secara universal. Surga yang notabenenya menawarkan kenikmatan-kenikmatan, ia singkirkan begitu saja. Neraka yang notabenenya penuh dengan siksa dan derita, justru ia pilih asalakan di tempat itu ia bisa bertemu dan bersanding dengan tuhan.
……Tapi jika aku tak diizinkan menatap-Nya, maka mataku akan terendam air mata menutup rapat hingga terhalang untuk melihat impian itu, lebih baik aku menetap di api neraka, surga bukanlah tempat tinggalku…… (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)
Untuk bisa bertemu dan bersanding bersama tuhan, seorang manusia harus dalam kondisi suci lahir dan batin.Tindakan untuk melepasakan diri dari keterikatan rasa terhadap segala sesuatu selain tuhan merupakan tahap terakhir dari hakekat bersuci dan mensucikan diri. Sebagaimana Al-Ghazali menegaskan bahwa bersuci itu ada empat tahapan, yaitu;
1) membersihkan lahir (anggota badan) dari hadas dan kotoran-kotoran,
2) membersihkan badan dari perbuatan-perbuatan dosa,
3) membersihkan hati dari akhlak yang tercela dan hina,
4) membersihkan pribadi dari selain tuhan.
Surga dan neraka merupakan salah satu dari ciptaan Tuhan. Setiap ciptaan berarti masuk dalam kriteria makhluk, oleh karena itu, surga dan neraka bukanlah tujuan utama bagi seorang pecinta sejati seperti Syu’aib AS. Eksistensinya harus dilenyapkan dari pribadi seseorang yang benar-benar hendak menuju tuhan. Hal tersebut disebabkan surga dan neraka sanggup menjadi tabir penghalang bagi pribadi seseorang untuk bisa bertemu dan bersanding bersama tuhan. Sejalan dengan itu, Al-Farabi juga menyatakan bahwa pada dirimu dan dari dirimu ada hijab, apalagi dari pakaianmu yang berupa badan, karena itu berusahalah untuk menghilangkan hijab dan telanjang, dan dalam keadan demikian engkau dapat mencapai-Nya.
Esensi dan eksistensi tuhan menjadi orientasi utama dalam munajat ini. Syu’aib AS selalu memberi penegasan-penegasan yang begitu mendalam akan hasrat dan keinginannya untuk bertemu dan bersanding besama tuhan. Baginya, surga terasa seperti neraka Jahannam apabila tidak diliputi dengan cinta kasih Tuhan.
……Tanpa belas kasih-Nya, surga bagiku hanya seperti neraka Jahannam. Aku akan dilulur oleh warna dan aroma bau sang maut; dimanakah cahaya keabadian yang diperdebatkan itu? …… (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)
Ungkapan belas kasih-Nya jika ditinjau lebih jauh akan merujuk pada nama Tuhan dalam asmaulhusnah yaitu Ar-rahma dan Ar-rahim. Nama ini berada dalam urutan paling awal. Hal tersebut menunjukan bahwa nama ini merupakan nama yang utama bagi tuhan. Perlu diingat bahwa di dalam sebuah nama pastilah mencerminkan sifatnya. Jadi dalam nama Ar-rahman dan Ar-rahim mengandung sifat Maha Pengasih dan Maha Penyanyang. Sebagai mana Ibnu Qoyyim berkata bahwa di dalam nama-nama-Nya terdapat sifat-Nya.
Ar-rahman dan Ar-rahim merupakan pondasi awal dalam mencipta segala sesuatu yang berada dalam kesemestaan alam ini. Segala sesuatu tidak mungkin tercipta tanpa diikuti dengan kasih sayang Tuhan. Begitu juga dengan keberadaan surga. Surga tidak mungkin ada jika ia tidak diliputi kasih sayang Tuhan. Tuhan mengadakan suatu hal merupakan bukti kasih saying-Nya sehingga hal tersebut ada secara esensi dan eksistensinya. Oleh karena itu, nabi mengisarahkan agar dalam setiap hendak melakukan sesuatu harus diawali dengan membaca basmalah. Hal tersebut menandai bahwa setiap gerak manusia adalah berkat kasih sayang Tuhan.
Untuk kata surga, ini bisa ditafsirkan pada pemberian Tuhan yang berupa kenikmatan. Jika pemberian Tuhan yeng berupa kenikmatan ini dalam munajatnya diterima oleh Syu’aib, ia takut menjadi penghalang untuk bisa bertemu dan bersanding bersama-Nya. Ia menjadi lalai dengan tujuan utamanya, yaitu Tuhan. Ia bisa terbuai dengan kenikmatan-kenikamatan yang telah diberikan Tuhan kepadanya.
Jika ia telah terbuai oleh hal tersebut, secara otomatis ia akan lupa terhadap pemberi-Nya (Tuhan). Ketika ia lupa, kenikmatan itu bisa berubah menjadi bencana dan siksa bagi dirinya. Selain itu ia bisa gagal bertemu dan bersanding bersama tuhan. Hal tersebut sesuai dengan ungkapan bahwa orang yang hanya bergembira dengan Allah, tidak terpengaruh oleh kelezatan lahirnya nikmat, dan tidak karena kurnia-Nya, sebab ia sibuk memperhatikan-Nya, sehingga terhibur oleh-Nya semata, maka tidak ada yang terlihat padanya kecuali Allah. Selain itu, siapa yang tidak melihat pemberi nikmat di dalam nikmat itu, maka nikmat itu hanya berupa istidraj (dilulu) dan berubah menjadi bala’. Kiranya hal itulah yang menyebabkan Syu’aib AS menolak pemberian surga dan berdalih bahwa surga bisa berubah menjadi Jahannam baginya jika di sana ia tidak mendapat cinta kasih Tuhan dengan membiarkanya bisa bertmu dan bersanding bersama-Nya.
Mengapa Syu’aib bertanya tentang keberadaan cahaya keabadian? Hal itu sebenarnya sebagian i’tibar dari penyebutan diri Tuhan. Tidak ada sesuatu yang abadi kecuali diri Tuhan semata. Adapun idiom Tuhan digantinya dengan kata cahaya. Ini sesuai firman-Nya dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 35 yang artinya: Allah adalah cahaya langit dan bumi, perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar, pelita itu di dalam kaca dan kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohin yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tidak tumbuh di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah maha mengetahui sesuatu (QS. An-Nur:35).
Syu’aib merindukan cahaya keabadian itu sehingga ia menanyakan terus perihal keberadaanya. Cahaya itu adalah cahaya Illahiah, cahaya di atas cahaya. Dialah pembimbing manusia untuk menuju hakekat hidup yang sejati dan tidak ada yang sanggup memberi bimbingan menuju kesejatian kecuali Dzat Tuhan semata. Itulah esensi dasar Syu’aib AS mengi’tibarkan tuhan dengan memakai idiom cahaya.
……Kata mereka, “Akhiri ratap tangismu, agar penglihatanmu tidak hitam, sebab matamu akan buta jika menangis berlebih-lebihan” ……(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz).
Kata mereka merujuk kepada orang-orang yang berada disekeliling Syu’aib AS yang tidak lain adalah kaum Madyan. Hal tersebut bukanlah merujuk pada sesuatu yang lain, baik mengarah pada bisikan gaib dari langit atau yang lainya. Ini adalah kaumnya sendiri. Rujukan ini berdasar pada terjemahan karya Rumi yang diberi judul Kasidah Cinta dan diterjemahkan Hartoyo Andangjaya. Dalam terjemahan itu kata mereka di ungkapkan dengan artian orang-orang berkata.
Secara lebih rinci, ungkapan tersebut merupakan himbauan dari kaum Syu’aib AS. Mereka menghimbau agar Syu’aib AS mengakhiri munajat dan tangisanya sebab ia bisa mengalami kebutaan mata. Tampaknya peristiwa ini diasumsikan berlangsung ketika hari sudah menjelang pagi. Saat itu orang-orang sudah mulai melansungkan aktifitas sehari-harinya. Ini diperkirakan saat orang-orang berlalulalang di sekitar rumah Syu’aib AS.
Saat mendapat himbauan semacam itu, Syu’aib AS justru memberi penegasan kepada mereka. Syu’aib berkata bahwa ia tidak akan bersedih karena buta. Baginya, buta mata tidaklah berarti sebab menurutnya bagian tubuh yang lain bisa berubah menjadi mata. Tentunya semua itu juga tidak terlepas dari kehendak, kuasa, dan keridlaan Tuhan.
……Syu’aib menjawab, “Bila kedua mataku akhirnya buta hanya karena menangis, maka setiap bagian dari diriku akan berubah menjadi mata; mengapa aku harus bersedih karena buta?” ……(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz).
Ungkapan ini jika dinisbatkan dapat merujuk pada Al-qur’an surat Yasin ayat 65 yang artinya; “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan dan kaki mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan”. Hal ini menunjukan adanya Kebasaran dan Maha Kuasanya Tuhan yang sanggup menjadikan segala sesuatu bisa berbicara, melihat, dan juga mendengar. Tuhan tidak merasa kesulitan untuk melakukan hal itu.
Salah satu pertanda Maha Kuasa Tuhan yang ditunjukkan-Nya di dunia ini adalah menjadikan kepekaan indra yang sangat tinggi bagi orang yang buta. Orang buta tidak bisa melihat sesuatu dengan matanya, tetapi Tuhan memberikan rahmat-Nya yang lain yang berupa kepekaan terhadap indra-indra yang lain pula, oleh karena itu, orang buta bisa mendeteksi segala hal yang ada disekelilingnya dengan cermat. Ia bisa mengetahui sesuatu dengan pasti lewat perantaraan indra peraba, pencium, pencecap, dan pendengarnya. Tidak hanya itu, Tuhan bahkan juga memberinya mata batin yang kerap dikenal dengan istilah indra keenam. Hal itulah yang kiranya menjadi maksud dan tujuan perkataan Syu’aib AS bahwa setiap bagian dari tubuhnya akan berubah menjadi mata.
……Namun jika akhirnya Ia merampas mataku untuk selamanya, akan kubiarlah mata benar-benar menjadi buta karena ia tidak layak menatap junjungan kasih!” …… (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)
Dalam penegasanya lebih lanjut, Syu’aib AS mengungkapkan bahwa ia akan mengikhlaskan kedua matanya menjadi buta. Hal tersebut dilakukanya sebagai suatu bentuk persembahanya kepada tuhan. Syu’aib AS benar-benar tulus dan ikhlas memberikanya, ketika penglihatan itu harus diminta kembali oleh Tuhan.
Tampaknya hal ini sesuai dengan makna dasar ungkapan inna lillahi wainna ilaihi raajiuun. Arti ungkapan tersebut yaitu segala sesuatu adalah kepunyaan Allah dan sesungguhnya ia akan kembali kepada-Nya. Syu’aib AS menyadari benar akan hal itu. Ia paham betul bahwa dirinya dan seluruh isi alam semesta ini adalah kepunyaan Tuhan dan suatu saat pasti akan kembali kepada-Nya juga.
Segala yang dimiliki oleh manusia pada hakekatnya hanyalah titipan Tuhan yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Yang dikatakan titipan, suatu saat pasti akan diambil oleh pemiliknya. Saat itulah seseorang harus rela dan ikhlas menyerahkan kepada pemiliknya yang mutlak. Begitu juga dengan eksistensi indra penglihatan, ia merupakan titipan Tuhan yang dibebankan kepada manusia sebagai alat utuk melihat segala sesuatu yang ada disekelilingnya. Untuk semuanya itu, tidak ada batasan waktu dalam pengambilanya. Kapanpun dan dimanapun, Tuhan sewaktu-waktu bisa mengambilnya. Entah diambil pada akhir hayat manusia ataupun di masa tua, muda, maupun balita, semuanya masih berada dalam misteri ilahiah.
Selain itu Syu’aib AS juga sadar bahwa penglihatan mata lahir manusia tidak sanggup menangkap keberadaan Dzat Tuhan yang sejati. Hal tersebut dikarenakan Dzat Tuhan yang sejati bersifat kasat mata yang tidak dapat maujud di dalam alam materi. Ia bahkan tidak dapat digapai dengan logika. Ia hanya dapat digapai dengan keyakinan dan pengetahuan intuitif bahkan Ia merupakan wujud yang sempurna.
Kesadaran semacam inilah yang ditunjukan oleh Syu’aib AS. Dengan merelakan penglihatan lahirnya kepada Tuhan. Ia menumbuhkan harapan baru dalam hatinya. Ia berharap dengan kebutaanya, Tuhan berkenan memberikan penglihatanya yang baru yang berupa penglihatan batin melalui peneguhan keyakinan dan juga pengetahuan intuitif, yaitu pengetahuan yang berdasarkan pada wahyu ilahiah. Sungguh harapan dan persembahan yang begitu agung dari seorang Syu’aib AS.
Perlu diingat, dalam sejarah para nabi, Syu’aib pada akhirnya tidak mengalami kebutaan mata secara fisik. Karakter fisiknya pada umumnya sama dengan kebanyakan orang. Ia utuh dan tidak mengalami cacat pada kostruksi fisiknya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Harapan Syu’aib dalam munajatnya hanyalah ingin bertemu dan bersanding bersama Tuhan (Allah) di kehidupan mendatang, yaitu akhirat. Harapan itu ia iringi dengan sebuah persembahan yaitu peniadaan surga dan neraka dalam dirinya. Ia melepas keterikatan diri terhadap esensi dan eksistens surga yang notabenenya menjadi tujuan hidup manusia pada umumnya.. Tidak hanya itu, ia bahkan rela menyerahkan penglihatan lahirnya sebagai sebuah persembahan asalkan ia kelak dapat bertemu dan bersanding bersama Tuhan (Allah). Tentunya, persembahan tersebut diliputi dengan perasaan tulus dan ikhlas yang terpancar dari pribadinya.
=========
Imamuddin SA *
http://sastra-indonesia.com/
Kamis, 02 Desember 2010
0 komentar:
Posting Komentar